Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sejarah Pariaman #2: Persekutuan Kapitan Jonker – Palakka - Syech Burhanuddin

20 Agustus 2021 | 20.8.21 WIB Last Updated 2021-08-21T20:21:59Z

Foto: ilustrasi. Dinas Pariwisata Maluku/istimewa
               


 Oleh Indra J Piliang
 

Atas undangan Bupati Seram Barat Jacobus F Puttileihalat, saya terbang menuju Ambon. Lewat laut, saya berlayar menuju Piru, Pulau Seram. Sepanjang perjalanan, saya mengagumi laut, ombak, gelombang dan kehidupan di sana.

Pulau Buru terlihat jauh. Di kepala saya, nama Laksamana Nala dan Malin Kundang membayang.

“Di perairan ini, akhir pengembaraan Laksamana Nala dalam menjalankan Sumpah Palapa bersama Gajah Mada,” pikir saya,

Jalur laut Konawe – Muna – Buton - Baubau, saya samakan dengan keindahan laut Seram.

Air tenang, menghanyutkan. Air beriak, tanda tak dalam.  Arus bawah laut Selam terkenal kuat. Sering kapal yang tenggelam, hanya menyisakan bangkai kapal ke atas permukaan. Seluruh isi kapal, terutama manusia yang tak selamat, hilang entah ke mana.

Gelombang yang sedikit berbeda dengan petualangan saya yang lain, menyeberang dari Ternate ke Tidore hampir duapuluh tahun silam, tatkala menyatukan kembali panglima-panglima perang konflik Ambon yang muda belia. Juga biru laut yang saya renangi di sekitar Pulau Komodo (Manggarai Barat), Pulau Samalona (Makassar), atau Senggigi (Lombok).

Rasa haus akan Kepualauan Mentawai, tempat masa kecil saya, terpuaskan dengan perairan Maluku dan Sulawesi ini.  


Di luar urusan kedinasan, saya sempat berseloroh kepada bupati. Nama yang melekat, Puttileihalat, mirip dengan klan di Kepulauan Mentawai. Kantor bupati masih sepi. Usia kabupaten itu masih sepuluh tahun.

“Pak Bupati, terus terang, saya menaruh rasa hormat kepada pulau ini. Sudah lama saya ingin langsung ke sini, negeri para penakluk,” ucap saya.

"Apa maksud Pak Indra,” kata Bupati.


“Saya lahir di Kota Pariaman. Kota yang tak pernah kalah menghadapi bangsa-bangsa Eropa. Namun, kehadiran Kapitan Jonker, Arung Palakka, dan pasukan Madura, telah menaklukkan kota terkuat di pantai barat Sumatera pada lima abad lampau itu. Tentu, saya ingin tahu keunggulan dari Kapitan Jonker,” ucap saya.

Diskusi kami lumayan panjang. Atas instruksi bupati kepada Kepala Badan kepegewaian Daerah, saya dicarikan sejumlah orang yang merupakan suku asal dari Kapitan Jonker.

Sore hari, saya cukur rambut. Kebetulan, pemangkas rambut itu berasal dari Pamekasan, Madura. Waw, setelah sekian lama, hubungan anak keturunan Kapitan Jonker masih sangat baik dengan suku Madura.

Malam hari, saya bertemu dengan keturunan suku Kapitan Jonker. Tubuh mereka tegap. Bahkan lebih tinggi dari saya. Berdegap. Sikap penuh disiplin. Waspada.

Pulau Maniba, asal mereka. Kecamatan Kepulauan Maniba adalah  satu kecamatan dari Kabupaten Seram Barat.

“Di pulau kami, terdapat batu karang yang berbentuk burung garuda,” begitu ucap salah satu dari mereka. Mereka percaya, masa remaja Kapitan Jonker dihabiskan di area itu.  

Kebiasaan saya sejak kecil, berenang di laut, sungai, telaga, dan danau. Sampai maghrib menjelang, saya arungi lokasi berenang yang diperbolehkan bagi penduduk. Pengawal sampai kaget, ketika saya berenang sampai ke tengah, dan berbalik lagi. Bagi saya, lautan adalah sajadah. Di luar pergi ke pelabuhan dalam kesempatan pertama, saya selalu sempatkan berenang di daerah itu.

 *


1640. Pariaman sudah menjadi kota pelabuhan kosmopolit dan mestizo. Berbagai suku bangsa di dunia berniaga di bandar Pariaman. Terutama dari China, India, Malaka, dan Arab.

Berbeda dengan Kepulauan Maluku berpenduduk muslim yang dikuasai Kesultanan Ternate, atau Jayakarta yang berada dalam kedaulatan Kesultanan Cirebon, Bandar Pariaman sama sekali tidak berada di bawah pengaruh kesultanan manapun.  Bangsa Eropa pun tak mencengkeram.

Bahkan Cindur Mato, pendekar paling hebat tangan kanan Dang Tuanku dari Kerajaan Pagarruyung, tak sempat menunjukkan jurus silek harimau di Pariaman. Bukit Tambun Tulang yang berada dekat air terjun Lembah Anai menjadi bukti jumlah korban perkelahian antara pandeka dan parewa asal darek yang bertemu dengan ulu ambek asal pesisir.

Area itu dikenal dengan ikue darek, kapalo rantau (ekor darat, kepala rantau). Tambo Pagarruyung mengenal Pariaman sebagai rantau, berbeda dengan luhak nan tigo yang menjadi Alam Ranah Minangkabau.

Penelusuran ke abad-abad silam pun sama. Pariaman jauh lebih dulu ada, sebelum kerajaan Sriwijaya dan Pagarruyung berkembang.

Nama Pariaman lebih identik dengan kasta Paria, yakni kasta paling rendah dalam masa India kuno. Kasta yang mendekati binatang. Tentu, terdapat tafsiran yang lain. Nantilah, saya tulis khusus.

Ulakan, kota santri teramai pesisir Barat Sumatera, terletak di selatan Bandar Pariaman. Pariaman dan Ulakan dibatasi Batang Mangoi, sungai besar berair deras yang mengalir dari Gunung Tandikat. Muara sungai dihuni buaya-buaya lapar.

Ulakan menjadi pusat ziarah terpenting bagi penganut Islam aliran Syatarriyah yang mayoritas di Minangkabau, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Aceh, Thailand Selatan, dan Malaysia.

1646. Burhanuddin lahir di Ulakan dengan nama Pono. Ketika Kapitan Jonker dan Arung Palakka sampai di Ulakan tahun 1666, Pono berusia 20 tahun. Jonker dan Palakka berusia 40an tahun.

Di samping dikenal sebagai ulama yang memasukkan Islam ke pedalaman Pagaruyung dengan damai, Burhanuddin menjadi pemimpin gerakan kelompok agama (Islam) dalam menghadapi Belanda sampai meninggal tahun 1704.

Besar kemungkinan, Burhanuddin berjumpa Jonker dan Palakka di Ulakan. Berbeda dengan perang berdarah penaklukan Bandar Pariaman – yang saya tulis dalam edisi berikut -- Jonker yang diutus VOC dalam ekspedisi ke Jambi dan Palembang pasca-penaklukan kawasan timur Nusantara, lebih memilih jalan damai.
 

Jonker malah mendamaikan dua kelompok muslim yang bertikai, tanpa ada darah yang tumpah. Hal itu seiring dengan pengaruh Burhanuddin yang kian kuat memusat dan melingkari Kerajaan Pagarruyung.

Bulan Safar datang setelah Muharram dalam Kalender Hijriyah. Safar menjadi alarm ‘pembersihan’ harta dan raga yang didapat di perantauan. Bagi suku Arab Badui di gurun pasir, Safar disebut Bulan Pergi Merantau.

10 Muharram dalam bentuk Tabut datang ke Pariaman pada awal abad ke-19. Pariaman disesaki manusia ranah dan rantau. Terkecuali dalam masa pandemi.

Dua abad sebelum manusia suku bangsa Pariaman menyemuti Tabut, tujuan utama jamaah Syatariyyah adalah Ulakan.  

Istilah ‘Pai Basapa’ digunakan. Pemberitahuan sedang ziarah dan i’tikaf di Ulakan. Tak heran, Ulakan lebih banyak ‘dikenali’ atau dikunjungi para perantau yang sudah sukses. Ulakan menjadi tempat pulang, bukan pijakan untuk berangkat, dalam perantauan dan perniagaan.

Dua nenek saya yang menjadi saudagar antar pulau, selalu menyempatkan diri Pai Basapa ke Ulakan.

Berbeda dengan nenek-nenek saya yang lain yang hidup sebagai istri pegawai pemerintah atau petani. Mereka sama sekali tak mengenal Pai Basapa itu. Maulid Nabi  Muhammad SAW-lah yang menjadi tujuan mereka setiap tahun. Atau, sembahyang 40, tinggal di surau selama 40 hari 40 malam untuk beribadah.

Malin Kundang sempat disebut berasal dari Ulakan. Bukan dari Gunung Padang, apalagi hutan rimba antah berantah mencari potongan kayu bakar bersama ibunya yang miskin untuk dijual.

Alam Minangkabau tidak pernah mengalami kondisi separah itu. Seorang Ibu adalah Bundo Kanduang dalam lingkaran adat dan lindungan ibadat.

Terdapat ‘sistem kodifikasi’ dalam nama Malin Kundang. Keahlian Malin Kundang dalam berlayar dan berdagang, didapatkan di atas Kapal Phinisi yang menjelajahi Laut Banda, Makassar, sampai Madagaskar.

*

Berusia 40-an, Kapitan Jonker tentu mengenali pengaruh ulama asal Ulakan dan saudagar asal Kota Pariaman di Kepulauan Maluku. Apalagi Arung Palakka yang berpindah-pindah kapal dan pelabuhan dalam persaingan dengan Sultan Hassanudin.

Tak ada konflik berdarah di Ulakan menandakan pemahaman itu. Pemberian gelar Raja Ulakan kepada Arung Palakka bisa jadi bagian dari ‘cara Minangkabau’ dalam bernubuat kepada yang dianggap lebih kuat. Pun sebutan Tuanku Pariaman kepada Kapitan Jonker, tertuang dalam Hulubang Raja karya Nur Sutan Iskandar, Kepala Balai Pustaka pertama asal nagari Pandam Gadang, Maninjau.

Jejaring saudagar muslim Pariaman Overseas berada di sana. Tentu dengan keahlian telik sandi yang ditempa pengalaman.

Kecepatan adaptasi Dato Ribandang diasah di Ulakan. Berasal dari Koto Tangah, Ribandang, sosok utama penyebaran agama Islam di Kerajaan Gowa, Luwu, Talio, Gantarang, Kutai, hingga Bima di Nusa Tenggara.

Ulama yang punya makam di sejumlah tempat itu, atau ditunjuk sebagai makamnya – beberapa sudah saya datangi, bahkan di satu lokasi terpencil dengan hutan belantara di pulau Buton – ibarat penjahit tujuh bintang.

Akan sangat berbahaya bagi posisi dua sosok pangeran muslim ini, apabila melakukan pertumpahan darah di tanah ulayat Dato Ribandang. Bukan saja itu, sanak keluarga Jonker – Palakka bakal berbalik memusuhi mereka.

Sejak akhir abad 16, Datuk Ribandang, Datuk Patimang dan Datuk Ritiro berkeliling Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Mustahil Jonker – Palakka tak menaruh hormat kepada area utama pembelajaran syariat, muamalat, hakikat dan ma’rifat bagi mufthi yang masuk pulau-pulau di belahan timur itu.  Bukan hanya Dato Ribandang.

Bisa jadi, Jonker – Palakka menggunakan kesempatan itu untuk berziarah dan sholat di area pemakaman banyak ulama dan mufthi di Ulakan.

Kepercayaan yang muncul pada zaman itu, berziarah ke Ulakan berarti bernilai sama dengan berziarah ke Masjidil Haram di Makkah Al-Mukkaramah.

Berbeda dengan Kota Pariaman yang dipimpin Kepala Syahbandar, rujukan utama Ulakan adalah ulama.  Tak ada hierarki dalam urusan keimanan ini.

Sekalipun Pariaman, Gowa, Buton, atau Aceh membeli persenjataan moderen dari Turki Utsmani, sama sekali tidak ada hubungan tuan dan majikan. Konsul Turki Utsmani di Gujarat sangat hati-hati dalam urusan militer masing-masing pihak ini. (***)

×
Berita Terbaru Update