Masih lekat
dalam ingatan saya, sebuah papan iklan besar (baliho) bergambar bapak,
ibu dan dua anaknya disertai logo BKKBN dan simbol acungan dua jari.
Atau iklan yang bergambar sosok seorang ibu berkebaya, semangkok sayur,
dan sebutir telur, yang disertai tulisan tentang pentingnya gizi untuk
ibu menyusui. Iklan-iklan itu bagi saya pribadi
terasa begitu melekat dalam ingatan, baik pesan yang disampaikan maupun
simbolisasi pesan yang khas. Tapi itu papan iklan jaman dulu, bagaimana dengan papan iklan jaman sekarang?
Melihat iklan layanan masyarakat sekarang, yang terpampang berjejer memenuhi setiap sisi ruas jalan seolah berebut porsi dengan iklan komersil, tampaknya sisi layanan masyarakatnya justru terabaikan. Yang melekat dalam benak saya, kok, hanya satu atau dua sosok yang wajahnya mendominasi semua iklan layanan masyarakat – atau justru iklan layanan pemasangnya?! Artinya, pesan yang disampaikan tidak melekat, karena semuanya nyaris senada :menonjolkan sosok SIAPA, bukan APA pesan yang disampaikan. Umumnya, gambar pejabat publik.
Tak lagi saya temukan simbolisasi pesan yang khas, memiliki pesan gambar yang langsung bisa dipahami tanpa membaca tulisan berderet yang menyertainya. Lihat saja, iklan pembangunan daerah, iklan gerakan wajib belajar, iklan Posyandu, iklan pajak, iklan penggunaan BBM non subsidi, iklan event-event khusus baik event keagamaan atau lainnya dan masih banyak lagi, menampilkan “bintang iklan” yang sama. Tak jarang dalam pose yang sama pula! Bagaimana pesan utama bisa sampai
dengan cepat dan terekam kuat dalam memori, jika iklan-iklan yang
sebenarnya berbeda pesan dipenuhi oleh SATU potongan adegan yang sama?
Belum lagi ditambah tulisan pesannya yang kadangkala ditulis dengan
huruf yang kurang “eye catching” apalagi kalau dibaca sambil berkendara. Sehingga muncul pertanyaan, sebenarnya yang ingin disampaikan ini esensi iklannya atau narsisme pejabatnya?!
Efektifkah iklan layanan masyarakat yang sebenarnya
lebih “menjual” foto si pejabat publik itu? Kalau tolok ukurnya hanya
sebatas wajahnya terkenal, tentu target itu tercapai. Bagaimana tak
bakal terkenal kalau tiap 500 meter ada baliho besar dengan gambar wajah
orang yang sama dengan senyum yang sama? Tapi cukupkah dengan wajah
dikenal akan membuat satu ikatan kedekatan psikologis dengan rakyat?
Yang paling gencar menebar balihoo di seluruh penjuru Nusantara setahun
terakhir ini adalah Pak Ical alias Abu Rizal Bakrie. Siapa yang tak
kenal beliau, mungkin hanya penduduk di wilayah terpencil saja yang tak
mengenalnya. Tapi akankah keterkenalan wajah ini akan mampu menggerakkan
masyarakat Indonesia untuk memilihnya menjadi Presiden I pada Pilpres
2014 nanti? Saya pribadi merasa keterkenalan bukanlah suatu jaminan akan
dipilih!
Dalam kasus baliho Ibu Atut, mungkin hal ini cukup
signifikan dan bisa dibilang berkontribusi mendongkrak perolehan
suaranya dalam Pilkada. Kondisi daerah-daerah di wilayah Propinsi Banten
yang sebagian besar kondisi infrastruktur transportasinya masih sangat
parah dan sulit di jangkau sehingga mejadikannya terpencil, membuat
warga sekitarnya jadi “buta” informasi tentang tokoh lain. Maka, baliho
bergambar foto Bu Atut yang sudah disebar sejak 2 tahun sebelum Pilkada,
menjadi satu-satunya rujukan warga. Maklumlah, sebagai Gubernur
incumbent Atut punya banyak keleluasaan memasang gambarnya di seantero
Banten dengan mendomplengi iklan layanan masyarakat, misalnya iklan
Posyandu.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di wilayah
Banten akhir 2009 lalu, saya pikir akan segera ada Pilgub di awal tahun
2010, sebab foto Atut bertebaran di tiap kilometer jalan yang saya
lalui. Ternyata saya salah besar, Pilgub baru diadakan menjelang akhir
2011. Tapi Bu Atut sudah beriklan sejak 2 tahun sebelumnya. Bagaimana
tak bisa dibilang iklan, semua baliho itu masuk kategori media luar
ruang, sebagian besar berbentuk papan iklan berkaki satu. Bahkan banyak
pula yang membentang melintasi kedua sisi jalan.
Artinya, pemasangan
papan iklan semacam itu seharusnya berbayar, ada pajak yang harus
dibayarkan. Benarkah papan-papan iklan yang jumlahnya bejibun itu
semuanya taat membayar pajak? Meski salah satu papan iklan itu justru
mengajak warga taat bayar pajak. Jika membayar pajak, siapa atau pihak
mana yang menanggung biaya pajaknya? Akankah si “bintang iklan” yang
berkepentingan mempopulerkan sosoknya itu yang membayar? Bagaimana pula
dengan biaya pembuatan dan pemasangan baliho/papan iklan itu : apakah
menggunakan uang dari kocek pribadi atau menggunakan dana APBD?
Ada teladan menarik yang perlu dicontoh dari sosok
Walikota Surabaya, Tri Risma Harini. Meski beliau jadi Walikota saat
saya sudah tak lagi tinggal di Surabaya, tapi dari cerita teman-teman
yang masih di Surabaya, nyaris tak ada satupun baliho, papan iklan atau
spanduk bergambar wajah Bu Risma. Warga Surabaya justru mendengar
kabarBu Risma dari media massa lokal karena pemberitaan atas kiprahnya,
atau cerita dari mulut ke mulut dari para Lurah dan Camat se-Surabaya.
Kabarnya, kalau turun hujan deras di Surabaya, Bu Risma menelpon
Camat-Camat di daerah langganan banjir. Memintanya menunggu di temnpat
tertentu, karena Bu Risma meluncur ke sana untuk mengecek apakah akan
terjadi banjir atau tidak dan kalau seandainya ada potensi banjir sudah
dipersiapkan penanganannya.
Warga justru tahu potret Bu Risma, karena beliau
sebelum jam 6 pagi sudah ikut menyapu jalanan kota Surabaya. Saat gedung
Balai Pemuda Kota Surabaya terbakar beberapa bulan lalu, sorot kamera
TV yang memberitakan justru merekam kiprah Bu Risma ikut terjun ke
lokasi untuk mengawasi langsung pemadaman kebakaran. Pun ketika ada
perselisihan antar warga Gadel terkait kasus contek massal yang terjadi
di SDN Gadel II tahun 2011 lalu, Bu Risma pagi-pagi sekali sudah
mendatangi orang tua dari siswa yang dikucilkan warga. Bu Risma sendiri
yang menjamin warganya tak teraniaya di kampungnya.
Tanpa baliho, tanpa papan iklan, tanpa spanduk,
tapi dengan kerja nyata dan hadir langsung di tengah warga, itulah
popularitas yang lebih langgeng.Ketika sentuhannya dirasakan langsung
oleh warga, tanpa ada spanduk pun warga tahu siapa pemimpinnya.
Ini
terjadi juga pada Walikota Solo Pak Jokowi yang dikenal sangat rajin
menyambangi warganya. Maka tak heran popularitas Jokowi yang pendatang
dari Solo, mampu mengalahkan Foke yang sudah 5 tahun menjadi Wakil
Gubernur dan 5 tahun pula menjadi Gubernur incumbent.
Nah, Pak Ical yang tampaknya ngotot untuk running
pada Pilpres 2014, akankah beliau meniru cara Bu Risma dan Pak Jokowi,
atau lebih memilih cara seperti bu Atut? Melihat maraknya baliho Pak
Ical di sepanjang jalanan kota dan desa, tampaknya Pak Ical ingin
membuat dirinya dikenal lewat spanduk yang sama dan seragam se
Indonesia. Bukan hanya gambarnya, bahkan bentukk dan ukurannya pun
seragam. Akankah ini jadi jaminan mayoritas rakyat akan memilihnya pada
2014 nanti? Bagi sebagian masyarakat, melihat wajah Pak Ical justru
mengingatkan pada musibah lumpur Lapindo dan ribuan warga yang terusir
dari kampung halamannya yang sampai sekarang sebagian dari mereka tetap
menuntut haknya atas ganti rugi.
So…, kalau baliho itu justru
mengingatkan orang pada “prestasi negatif”-nya, akankah ribuan baliho
Pak Ical membuahkan hasil positif? Kita lihat saja setelah 2014, apakah
Pak Ical masih akan tersenyum selebar foto-fotonya di papan iklan yang
bertebaran dan kami temui setiap[ hari, pagi, siang dan malam.