Sekitar 6 tahun lalu, saya pernah nonton sebuah
acara di stasiun TV swasta lokal di Surabaya, yang menanyakan apa
cita-cita dari sekelompok anak Jepang usia TK dan SD. Jawaban mereka
sederhana : jadi sopir truk, penjaga toko dan beberapa profesi lainnya
yang jarang disebut kalau kita menanyakan cita-cita pada anak Indonesia.
Sejak masih dalam gendongan ibu, umumnya anak-anak Indonesia sudah
dibisikkan agar kalau besar nanti jadi dokter, “insinyur”, astronot,
pilot, arsitek dan beberapa profesi “mentereng” lainnya. Yang paling
banyak memang jadi dokter.
Hampir tak pernah kita dengar orang tua mengenalkan
cita-cita pada anaknya untuk jadi sopir truk, tukang kebun, dll.
Alasannya mudah di tebak : profesi yang dianggap menghasilkan banyak
uang adalah dokter, arsitek, pilot, dan…, mungkin sekarang profesi
pengacara termasuk juga pilihan yang menggiurkan, sebab makin banyak
tersangka korupsi, makin laris profesi pengacara dicari. Profesi lain
yang tampak “gagah” adalah jadi tentara dan polisi. Gagah karena selalu
“menang” dimana-mana dan ditakuti rakyat. Dan yang dianggap “aman”
adalah jadi PNS, gaji rutin bisa diandalkan tiap bulan, tiap tahun ada
kenaikan gaji tanpa harus demo, menjelang Pemilu atau Pilpres biasanya
ada gaji ke-13 dan kelak ada pensiun yang bisa dicadangkan.
Karena sejak kecil sudah dikenalkan dengan konsep
cita-cita yang menghasilkan banyak uang, tak heran jika anak-anak
Indonesia umumnya sejalan dengan impian orang tuanya. Demikian pula
orang tua, demi mendukung anaknya mencapai cita-cita “bergengsi” itu,
mereka rela merogoh kocek berapapun, dengan asumsi profesi itu cukup
“menjanjikan” bagi masa depan anaknya.
Lebih 5 tahun lalu, teman kantor saya nelangsa,
anaknya gagal masuk kepolisian karena uang pelicin yang harus disediakan
– di luar jalur resmi tentu saja – jumlahnya mencapai 50-an juta
rupiah. Tentu itu jumlah yang tak mungkin bisa didapatnya dengan gaji
yang saat itu sekitar tak sampai 2 jutaan sebulan. Kemarin, di sebuah
tulisan yang mengupas tentang perilaku korupsi di kalangan polisi, saya
baca contoh kasus seseorang yang terpaksa sedih karena gagal memasukkan
anaknya ke kepolisian karena uang pelancar yang dipatok Rp. 80 juta jauh
dari jangkauannya.
Beberapa waktu lalu saya membaca di Yahoo.news,
sebuah PTN di Solo membuka jalur khusus Fakultas Kedokteran, yang hanya
bisa diakses anak-anak dari keluarga kaya, karena uang masuk yang
dipatok nilainya ratusan juta. Begitupun calon mahasiswa yang ketahuan
memakai joki saat ikut tes beberapa waktu lalu, adalah calon mahasiswa
untuk Fakultas Kedokteran UGM program Kedokteran kelas Internasional,
yang biayanya jelas mahal. Sudah bayar mahal, masuknya masih membayar
jasa joki pula. Suami kakak sepupu saya yang beberapa tahun lalu menjadi
Pembantu Dekan III Fakultas Kedokteran sebuah PTN, pernah mengeluhkan
bahwa mahasiswanya yang masuk lewat jalur berbayar yang seringkali
”jor-joran” antar calon mahasiswa dalam membayar uang masuk yang
jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah, ternyata kualitas mereka tak
sebaik mahasiswa yang masuk lewat jalur ujian tulis secara nasional.
Setiap kali ada moment penerimaan pegawai baru
lewat tes masuk CPNS, selalu pula terdengar kabar tak sedap adanya uang
pelicin yang harus disetorkan atau setidaknya punya koneksi yang punya
jabatan strategis dan punya kewenangan untuk menitipkan kerabatnya.
Jadi, sebenarnya sudah jadi rahasia umum, bahwa profesi-profesi yang
banyak diincar orang, biasanya cara masuknya tak murni hanya
mengandalkan kepintaran untuk bisa lolos tes. Selalu ada alternatif
“pintu belakang”. Kalau punya koneksi kuat dan mampu menyediakan
sejumlah besar uang pelicin, meski hasil tes tak memenuhi syarat pun
bisa didongkrak hingga mampu menggusur orang lain yang seharusnya bisa
lulus.
Issu semacam itu sudah terjadi bahkan sejak masih di tahap pendidikan.
Mau masuk pendidikan kepolisian, ketentaraan, kedokteran dan sejumlah
jurusan “mentereng” lainnya, seringkali tak cukup hanya mengandalkan adu
kepintaran dan berbekal doa siang malam semata. Anehnya, para orang tua
banyak pula yang rela merogoh kocek dalam-dalam meski jumlahnya kadang
sangat fantastis. Entah karena mereka memang kaya dan punya uang
sejumlah itu, atau mereka rela menjual assetnya – rumah, tanah dan
kendaraan – bahkan yang sampai rela berhutang atau meminta bantuan sanak
saudara demi memasukkan anaknya ke sekolah yang diharapkan akan
mengantar anak mereka menjadi profesional yang kelak akan mengalirkan
uang banyak pula. Alhasil, menyekolahkan anak ibarat berinvestasi. Berapa modal yang keluar, kelak diharap jumlah itu akan kembali dalam tempo tak lama.
Maka, lahirlah anak-anak didik produk pendidikan berbiaya tinggi. Ketika mereka telah lulus sekolah dan menjalani profesinya, orientasinya adalah “mencari uang” sebanyak-banyaknya. Karena
itu kita tak perlu heran kalau melihat polantas masih muda, tapi dengan
enteng saja menerima suap dari pengendara kendaraan yang seharusnya
ditilang. Bahkan bila perlu mereka menjebak pemakai jalan, agar punya
alasan untuk “memalak”nya. Juga tak perlu heran kalau sering terdengar
berita para prajurit TNI atu polisi yang mencari “ceperan” dengan
menjadi becking bagi pengusaha hiburan malam, mulai yang kelas bintang lima sampai yang kelas warung remang-remang.
Kita pun sudah sama-sama maklum kalau biaya berobat
kini makin mahal dan tindakan medikasi berlebihan dari rumah
sakit-rumah sakit berkelas internasional, juga terkesan dipaksakan.
Seperti apa yang dialami oleh Prita Mulyasari. Terkadang penyakit tak
terlalu parah pun sudah disarankan dirawat inap. Bahkan bila perlu,
sampai 2-3 dokter spesialis yang menangani. Komersialisasi sudah terjadi
di semua lini kehidupan.
Saya pernah mengenal seorang dokter baru lulus yang
saat itu masih PTT di sebuah kecamatan di ujung Surabaya Barat. Suatu
kali ia memborong sejumlah obat sampai berkardus-kardus. Saya lihat
sebagian besar pil-pil yang dibelinya adalah obat-obat generik yang
biasa dipakai dalam pengobatan massal dan gratis. Lalu ada sekardus
besar berisi obat batuk dalam kemasan botol. Dia menguliti kertas label
obat batuk bertuliskan merk dan komposisi kandungan obat. Saya tanya
kenapa labelnya dibuang. Dia menjawab dengan tenang :
“Supaya pasien
gak tahu ini obat namanya apa. Kalau dia tahu, nanti kalau sakit lagi
atau ada keluarganya yang sakit juga, dia bisa beli sendiri di toko obat
. Kalau labelnya dibuang, kan dia terpaksa datang lagi ke tempat
praktek saya”. Saya terperangah sambil berucap dalam hati : .“ternyata…,
tak cukup hanya pintar, perlu juga hati nurani, agar ada keikhlasan
untuk menolong orang yang sakit, bukan semata berhitung pendapatan yang
masuk, sehingga berharap makin banyak yang sakit, makin banyak yang
datang ke tempat praktek, makin banyak uang diterima”.
Tapi memang menjalani profesi berorientasi materi
tidak sepenuhnya bisa disalahkan dalam kehidupan dimana semuanya
“dibeli” dengan uang. Sebuah tulisan kemarin yang berjudul “Polisi
Memang Harus Korupsi”, menyoroti hal ini. Kalau untuk masuk saja harus
menyediakan uang puluhan juta, belum lagi dalam perjalanan karir pun di-back up
uang, untuk bisa mulus naik pangkat hingga jadi jendral juga perlu ada
uang, maka tentu tak heran jika sejak dalam proses pendidikan,
paradigma materialistik sudah ditanamkan.
Begitupun ketika mau masuk
CPNS harus menyogok puluhan juta, tak perlu kaget kalau setelah jadi PNS
kemudian korupsi dan masih muda sudah punya rekening gendut. Begitu pun
kalau masuknya ke perguruan tinggi mengambil jalur berbayar mahal,
masih ditambah pakai jasa joki, tak heran kalau kelak setelah lulus
inginnya segera balik modal.
Ini juga terjadi dalam dunia politik. Mengikuti
ajang pemilihan caleg dan calon kepala daerah kini bukan lagi karena
didaulat rakyat, tapi karena ambisi politik. Kendaraannya lewat partai
politik, yang konon juga memungut “uang mahar”. Maka tak perlu heran
kalau banyak anggota DPR, DPRD, Gubernur, Walikota, Bupati, yang belum
habis masa jabatan sudah terjerat kasus korupsi. Yang masih selamat dari
tuduhan pun belum tentu benar-benar bersih, bisa jadi karena belum
ketahuan saja. Sebenarnya tak perlu heran kalau mereka korup, sebab
ongkos politik yang dikeluarkan pun jumlahnya bisa mencapai puluhan
milyar, seperti pernah dipaparkan Marissa Haque.
Sebuah contoh menarik pernah terjadi pada teman
saya sekitar tahun 2007. Putri bungsunya sekaligus anak perempuan
satu-satunya, saat itu akan lulus SMA dan berkeinginan masuk Fakultas
Kedokteran. Memang putrinya ini relatif pintar dan paling pintar
dibanding kakak-kakaknya yang laki-laki. Tapi si bapak tetap tak yakin
putrinya mampu menembus UMPTN untuk masuk FK sebuah PTN ternama di
Surabaya, yang FK-nya terkenal terbaik setelah FKUI dan saingannya
sangatlah berat. Karenanya si bapak sudah bersiap-siap mendaftarkan
putrinya lewat jalur berbayar. Ia sudah mendapatkan “daftar harga” tiap
jurusan. Sumber uangnya, sudah ia siapkan untuk menjual sebuah rumahnya
dan sebidang tanah yang menganggur – kebetulan teman saya itu seorang
pengusaha yang cukup sukses, assetnya berupa rumah kalau tak salah ada 5
unit dan sekitar 7 bidang tanah yang dia punya.
Si bapak mengajak saya diskusi dan minta pertimbangan saya. Saat itu saya hanya menjawab : “biarkan
anakmu meraih cita-citanya sendiri. Kalau ia berani punya cita-cita
tinggi, ia harus juga punya nyali kuat. Jangan membelikan anakmu
cita-citanya. Itu tak akan membuatnya menjadi kuat, sebab ia akan
berpikir ‘toh bapakku bisa membelikannya untukku’ “. Setelah menjawab demikian, saya memberinya sejumlah soal-soal yang bisa dipakai putrinya berlatih.
Beberapa bulan kemudian, saya dengan putrinya tidak
lagi ngotot masuk FK. Mungkin si bapak berubah pikiran tak akan
memasukkannya ke jalur berbayar, kecuali si anak sanggup menembus jalur
UMPTN. Si putri akhirnya ikut UMPTN dan memilih jurusan Desain Produk –
yang dulu cikal bakalnya ada di juruan Arsitektur ditambah ilmu Teknik
Industri – yang pesaingnya relatif tak sebanyak FK. Saat pengumuman
UMPTN, putri teman saya diterima di ITS. Awal 2011 kemarin, saya
mendapat sms dari teman saya, putrinya sudah lulus dan termasuk salah
satu dari lulusan tercepat dengan nilai baik. Tak berselang waktu
terlalu lama, dia menelpon saya, putrinya diterima di sebuah perusahaan
besar di Bali. Saya bersyukur, ternyata, tanpa “membelikan” putrinya cita-citanya, si putri justru tertantang untuk meraihnya sendiri sesuai kemampuan.
Memang, tak jadi masuk kedokteran, tapi bukankah jurusan yang
dipilihnya kemudian juga mengantarkannya ke pintu sukses yang lain?
Jadi, jika kebetulan anda berkantong tebal dan
cukup mampu untuk membeli cita-cita anak anda, ada baiknya berpikir
panjang demi masa depannya. Apalah artinya membelikan cita-cita bagi
anak anda, jika itu hanya mengajarkannya untuk berpikir mengembalikan
modal jika sudah lulus kelak. Akhirnya, cita-cita bukan lagi sebuah
tujuan mulia, namun sebuah hitung dagang yang tak lepas dari perhitungan
untung rugi dan kembali modal. Apalagi jika cita-cita yang anda
“belikan” itu demi anak anda bisa masuk ke instansi pemerintahan atau
jadi aparat negara. Sama saja dengan membuatnya berpeluang korupsi untuk
kejar setoran demi kembali modal.
Kalaupun Tuhan memberi anda kelebihan rejeki,
sediakan saja anak tangga bagi putra-putri anda untuk membantunya meraih
cita-citanya. Sediakan fasilitas belajarnya, belikan ia buku-buku yang
diperlukan, ijinkan ia mengikuti ketrampilan tambahan yang dia mau. Yang
jelas, bukan untuk menyediakan joki ujian baginya dan bukan pula
memberinya alternatif mudah : kalau tak sanggup lewat ujian masuk tes
tulis, bapak/ibu mampu kok menyekolahkanmu lewat jalur berbayar. Tak
usah risau nak,kamu tak perlu pintar, sebab bapak/ibu sanggup membayar
untuk membuatmu mengalahkan yang pintar.
Padahal.., sampai kapan orang tua bisa terus
mendampingi anak-anaknya? Tak seorangpun yang bisa memberikan jaminan,
sampai kapan usia dan kejayaan masih beserta kita. Moment Ramadhan
seperti ini, dimana saat makan sahur dan berbuka puasa bisa jadi saat
berkumpul bersama sekeluarga di meja makan, ada baiknya mulai menanamkan
hal ini pada anak-anak kita : Nak, raihlah cita-citamu
setinggi yang kamu mau. Kalau kamu berani punya cita-cita tinggi dan
mulia, maka kamu pun harus punya nyali kuat, semangat yang tangguh dan
menempuh cara-cara yang mulia dan bermartabat. Bapak dan Ibu akan
mendampingimu, akan mendorongmu, tapi kami tak akan “membelikan”
cita-citamu, Nak.
Tapi jangan lupa pula memastikan, bahwa dana yang kita sediakan untuk membekalinya anak tangga meraih cita-citanya bersumber dari uang halal.
Sebab, memberi makan dan membiayai anak dengan uang haram sama saja
dengan memberinya asupan yang bisa membusukkan hatinya. Alih-alih
berhasil meraih cita-citanya, anak yang diberi makan dengan uang haram
justru tersesat di jalan yang salah dan mempermalukan serta bikin repot
orang tua. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal demikian.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer