Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tawuran Pelajar Perlu Solusi Bukan Menteri

29 September 2012 | 29.9.12 WIB Last Updated 2012-09-30T13:43:17Z
13488796172075797082

Pelajar SMA siap berangkat ke medan tawuran (foto : metro.news.viva.co.id)

Pernah mengalami bangun tidur badan bintul-bintul bekas digiti nyamuk, sementara dekat pembaringan kita seekor nyamuk dengan badan gendut tampak enggan terbang. Lalu dengan semangat kita tepuk si nyamuk : plaakk!! Puas rasanya, meski sprei ternoda darah nyamuk. Atau sembari nonton TV, pegang raket beraliran listrik, ketika seekor nyamuk terbang disekitar kaki, tebaskan raket dan…creess!! Bau gosong tubuh nyamuk membuat kita merasa puas. Lalu bagaimana kalau rasa puas itu diekspresikan ketika seseorang usai melukai atau membunuh orang lain?

Belakangan, media sosial ramai membicarakan komentar Mendiknas Pak Nuh, yang mengaku surprise, kaget, karena ketika beliau bertanya pada AD, siswa yang membunuh Deny Januar, siswa SMA Yayasan Karya 66 (Yake). Publik kemudian lebih fokus membicarakan diksi pertanyaan Pak Nuh yang dianggap bodoh, tidak cerdas, dari segi bahasa tidak tepat de-el-el. Sementara – sama sekali tanpa bermaksud membela Pak Nuh – kita semua sama-sama tidak tahu konteks situasi saat itu kenapa diksi semacam itu yang keluar dari mulut Pak Nuh.

Saya hanya sekedar mencoba menggali kemungkinan dari sisi sebaliknya, sebelum tanya itu terlontar. Bisa jadi, saat itu Pak Nuh melihat ekspresi AD yang cuek, dingin atau tak tampak rasa penyesalan dari sikap tubuh dan raut wajahnya. Bukankah komunikasi itu bukan hanya yang verbal terucap, tapi justru body language bisa berbicara lebih banyak? Coba ingat, bagaimana reaksi publik  ketika Afriani Susanti yang tampak cuek bebek, santai saja meski usai menabrak 13 pejalan kaki yang 9 diantaranya tewas seketika. Bahkan Afriani yang saat itu masih dalam pengaruh berbotol-botol miras dan ecstasy sekaligus, masih sempat menulis tweet : “Emang salah gw?! Salah temen-temen gw?!”. Lalu apa kesimpulan yang ada di benak para saksi mata saat itu? Afriani tidak menyesal. Dan semua saksi mata di lokasi kejadian memberikan keterangan yang sama kalau ditanya pers.

Nah, mungkin saja Pak Nuh geregetan saat melihat ekspresi AD yang cuek dan tidak menunjukkan penyesalan. Sehingga tanya yang spontan keluar adalah : “Bagaimana Mas, puas sudah membunuh orang?”. Kalau saja saat itu AD menunjukkan sikap penyesalan mendalam – seperti tayangan berita kriminal yang saya tonton di TV beberapa waktu lalu, dimana pembunuhnya membunuh secara spontan karena tak tahan ditagih hutang – semisal menangis, atau ekspresi penyesalan lainnya, mungkin kalimat tanya yang keluar dari mulut Pak Nuh bukan itu.

Bahkan ada yang mencurigai Pak Nuh sengaja menjebak AD dengan pertanyaan seperti itu, agar dia menjawab “puas”. Ah…, saya rasa tak mungkin Pak Nuh sengaja menjebak AD, untuk apa? Ada pula yang mempersoalkan panggilan “Mas” yang seolah mensejajarkan pelaku sebagai orang dewasa. Mungkin kita perlu pahami, bahwa dalam masyarakat Jawa, sapaan “Mas” dan “Mbak” bisa disandangkan pada siapa saja, tanpa memandang usia. Dulu ketika saya masih mahasiswa dan bekerja praktek di perusahaan, karyawan disana memanggilkami “Mbak” dan “Mas”. Ketika kami KKN di desa, Pak Lurah yang sudah tua pun memanggil kami “Mas” dan “Mbak”. Jadi tak perlu disalah tafsirkan terllau jauh, ini hanya faktor kebiasaan budaya semata.

13488798331196011191
Barang bukti yang disita polisi dan pelaku tawuran. Ada niat sejak awal menyiapkan peralatan perang seperti ini (foto : www.solopos.com)

EKSPRESI BANGGA DENGAN PERILAKU KEKERASAN

Tapi sudahlah, saya bukan ahli bahasa Indonesia, saya tak tertarik membahas kalimat tanya itu. Saya justru menangkap pesan penting dari kejadian ini : sebagian siswa SMA jaman sekarang memiliki beban psikososial yang berat! Bayangkan, membawa clurit dan aneka sajam ke sekolah, tentu sudah direncanakan dari awal. Clurit bukan sesuatu yang bisa ditemukan begitu saja di jalanan, bukan? Apalagi kabarnya clurit itu kerap sengaja disembunyikan di selokan dekat sekolah atau dititipkan di warung tempat nongkrong di sekitar sekolah, demi menghindari razia guru di sekolah. Bukankah ini berarti remaja-remaja itu sadar sepenuhnya perbuatannya terlarang dan melanggar hukum, tapi mereka tetap ingin melakukannya?

Seseorang yang terbiasa membawa clurit sekalipun, misalnya seorang penyabit rumput untuk memberi makan ternak, belum tentu punya nyali menyabetkannya pada manusia, atau bahkan pada kambing gembalaannya sekalipun! Artinya, sajam itu akan berbahaya bergantung pada niat awal untuk apa sajam itu disiapkan. Dan niat itu bergantung pada jiwa penggunanya. Seseorang yang jiwanya sehat, tentu tak ada keinginan untuk menyerang, melukai apalagi membunuh makhluk bernyawa, apalagi sesama manusia.
Inilah yang seharusnya lebih kita terima sebagai suatu fakta : anak-anak kita sehari-hari berangkat ke sekolah bukan membekali dirinya dengan buku dan alat tulis

Mereka memenuhi tas sekolahnya dengan clurit, pisau, ikat pinggang panjang dengan gear bergerigi di ujungnya, potongan besi panjang yang bisa membuat kepala bocor sekali pukul, bahkan dengan batu-batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Jadi, mereka bukan bersiap untuk belajar, mereka bersiaga untuk diserang atau menyerang! Maka, tak perlu heran kalau mereka memang sejatinya benar-benar puas, karena merasa telah mengalahkan musuh, telah bisa menyerang duluan sebelum diserang. Bukankah tanpa di tanya pun ekspresi itu bisa dibaca dari mimik muka dan sikap tubuh?

13488800211018069516
Beginilah ekspresi jagoan saat sekelompok siswa menyerang wartawan di SMA 6 setahun yang lalu. Sama sekali tak ada ekspresi belas kasihan melihat korbannya sudah terdesak dan tak mungkin melawan dikeroyok banyak siswa sekaligus (foto : wartanews.com)

Kemarin saya baca tulisan di Kompasiana, kabarnya ada yang men-tweet : “anak SMA 6 dan SMA 70 lebay! Baru mati satu saja sudah heboh!”. Nah, bukankah ini juga ekspresi betapa tidak berharganya nyawa di mata remaja kita? Mungkin sebagian dari kita masih ingat, setahun yang lalu, September 2011, sekelompok siswa SMA 6 Jakarta menyerang sekelompok wartawan dari berbagai media yang sedang berkunjung ke sekolah mereka. Kasus itu jadi ramai dibincangkan karena tweet dari salah satu pelaku pengeroyokan yang dengan sangat bangga dan arogan menunjukkan betapa dia “sukses” menganiaya wartawan sampai babak belur. Tweet itu kemudian di retweet berkali-kali dan mengundang banyak kecaman. Bahkan dicopas pula ke status Facebook beberapa penggunanya. Publik dibuat geram karena seorang anak belasan tahun, siswa sebuah sekolah favorit, ternyata sangat bangga melakukan penganiayaan sadis.

Kita juga pernah dikejutkan dengan status FB seorang remaja, saat terjadi bentrok antar suporter klub bola di Jakarta, yang menyebabkan tewasnya seorang suporter klub bola lawan. Si penganiaya dengan bangga menulis di FB-nya bagaimana ia “berhasil” menganiaya musuhnya sampai mati. Kabarnya, pelaku bisa diketahui justru karena status FBnya yang dimaksudkan sebagai bentuk pamer kebanggaan pada pacarnya. Miris bukan?

Inilah realita yang seharusnya kita tangkap : anak-anak remaja kita bangga dengan kekerasan. Mereka menjadikan tolok ukur eksistensi dirinya dari “keberanian” menyerang siapapun yang dianggap musuh. Dengan atau tanpa pertanyaan yang diajukan Pak Nuh, tiadanya rasa penyesalan bahkan justru rasa puas karena berhasil menghabisi “lawan”, tetap tak bisa dinafikan. Tanya Pak Nuh justru sekali lagi menyadarkan kita, bahwa anak-anak kita sudah sangat terbiasa melakukan kekerasan untuk mendongkrak eksistensi dirinya.

13488801561287242510
Hj. Elly Risman Musa, psikolog, pemerhati anak dan konsultanb parenting (foto :koran.republika.co.id)

GAME ONLINE, SALAH SATU KONTRIBUTOR ANARKHISME

Psikolog Elly Risman – yang dikenal sebagai pakar parenting dan pemerhati anak – sejak beberapa tahun lalu sudah merisaukan hal ini. Dalam berbagai kesempatan, Bu Elly selalu mengingatkan para orang tua tentang bahaya game online bagi anak-anak. Tak main-main kata Bu Elly Risman, jika kita membiarkan anak-anak kita terbiasa asyik dengan game online, jangan heran jika kita sebenarnya sedang mendidik teroris-teroris cilik yang akan terbentuk watak, karakter dan perilakunya dengan pola kekerasan.

Betapa tidak, menurut Bu Elly, dalam banyak game online yang themanya pertarungan antar tokoh game, kekerasan selalu mendominasi. Darah muncrat seolah nyata. Alat-alat yang digunakan untuk menyerang lawan pun menginspirasi anak untuk menggunakannya sebagai alat menyerang siapapun yang dianggap musuhnya. Anak yang memainkan dipicu untuk lebih dulu menyerang sebelum diserang. Lebih cepat memulai menyerang, lebih baik. Makin sadis caranya menyerang, dan melumpuhkan musuh, makin puas pula si pemain game. Adrenalinnya seolah terpicu untuk terus menyerang sebelum musuh terkapar tak bergerak dan darah membanjir disekitarnya.

Jaman sekarang, warnet-warnet yang lokasinya dekat sekolah atau di perumahan yang banyak anak usia sekolah, lebih banyak terminalnya yang berfungsi sebagai game online ketimbang untuk browsing. Anak-anak yang jenuh dengan padatnya jam pelajaran di sekolah, pulang ke rumah tak bertemu orang tua, lebih suka nongkrong di warnet. Berjam-jam tanpa terasa lewat begitu saja untuk bermain game online. Dan tanpa disadari pula, kehalusan jiwanya terkikis oleh kekerasan yang dipertontokan. Rasa jijik melihat darah, berganti jadi rasa puas melihat darah muncrat dari tubuh lawan.

Jadi…, masihkah kita meragukan bahwa memang sebagian remaja kita sudah teracuni kebiasaan berperilaku anarkhis dan sadis? Apa kita masih tetap lebih tertarik mempersoalkan diksi pertanyaan seorang Mendikbud ketimbang mengambil hikmah dari fakta yang terjadi? Bukankah lebih baik kita mendiskusikan bagaimana sebaiknya agar anak-anak didik itu kembali membawa buku dan alat tulis ketimbang celurit dan ikat pinggang bergerigi. Bagaimana agar adrenalinnya lebih terpicu untuk memecahkan soal matematika yang rumit, ketimbang untuk menyerang lawan. Bagaimana agar anak-anak itu puas karena jago main bola ketimbang jago menghantam anak sekolah lain. Ini bukan semata tugas guru, beban sekolah, tapi ini tugas orang tua, beban , masyarakat. Mungkin anak kita termasuk anak baik-baik, tapi dia tetaplah tak aman jika lingkungan dan teman-temannya masih gemar tawuran. Sebab anak baik-baik dan pendiam sekalipun bisa jadi korban salah sasaran penyerangan antar pelajar.

catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update