polisi yang satu ini beda. Ia tak pernah mau menerima pemberian atau ucapan terima kasih. “Jangan…! Saya punya gaji kok”. Ia berpangkat AKP, rumahnya di pinggir pagar Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Alumni SECAPA Sukabumi, Jawa Barat.
Dia pengagum Pak Hoegeng, tiga dari polisi jujur Indonesia versi Gus Dur -Limpahan Rahmat Padamu Guru Bangsa- plus patung polisi dan polisi tidur.
Karena ia keseringan menolak, iapun dicerca masyarakatnya. “Susah berurusan dengan bapak polisi itu. Tidak mau menerima apa-apa. Kita jadi tidak enak”, begitu celotehan seorang warga.
Polisi seperti ini memang tak lazim, tidak umum, tidak lumrah. Perilakunya ‘menyimpang’ dari polisi-polisi ‘normal’ lainnya. Harga diri polisi ini tidak tertera di raut wajah dan cara bertuturnya. Saya tidak mengada-ada. Saya bertemu beberapa kali di kediamannya untuk beberapa urusan.
Bahkan pernah seorang keluarga ingin masuk Sekolah Polisi Negara (SPN) di Batua, Makassar dengan cara menyogok. Ia malah bilang, langsung saja ke SPN Batua POLDA Sulawesi Selatan. Beliaupun memberi jurus: “Kalau memang cerdas, pasti lolos”.
* * *
Ia sudah beberapa kali dimutasi sebab ia dinilai kurang ‘kerja sama’, sebagai aparat yang tunduk kepada kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, ia tak melakukan klarifikasi alasan institusi yang memutasikannya. Ia digusur ke Pasang Kayu, sebuah daerah terisolir berbatasan Sulawesi Barat-Sulawesi Tengah.
Sebagai teman, saya upayakan membezuknya. Sayapun bertemu lagi, dan karakternya tetap saja begitu, tak berubah. Enggan menerima uang dalam menjalankan profesinya sebagai pengayom masyarakat. Lagi-lagi masyarakat mencibirnya, bahkan rekan-rekannyapun memberi gelar: sok suci, sok moralitas, sok jujur.
Masyarakatpun mencibir, pantasan hidupnya begitu-begitu saja. Ke kantor naik motor tua, kadang mogok di jalan. Rumahnya kecil, sempit dan perabot seadanya. Tiada tanda-tanda kalau penghuninya adalah seorang polisi.
Cibiran masyarakat sekitar sampai juga di telinga beliau. Komentar bapak polisi ini cukup logically sebab ia menyatakan bahwa persepsi masyarakat sudah terlanjur buruk kepada polisi sehingga menjadi trauma dan sangat sulit untuk direhabilitasi. Posisi polisi di mata masyarakat sudah terlanjur salah. Polisi juga sudah serba salah, kita baik-baik dicibir, kita buruk diumpat. Spontan polisi ini berdiri sambil menjulurkan telapak tangan terbuka dan berkata:
“Jadi maunya masyarakat apa?”.
“Apa mereka tak merasa bersalah karena selalu mau jalan pintas?”.
“Apa mereka tidak memberi kontribusi atas hancurnya kepolisian kita?.
“Jika anaknya ditangkap karena narkoba, mereka nangis-nangis untuk dilepaskan”
“Kesadaran hukum apa semua ini?”
“Sampaikan kepada mereka semua, apa yang telah mereka perlakukan terhadap polisi?”
Kalimat-kalimat AKP ini membuat saya hanya mampu tertegun. Kuterdiam. Setidaknya memanglah antara masyarakat dengan kepolisian memiliki kecocokan, ada polisi bersedia disogok, hadir pula masyarakat siap menyogok. Maka kloplah.
Tetapi jika sang polisi tak mau disogok, meranalah calon penyogok. Polisi yang hobi disogok tapi masyarakat tidak mau, meranalah polisi itu. So, mau pilih polisi yang mana?.
Hemat saya, antara polisi dan kita (masyarakat, red) saling mendidik, saling membesarkan dalam budaya penyuapan. Saya jujur, saya pernah melakukan itu. Bagaimana dengan Anda?.
Yang pasti seorang polisi yang doyan sogokan melanggar Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 khususnya pasal 5 yang berbunyi: Menjaga Citra dan Kehormatan Lembaga POLRI
catatan muhammad armand freedom writers kompasianer