mba tyas penulis yg lama bermukim ditimur tengah
Hmmm…kali ini saya tak hendak menulis tentang what’s on your mind (eh ini Facebook ya…) atau tentang pengalaman yang pernah saya saksikan di lingkungan sekitar.
Kali ini saya hendak bercerita tentang kisah suami saya tercinta dalam menempuh jalan panjang menuju gelar sarjananya.
*****000*****
Kebetulan suami saya (disingkat SS
ya…biar gampang nulisnya) dianugerahi otak yang lumayan encer. Ini bisa
dilihat dari riwayat sekolahnya sejak SD hingga SMA, semuanya termasuk
sekolah favorit di kota asalnya, Semarang.
Lulus dari SMA 3 Semarang, SS masuk ke
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Hubungan Internasional,
UGM, melalui jalur PMDK, yang berarti langsung masuk tanpa melalui tes
Sipenmaru atau UMPTN. Kebetulan selama di SMA, SS selalu nangkring di
rangking pertama sejak kelas 1 hingga kelas 3.
Nah, sedihnya, kebetulan SS berasal dari
keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya hanya pegawai kecil di suatu
perusahaan swasta, yang tiap gajian yang hanya sebulan sekali, sudah
dihadang oleh tetangga sekitarnya, mau pinjam uang. Karena sang ayah
berhati mulia, maka merelakan sebagian uang gajinya untuk dipinjam
tetangga sekitar yang kebetulan juga hidupnya lebih melarat.
Ibunda SS hanya ibu rumah tangga biasa yang
sehari-hari sudah kerepotan mengurus ketiga anaknya, yang jaraknya 2
tahun tiap-tiap anak. SS adalah anak sulung. Praktis, ibunda SS tak bisa
membantu suami mencari tambahan penghasilan, selain harus mengirit-irit
uang setiap bulannya dan rajin berhutang beras di warung sebelah
(hiks..). Tentunya hutangnya selalu dibayar.
Saat SS sudah beranjak besar, ibunya
memutuskan untuk berjualan penganan kecil dan aneka gorengan untuk
membantu penghasilan suami. Karena SS anak paling besar, maka dia rajin
membantu ibunya menggoreng aneka gorengan seperti pisang dan tempe untuk
dijajakan ke warung-warung terdekat.
Tak heran, saat ini, SS paling suka dimintai
tolong untuk menggoreng, karena dia punya teknik tertentu untuk membuat
gorengan yang hasilnya cantik. Setiap melihat penjaja gorengan, apalagi
penjualnya ibu-ibu, SS pasti akan memborong jualannya. Dia teringat masa
lalunya….
*****000*****
Kembali ke kisah SS masuk perguruan tinggi.
Saat itu, orangtua SS sudah wanti-wanti bahwa
mereka hanya bisa membiayai kuliah beberapa semester saja dan sedikit
uang kiriman untuk biaya hidup sehari-hari.
Karena tekad kuat SS untuk memperbaiki nasib,
maka ia nekat kuliah di UGM, walau tak tahu dengan cara apa membayar
kuliah setelah orangtuanya tak sanggup lagi membiayai.
Beruntungnya, SS kos di Kaliurang di suatu
rumah yang pemiliknya sangat baik dan mengerti kondisi keuangan orangtua
SS. Saat ditanya biaya kos per bulan, bapak kos hanya menjawab: monggo, semampunya saja.
Ibu kos juga tak kalah baik, SS sering diberi nasi dan lauk seadanya. Hal ini sangat menolong untuk menghemat pengeluaran.
Kebetulan rumah kosnya jauh. Untuk menghemat
ongkos, SS harus jalan kaki bolak-balik dari kampus ke kos. Jika
kebetulan harus seharian di kampus, SS terpaksa makan di warung termurah
di sekitar kampus.
“Saat itu, makanku hanya nasi separuh,
sayur, ditambah tahu atau tempe satu”, kata suamiku, kala dia bercerita
tentang masa lalunya. “Sungguh prihatin. Kadang aku masih merasa lapar,
rasanya lemas, tapi aku harus menghemat pengeluaran, yang penting aku
bisa kuliah”.
Dan terjadilah apa yang selama ini
dikhawatirkan, orangtua SS sudah tak sanggup lagi membiayai kuliah SS,
karena adiknya diterima di UGM, Teknik Mesin, lewat jalur PMDK juga
(pintar-pintar banget nih kakak adik…). Otomatis, adiknya juga butuh
biaya untuk kuliah.
Tapi SS tak kalah akal, jauh sebelumnya, ia
mencari beasiswa kesana-kemari. Untunglah, setelah susah payah mencari,
SS mendapat beasiswa Supersemar.
Setelah berjuang dan prihatin bertahun-tahun
lamanya, akhirnya suami saya tercinta lulus dari Fisipol UGM sebagai
lulusan terbaik di jurusannya dengan predikat Cum Laude.
My dear, to the world you might only be a person….
But to one person, you might be the world…
Tak usahlah saya berkisah panjang bagaimana
jasanya pada orang lain, bagaimana SS bersusah payah jam 4 pagi
mengendarai mobil 6 jam lamanya menuju perbatasan Irak yang jalannya
sepi hanya gurun berdebu sejauh mata memandang, demi mendengar kabar ada
TKW disana yang ditusuk perampok…
Dan tak usah saya bercerita tentang apa saja
yang pernah dilakukannya pada kaum papa….tak usah….biarlah hanya Dia
yang tahu…Sang Maha Tahu, Sang Maha Melihat…
Suami saya, seorang sarjana yang susah payah
menempuh kuliahnya, hanya sosok pendiam yang banyak bekerja dan tak
pernah banyak bicara, tak pernah hanya omong doang.
Salam hangat,
catatan mba Tyas freedom writers kompasianer