Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

GENG

15 September 2012 | 15.9.12 WIB Last Updated 2012-09-15T16:42:50Z

Dua orang berjalan ke arah berlawanan. Satu ke utara, satu ke selatan. Itu terjadi pada malam hari. Pada pagi, satu berjalan ke selatan, satu lebih ke selatan. Dalam satu waktu pada musim hujan, keduanya bertemu, pada sebuah persimpangan.
“Hei, itu ada bunga di lehermu!” seru yang berjalan ke utara.
“Oh, bunga ini? Ada yang mengalungkan di leherku. Namanyapun aku tak tahu,” jawab yang berjalan ke selatan.


“Ah, paling itu geng-mu!” kata yang berjalan ke utara lagi, lalu pergi sambil melambaikan tangan.

Yang berjalan ke utara bernama Utari. Ya, ya, sebangsa manusia putih yang suka berbaju hitam. Ia menyimpan kesedihan atas waktu. Dari namanya, jelas ada darah biru mengalir di dalam pembuluh jantungnya. 

Yang ke selatan punya banyak nama. Nama aslinyapun ia lupa. Pernah ia bernama Selokan, ketika hidup dari satu saluran limbah ke limbah berikutnya, mengorek-ngorek benda-benda rongsokan. Pernah juga ia bernama Tangkuban, ketika tak bisa memandang ke atas, apalagi ke ketinggian. Teman-temannya memanggil Lipan, barangkali karena langkah-langkah kakinya berjalan begitu cepat, sehingga seakan punya kaki seribu. Tapi ia tetap lupa siapa nama aslinya.

“Hidup adalah siklus. Panggil saja namaku: Sang Selatan,” katanya, suatu hari, ketika bertemu Utari lagi secara tak sengaja pada sebuah pertigaan jalan. 

Untuk kota sebesar Jakarta, jalan bersimpang tiga selalu memunculkan kemacetan. Setelah lama mobilnya tak juga bergerak, ia memutuskan berhenti, memarkir, lalu berjalan ke sebuah pondok makan berhawa panas di bumi yang semakin kering. Dan ada Utari juga di dalam pondok itu, berkeringat, tentu. Ada satu kursi di depan Utari dan dia duduk, lalu memperkenalkan diri. 

“Aku Utari. Jalanku lurus, hatiku lurus,” gumam Utari. Tentu, Utari adalah perempuan dan Sang Selatan adalah lelaki. Hampir tak ada percakapan setelah itu, bertatapan selintas, tetapi kedua orang itu memandang ke dalam pikiran masing-masing. Lalu lalang orang-orang menjadi kesunyian.
== Inilah Jakarta, lebih banyak kesunyian yang hinggap, daripada hiruk pikuk apapun ==
“Kamu tak ingat, kita pernah bertemu?” tanya Sang Selatan, akhirnya. Ia paling tak suka apa yang ia barusan katakan. Terkesan seperti berharap. Atau mungkin sebuah doa yang meruap ke udara.
“Tentu aku ingat. Hm, masa lalu yang buram. Kemana kamu buang bunga gengmu itu?”
Sang Selatan tergelak. Ia seperti mendengar nada berulang pada ringtone handphone-nya yang tak berubah bertahun-tahun. 

“Aku tak punya geng. Bagaimana bisa aku memiliki kepercayaan kepada manusia-manusia kota ini yang bergegas datang, tergopoh pergi? Kota ini hanya tempat lalu, setelah itu berlalu. Tapi, aku juga tak bisa mengubah kepercayaanmu itu bahwa aku punya geng!” 

Kalimat panjang terdegar dari mulut Sang Selatan. Keluar begitu saja. Dan kebetulan lancar. Dia bisa berjam-jam membela diri di hadapan orang-orang yang dikenalnya, tetapi bagaimana bisa dia mengatakan sesuatu yang bisa meyakinkan orang yang lewat dan berpapasan saja seperti Utari?
Kemacetan makin mengular. Kini, debu-debu ikut berjumpalitan di udara. Sungguh, kota tua yang kejam. Tak ada tempat untuk sekadar istirahat, apalagi menyenderkan bahu. 

Utari seperti tak terpengaruh atas kalimat panjang itu. Dia sudah banyak menemukan kebohongan ala manusia-manusia bumi.  Andai ia punya sayap, sudah lama ia ingin pergi  menuju bintang dan menetap pada satu gugus galaksi, mengedip pada bumi saban malam yang gulita. Bintang Utari, mungkin itu namanya. 

“Itu apa? Baru saja kamu periksa handphonemu, kan? Di zaman serba digital sekarang, begitu mudah menemukan geng seseorang. Lalu-lintas pembicaraan lewat facebook, twitter, friendster ataupun milis-milis umum. Sang Selatan, berapa kali kamu berkicau setiap hari?” 

Sang Selatan kembali tergelak, lebih keras lagi. Ia menikmati pertanyaan-pertanyaan penuh hunjaman itu. Kritis, mengiris, tetapi tetap terbuka dengan perntanyaan-pertanyaan berikutnya. Tak akan habis, seperti air yang menjaga lautan agar tetap bernama samudera. 

“Manusia perlu disapa. Apapun sapaan itu. Sekadar sapaan belum tentu itu tanda telah terjalin keakraban, bukan? Eiiits, tunggu, kamu tidak perlu menyanggah lagi. Aku akan mendengarmu. Apa kabar siang ini?” 

Utari yang sudah membuka mulutnya, menutupnya lagi. Ia memilih meminum air putih dari tempat minum di tasnya. Es jeruk panas yang dipesan sejak tadi, hanya sekali diteguknya. Minuman itu begitu cepat terlihat tak layak minum dan seakan limbah yang dituang dan diperas langsung dari buahnya. Beberapa ekor lalat ikut berkerubung. 

Minuman sama, sudah habis masuk ke kerongkongan Sang Selatan. Kebiasaan lamanya adalah: segera habiskan makanan dan minumanmu, sebelum virus-virus ikut bergabung. Untuk kota Jakarta yang beracun ini, makan dan minum adalah kegiatan untuk menghindari penyakit. Semakin cepat makanan dan minuman habis, semakin kecil peluang penyakit ikut mencari pintu masuk ke dalam tubuh.
Seorang polisi datang ke pertigaan. Ia mulai menunjuk ke kiri dan kanan. Profesi yang paling dibenci itu, kini perlahan membuat mobil-mobil bergerak. Benda-benda itu terlihat lebih patuh kepada tangan polisi ringkih itu, ketimbang pada pemahaman atas rambu-rambu lalu-lintas dalam setiap tes mendapatkan Surat Izin Mengemudi. 

++ Di kota ini, manusia tidak digerakkan oleh aturan. Juga bukan oleh kesadaran diri sendiri. Yang menggerakkan: manusia lain. Manusia menjadi paku yang baru bergerak setelah dipukul palu ++
Utari mengangkat pantatnya, tetapi Sang Selatan lebih dulu bergerak menuju kasir. Dia membayar untuk dirinya dan diri Utari. 

“Kenapa minumanku kamu bayar?”
Utari berucap, keberatan.
“Tidak, aku tidak membayarnya untukmu. Bukankah kamu punya teori untuk geng? Orang-orang yang kita sapa, kadang pagi, kadang malam? Orang-orang yang juga sering tak kita kenal? Orang-orang yang kita kenal, tapi jarang sekali bertemu? Di tempat ini, walau hanya sebentar, lalu bicara untuk hal yang besok kita mungkin lupa, bukankah kita sudah bertemu? Menurut defenisimu sendiri, kita berdua adalah geng itu. Jadi, aku membayar untuk kata itu: geng,” balas Sang Selatan.
Utari terlihat ingin bicara lagi, tapi Sang Selatan memberi tanda bahwa dia buru-buru.
“Selamat jalan!” ucap Sang Selatan.
“Selamat jalan!” 

Utari berkata. Sang Selatan beranjak menuju kendaraannya. Tanpa salaman. 

== Dan Jakarta segera menelan keduanya == 

catatan Indra J Piliang
×
Berita Terbaru Update