Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Potret Perempuan Jepang Simbol Pengabdian Terbaik

6 Juli 2012 | 6.7.12 WIB Last Updated 2012-07-06T04:48:26Z

Kaum Muslimah Jepang, perempuan Jepang yang menjadi muallaf dan rajin ikut pengajian

Jika anda masih segenerasi dengan saya dan pernah jadi penggemar film serial drama keluarga Oshin yang sangat populer di TVRI pada penghujung tahun ’80-an sampai awal ’90-an, persepsi apa yang tertanam di benak anda tentang sosok kaum ibu di Jepang? Sosok kaum tertindas? Sosok penurut yang mengabdikan seluruh hidupnya demi keluarga? Atau bahkan menganggap itu suatu kebodohan karena rela berada dalam dominasi mutlak kaum pria?

Pada masa sebelum Perang Dunia II, umumnya keluarga Jepang dalam 3 generasi tinggal bersama dalam satu atap. Terdiri dari orangtua, anak-anak bahkan cucu-cucunya. Peran suami sebagai kepala keluarga sangatlah dominan. Semua kata-katanya adalah “hukum” yang wajib dipatuhi seluruh anggota keluarga. Ayah memiliki otoritas penuh untuk menentukan aturan dalam keluarga, mengarahkan pendidikan anak-anaknya, bahkan memberikan ijin bagi pernikahan anak-anak mereka. Peran ayah yang sangat dominan dan sentralistik ini terus tertanam berabad-abad lamanya. Seperti tergambar dalam film “Oshin”.

Sementara seorang istri – yang dalam bahasa Jepang disebut istilah “kanai” – benar-benar memegang peranan mengurus segala hal macam urusan domestik. Sesuai dengan makna kata “kanai” yang dalam literatur artinya “di dalam rumah”, maka “tempat” seorang istri adalah di dalam rumah, Ia melayani suaminya, mengurus orang tua suaminya, merawat dan membesarkan anak-anak mereka serta mengerjakan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Karena itu, seorang wanita dituntut untuk trampil menguasai berbagai macam keahlian dalam rumah tangga.

13415262261864996794
Keiko Abe, istri ilmuwan sekaligus pengusaha, dari keluarga ningrat, tapi tetap jadi ibu rumah tangga sejati yang mengabdi penuh pada suami

Namun perang telah membuat norma keluarga Jepang mengalami perubahan. Selama tahun-tahun peperangan, saat makanan sangat sulit didapatkan, ibu rumah tangga di Jepang melakukan segala upaya untuk menjamin agar keluarganya tetap bisa mendapatkan makanan dengan cukup. Mereka dituntut untuk bisa mempertahankan rumah tangganya sementara suami mereka berjuang di garis depan. Mereka juga tidak boleh membebani suaminya dengan kekhawatiran tentang masalah-masalah keluarga mereka.

Sejak masa itu, seorang ayah tak lagi memiliki kekuasaan yang absolut dalam menentukan aturan dalam keluarga. Ibu rumah tangga Jepang modern kebanyakan memiliki hak suara yang setara dengan suaminya dalam masalah keluarga. Bahkan seringkali dalam menentukan pendidikan anak-anaknya, seorang ibu berperan lebih dominan dibanding suaminya. Hal ini kebanyakan karena seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah sehingga jarang berinteraksi dengan anak-anak mereka. Ini menyebabkan anak-anak cenderung lebih dekat secara emosional dengan ibu mereka. Termasuk urusan sekolah, mulai dari persoalan antar- jemput sekolah, sampai menghadiri rapat atau pertemuan di sekolah anak-anak mereka.

13415382401124308285
URYU san, ibu asrama yang melayani dengan hati dan sepenuh jiwa.
1341526554122860329
Mami saat jadi relawan mengajar anak-anak di hari Minggu

Pendidikan Meningkat, Ekonomi Membaik, Tapi tetap Memilih di Rumah

Kendati sekarang sudah banyak wanita Jepang yang mengenyam pendidikan modern, tapi proporsi wanita yang bekerja di luar rumah masih tetap jauh lebih kecil dibanding kaum pria. Dari sejumlah data statistik yang dirilis lembaga/kementrian terkait – kebetulan di sana saya belajar tentang Sumber Daya Manusia – ada beberapa kecenderungan, antara lain :

1. Prosentase wanita bekerja yang tertinggi ditempati oleh kelompok usia 25 -29 tahun dan baru meningkat lagi pada kelompok usia 40 – 44 tahun dan 45 – 49 tahun.
2. Komposisi wanita bekerja yang lulusan sarjana dan pasca sarjana jauh lebih kecil dibanding wanita lulusan diploma atau sekolah keahlian lainnya, bahkan lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan wanita bekerja lulusan SMA dan sederajat.
3. Tingkat partisipasi wanita bekerja dari kurun tahun 1965 – 2002 terus mengalami penurunan, sementara kondisi perekonomian Jepang makin membaik.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa stereotype peran ibu sebagai “pengatur rumah tangga” dan “tempatnya di dalam rumah”, masih belum sepenuhnya pupus dalam norma keluarga Jepang modern. 3 simpulan yang bisa diambil adalah : pertama, perempuan bekerja ketika ia belum menikah atau setelah anak-anaknya bisa ditinggal sendiri. Kedua, makin tinggi tingkat pendidikan wanita Jepang, tidak menjamin mereka akan menekuni karirnya di dunia kerja. Ketiga, bahkan ketika kondisi ekonomi makin baik, maka paradigma bahwa wanita perannya di dalam rumah kembali mendapat tempat dalam khasanah keluarga Jepang modern. Itu semua menunjukkan fenomena meski kehidupan di Jepang semakin modern, namun norma-norma yang mereka anut dalam keluarga tetap berpegang pada norma tradisional.

13415266541995467669
Tae Nagasaki : simbol perempuan modern, berpendidikan, fasih berbahasa Inggris, namun memilih berhenti bekerja saat mulai mengandung anak pertamanya

Hal ini menuntut kepiawaian seorang ibu untuk men-transfer pemahaman kepada anak gadisnya tentang peran dan tugas perempuan dalam rumah tangga. Sepanjang pengamatan saya, transfer pemahaman ini relatif tidak menimbulkan cultural shock atau gegar budaya. Ini terbukti dari kerelaaan gadis-gadis Jepang mempersiapkan dirinya dengan cara membekali diri dengan berbagai ketrampilan praktis sebelum memasuki gerbang pernikahan. Bagi mereka yang ingin mengecap kebebasan lebih lama, mereka memilih menunda usia menikah dan memperpanjang masa lajangnya untuk menikmati kebebasan sepenuhnya sebagai wanita bekerja.

Teman se-asrama saya di apartemen Canon Bonheur Den-enchofu Ryou – Mary Shimizu – yang pernah mengenyam pendidikan ala Barat di Australia, masih taat pada paradigma ini. Kendati saat itu ia sudah bekerja di Canon dan mendapat posisi cukup baik, namun karena setahun kemudian berencana menikah, maka sejak setahun sebelumnya Mary sudah mengambil berbagai kursus ketrampilan wanita dan adat Jepang, agar nanti dia punya aktivitas yang bisa dilakukan kalau sudah jadi ibu rumah tangga. Misalnya Mary mengambil kursus kadou (merangkai bunga, ikebana) dan membuat teh untuk jamuan minum teh khas Jepang (sadou), kursus aroma teraphy, berlatih dansa, dan sebagainya.

13415267841678090945
Nagasawa Sensei, difoto candid saat di kelas, ketegasannya nampak

Prinsip “keluarga inti” atau “nuclear family” telah menjadi norma pasca perang di kebanyakan rumah tangga Jepang. Dalam keluarga Jepang, anak yang telah cukup usia untuk mandiri – sudah memiliki penghasilan sendiri – umumnya tak lagi tinggal bersama ortunya. Anak yang sudah menikah “wajib” keluar dari rumah dan tak lagi menumpang di “pondok mertua indah”. Demikian pula pasangan lansia kebanyakan menghabiskan sisa hari tuanya sendirian ketimbang bergabung dengan anak-anak mereka.

13415268532110301369
Nagasawa Sensei, difoto candid saat berekreasi, kesan santainya yang keluar

Dengan kondisi sosial seperti itu, tak ada yang bisa dititipin anak saat ibunya bekerja, maka para istri di Jepang memilih  berhenti bekerja ketika mereka akan memiliki anak. Kalau masih ingin melanjutkan karirnya, mereka harus sabar menunggu sampai semua anaknya beranjak remaja dan bisa mandiri. Artinya si Ibu sudah berumur 40-an tahun bahkan lebih.

Satu hal yang patut dikagumi dari bangsa Jepang adalah : kendati negara mereka telah maju dan pendidikan telah menyentuh semua lapisan masyarakat, namun para ibu di Jepang dapat dengan sukses ”mentransfer” pemahaman kepada anak-anak gadisnya tentang kodrat wanita dan perannya sebagai istri dan ibu. Sehingga tak terjadi ”gegar budaya” dan ”pemberontakan” dari para gadis Jepang. Dengan sukarela mereka akan mempersiapkan dirinya memasuki gerbang pernikahan dan mengalihkan perannya dari wanita yang bekerja di kantor untuk mencari nafkah menjadi bekerja di rumah untuk melayani keluarga. Seperti apa yang dilakukan Mary teman saya.

13415269601685205371
Mie Nakakukie san, figur wanita karir paruhg baya, kaum ibu yang memulai kembali karirnya pasca menikah dan memiliki anak. Santun, tegas

Sedangkan gadis-gadis Jepang modern yang belum siap melepas ”kebebasannya”, lebih memilih memperpanjang masa lajang dan menunda menikah. Itu sebabnya usia pernikahan gadis Jepang dalam 1 – 2 dasawarsa terakhir ini telah bergeser ke angka 30-an tahun. Kedua pilihan tersebut dan segala konsekwensinya diterima dengan baik oleh para gadis Jepang dan dijalani tanpa menimbulkan pemberontakan terhadap nilai-nilai budaya yang telah tertanam sejak lama. Sehingga tak memunculkan gerakan feminisme yang skeptis.

Saya pernah dengar sebuah pemeo yang entah dari mana asalnya, konon katanya “Japanese woman is the best woman to be married buat Japanese man is the worst man to be married”. Mungkin karena perempuan Jepang dikenal sangat penurut dan mengabdi pada suami dan keluarganya, sedangkan para pria Jepang dikenal sangat workaholic dan kerap kali lebih mendedikasikan dirinya pada pekerjaan dan tempatnya bekerja ketimbang pada keluarganya.

Ada beberapa figur perempuan Jepang yang sempat akrab dengan saya dan mengisi kehidupan saya selama di sana, entah untuk kurun waktu yang cukup lama atau sekedar bertemu dalam waktu tak terlalu lama. Saya coba menampilkan foto diri mereka. Meski mereka perempuan yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikan, tapi ada benang merah keserupaan pada raut wajah mereka : kesan sabar dan ramah, khas perempuan Jepang.

1341527057803587716
Kadou Sensei, maaf lupa namanya, bersamaku dan rangkaian bunga hasil uji coba pertama kali

Pertama : URYU san, ibu asrama atau Dormitory Manager atau dalam bahasa Jepang KANRININ. Usianya sudah 65 tahunan, pendidikannya tidak tinggi, suaminya seorang pekerja biasa di Canon. Pekerjaannya sebagai ibu asrama cocok sekali dengan karakter ibu rumah tangga Jepang : melayani! Tak mengerti sepatahpun kata dalam bahasa Inggris tak membuat Uryu san mengabaikan warga negara asing seperti saya. Perhatiannya bahkan ekstra ketimbang pada penghuni warga lokal.
Kedua, Keiko Abe, seorang ibu rumah tangga berusia 60-an tahun. 

Suaminya seorang pria 74 tahun, ilmuwan di prefektur Saitma, sekaligus pemilik sebuah perusahaan kelas menengah di distrik Saitama. Ke-4 putra-putrinya sudah mandiri sehingga rumah mewahnya terasa terlalu besar untuk ditinggali berdua dengan suaminya, membuat keluarga Abe melarang saya menyewa hotel selama saua kerja praktek di perusahaan milik suaminya. Tutur katanya yang selalu menggunakan teinen –bahasa santun semacam kromo inggil dalam bahasa Jawa – membuat saya menduga Keiko berasal dari keluarga ningrat. Ini membuat saya selalu sembunyi-sembunyi melihat kamus dulu sebelum berbicara dengan Keiko san. Sama seperti Uryu san, Keiko dan suaminya Abe juga tak bisa berbahasa Inggris sama sekali, tapi keramahannya melayani orang asing sangat luar biasa.

13415271491063414380
Sadou Sensei yang membimbingku mengaduk bubuk teh menjadi minuman yang lezat

Ketiga, Mami (aduh maaf, saya benar-benar lupa namanya), keluarga homestay saya. Suaminya seorang businessman, pemilik sebuah perusahaan. Tapi jangan dikira ke-4 putrinya hidup mewah. Putri pertamanya sudah menikah dan membuka warung makan di beranda rumahnya, saya pernah diajak ke sana. Ke-3 putrinya yang lain saat itu ada yang masih sekolah, tapi semuanya bekerja sebagai hambaiten (sales promotion girl). Mami sangat bangga dengan 4 putrinya, meski tak satupun yang akan mewarisi bisnis Papi.

Keempat, Tae Nagasaki, sahabat saya, figur wanita Jepang modern. Sudah menikah dan saat itu belum punya anak, sehingga ia tetap bisa bekerja. Belakangan, ketika saya sudah pulang ke Indonesia, Nagasaki san sempat menulis email bahwa ia sudah berhenti bekerja karena sudah hamil. Berbulan-bulan kemudian saya menerima email dengan lampiran foto putrinya dan itu email terakhirnya. Nagasaki san mungkin sudah larut dalam kesibukan seorang ibu, seperti lazimnya perempuan Jepang.

Kelima, Mie Nakakukie, figur ibu yang memulai kembali karirnya di usia 40-an. Saat itu ia menjabat Direktur Program pada Divisi Pendidikan milik Keidanren – semacam Kadin-nya Jepang – yang mengurusi program pendidikan dan pelatihan bagi pekerja-pekerja dari berbagai negara Asia yang dibiayai oleh Keidanren Jepang. Sosoknya yang kalem dan santun khas perempuan Jepang, tapi Nakakukie san punya ketegasan sehingga bawahannya kaum pria pun patuh pada instruksinya. Banyak keputusan, bahkan yang menurut saya remeh temeh, ditentukan atas persetujuannya.

Keenam, Nagasawa san, guru saya yang sersan : serius tapi santai. Orangnya tegas tapi sering kali kocak. Entah kenapa, Nagasawa san sangat skeptis pada lembaga pernikahan dan rumah tangga. Ia paling pantang ditanya umur dan keluarga. Dugaan saya Nagasawa san hidup melajang. Meski skeptis, tapi ia guru yang paling saya sukai karena kelugasannya dalam berbicara. Banyak wawasan soal keluarga Jepang yang saya dapat dari hasil ngobrol dengannya. Selain soal rumah tangga, Nagasawa san juga skeptis untuk urusan politik. Saya ingat candaannya dengan saya menjelang Pemilu yang dipercepat di masa PM Jun-ichiro Koizumi.”Kalau begitu, hari Minggu nanti kamu boleh mewakili saya datang ke TPS, Ira san” guraunya ketika saya katakan saya mendukung caleg muda tampan dari distrik Setagaya, yang hampir tiap pagi saya temui berkampanye di statsiun kereta api Oyamadai, dekat apartemen saya.

Selain itu, ada pula beberapa wanita yang saya kenal mengabdikan dirinya untuk mengajar budaya Jepang di kuil yang khusus untuk itu. Seorang Sensei (guru) yang mengajarkan tradisi Kadou – merangkai bunga ala Jepang – dan Sensei yang mengajarkan tradisi Sadou – tradisi meramu teh ala Jepang untuk jamuan minum teh. Jangan ditanya bagaimana kelezatan rasa teh yang dibuat dari konna (bubuk) berwarna hijau itu : ruaaaarrr biasa!! Dan kedua wanita tua ini dengan telaten akan mengajari siapapun yang mau belajar.

Terakhir : wanita-wanita Jepang yang kemudian mendapatkan hidayah dan mengikrarkan diri menjadi Muslimah. Ini adalah foto 3 orang diantara sekian banyak Muslimah Jepang yang sering saya temui 2x sebulan dalam pengajian di ”masjid” Otsuka. Jangan bayangkan bangunan masjid lengkapdengan kubah dan menara tempat adzan dikumandangkan. Itu hanyalah sebuah rumah yang dijadikan sarana ibadah dan menggelar berbagai aktivitas bagi kaum Muslim. Seorang muallaf Jepang bernama Asma yang telah mengenalkan saya pada jamaah di masjid Otsuka.

catatan ira oemar freedom writers kompasianer
×
Berita Terbaru Update