PADA hakikatnya, saya jadi wartawan berkat tuntunan dan pembelajaran Mohammad Natsir. Entah karena feeling beliau yang tajam, saya disuruh mendalami ilmu jurnalistik dalam praktik. Saya memang berminat kuat untuk profesi ini, kendati pendidikan formal saya amat rendah.
Kepada beliau tidak saya terangkan bahwa pendidikan cuma Sekolah Dasar VI Tahun, Standard Jongens Vervolkschool, sekolah dasar yang dominan mengajarkan bahasa Belanda. Di sini saya belajar bahasa Belanda selama 1,5 tahun, kemudian disambung 1,5 tahun pula belajar bahasa Jepang.
Berhenti belajar bahasa Belanda akibat kekalahannya melawan Jepang dalam Perang Dunia II. Saya tamat SD ini tahun 1945. Jadi, pandai bahasa Belanda sendikit dan bahasa Jepang sedikit pula.
Saya berkenalan dengan Pak Natsir sekitar tahun 1951. Tampaknya Tuhan yang mempetemukan. Acap kali saya beliau panggil di kantornya markas Partai Islam Masyumi. Jalan Raya Keramat No 62, kemudian pindah ke Kramat Raya 45 Jakarta. Kantor pusat Dewan Dakwah Iundonesia (DDI) sekarang.
Sekali-sekali beliau ajak naik mobilnya de Soto B-6363, belajar on the way. Dari beliaulah pertama kali saya mengetahui elemen suatu berita, 5W, 1H dan 1S, yakni What (apa), Where (di mana), When (apabila), Who (siapa), dan Why (kenapa). How (kenapa) dan S (security-tanggung jawab).
Beliau ajar bagaimana membuat lead (awal tulisan atau berita), yang hendaknya tercakup elemen-elemen tersebut. Beliau ajar menempatkan tanda-tanda baca, titik, koma, tanda kutip, tanda tanya dan tanda seru.
Beliau anjurkan membuat kata-kata yang bahasanya dapat dimengerti siapa saja, mulai orang yang baru bebas buta huruf sampai cendikiawan. Kalimat jangan panjang-panjang.
Suatu berita jangan sampai ada bantahan. Pegang teguh kode-etik jurnalistik. Jangan mau dibuju-bujuk seseorang untuk menyirkan atau tidak menyirkan suatu berita. Jika suatu sumber ingin dirahasiakan identitasnya, cuku pemimpin redaksi saja yang mengetahui. Ancaman apa pun tidak boleh membocorkan sumber yang minta dirahasiakan.
Berita Pertama
Berita pertama saya awal jadi wartawan tahun 1952, adalah ceramah Mr Syafruddin Prawiranegara di hadapan warga Banten yang banyak jadi pekerja pelabuhan Tanjungpriok. Ceramah agama tersebut dimuat di halaman II rubrik Kota, surat kabar Keng Po, koran bertiras besar terbitan sore, milik Cina anti-komunis di Jakarta.
Waktu itu, Pak Syaf—begitu saya sapa—baru saja diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia, bank sentral Belanda di Indonesia De Javasche Bank yang dinasionalisir, setelah Belanda angkat kaki menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Saya ingat walau beliau berkuasa di bank ini, tapi sekali-kali tidak melakukan KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotis). Bila beliau memasukkan orang baru bekerja di sini, harus melalui testing. Tidak ada koncoisme. Bekas karyawan De Javasche Bank yang masih tetap bekerja di sini, diberi indokrinasi jiwa nasionalisme.
Pertemuan kedua dengan Pak Syaf ketika beliau diundang tabligh akbar umat Islam di Karawang Jawa Barat. Saya disuruh Pak Natsir mendampingi. Kejutan terjadi. Panitia setempat menempatkan saya sekamar dengan Pak Syaf. Rumah keluarga ini terdiri dari hanya tiga kamar. Satu di antaranya untuk tamu. Saya tanya pada panitia, berapa tempat tidur di dalamnya. Dijawab: Hanya satu. Berarti saya harus satu tempat tidur dengan beliau.
Pagi, waktu kami sarapan, beliau berkomentar: Dasar kamu masih bujang, tidurnya gelisah. Sekali-sekali menyenggol saja, sehingga kenyenyakkan saya terganggu. Saya jawab dengan tersenyum saja.
Karena sudah akrab, saya sering beliau ajak ke kampungnya di Banten. Kembali ke Jakarta, bagasi mobil penuh dengan kelapa, beras, dan sayur-mayur hasil tani orangtua beliau. Orangtuanya memanggil sebagai Diding.
Jika menurut garis keturunan bapak (patrilineal), Pak Syaf orang Baten dari bapak Raden Arsjad, tokoh Syarikat Islam. Jika menurut garis keturunan ibu (matrilineal), beliau orang awak anak dari Nur’aini. Lahir 28 Februari 1911 di Anyer Kidul.
Ada Hubungan Keluarga?
Saya tidak tahu persis, apakah ibu saya punya hubungan keluarga dengan Buya Hamka. Yang saya tahu setiap beliau diundang bertabligh ke kampung saya di Lawang Matur Agam, selalu menginap di rumah kami. Namun tidak beliau saja, juga mubaligh-mubaligh lain seperti Duski Samad, Buya Ahmad Rasjid Sutan Mansur, Inyiak Daud (orangtua Buya Datuk Palimo Kayo) atau Buya Sidik (bapaknya Nasrul Sidik), bila beliau-beliau itu diundang bertabligh tiap hari
Buya Hamka akrab memanggil saya waang. Konon menurut kisah kami berasal dari Kototuo Agam. Karena berkembang biak, sebagian bermigrasi ke Sungai batang. Di situlah adanya Buya Hamka yang diberi gelar Datuk Indomo. Gelar yang sama juga ada di Lawang. Kemudian juga ada di ”belahan” kami di Balaibelo, utara Danau Maninjau. Akibat beranak-pinak entah sudah berapa keturunan, jejak ini tidak terselusuri lagi. Saya benar-benar tidak tahu, apakah saya jalan kemenakan beliau? Wallahu a’lam !
Waktu saya berkunjung ke rumah Buya Hamka di jalan Raden Fatah Kebayoran Baru Jakarta Selatan sehari menjelang hari Raya Idul Fitri beberapa tahun lalu, saya dapati beliau sedang membuang bir dari beberapa botol. Entah sengaja atau tidak, dalam parsel yang beliau terima tanda selamat Lebaran, terdapat beberapa botol air haram yang mengandung alkohol tersebut. (*)