Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Badut politik komoditi 3B yang merusak

9 Mei 2021 | 9.5.21 WIB Last Updated 2021-05-09T10:05:52Z

Ilustrasi badut: foto istimewa/id.depositphotos.com


Pariaman - Terlalu dini membicarakan Pilkada serentak 2024 di tengah badai pandemi yang belum memperlihatkan pertanda reda dalam waktu singkat. Mengutip ungkapan seorang teman, ada istilah 3B dalam politik, Bandar Politik, Bandit Politik dan Badut Politik.

Para 3B ini bisa dibilang pertemuan kaum oportunis dan "sampah demokrasi" dalam tatanan demokrasi. Mereka hanya mementingkan laba, jabatan, status sosial tanpa memikirkan nasib daerah.

Ulah mereka, hubungan pasangan kepala daerah menjadi tidak harmonis. Alih-alih ikut berpartisipasi membangun daerah, mereka sibuk memikirkan cara agar segala situasi berpihak kepada mereka. Agar selalu mendapat jatah kue dari kebijakan, baik berupa proyek, jabatan hingga status cap orang dekat lingkaran satu kepala daerah.

Di samping 3B adalagi barisan sakit hati. Kaum ini tidak lagi bisa berpikir jernih dan bertindak atas kebenciannya yang dia manipulasi sebagai suara hati nuraninya. Kategori ini hanya punya satu sudut pandang. Terpaku pada satu titik. Kritis, tapi tanpa pernah menyodorkan sebuah solusi.

Di saat pandemi dengan efek gelinding maha dahsyat yang hampir meruntuhkan pondasi ekonomi bangsa, selayaknya kepala daerah fokus bekerja. Fokus dalam upaya meningkatkan perekonomian masyarakat yang terpukul habis-habisan oleh pandemi yang sudah berjalan satu setengah tahun.

Pemikiran kepala daerah jangan pula mau diusik apalagi sampai mendengarkan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan kinerjanya dalam membangun daerah. Seperti menstigmakan lawan politik sebagai musuh apalagi membuang orang berkompeten di jajarannya karena tidak ikut "menyumbang uang" membantunya di pilkada. Ini pemikiran terbodoh yang akan mempengaruhi tindakan, keputusan dan berakhir pada nasib bagi warga yang dipimpinnya.

Seorang kepala daerah haruslah bijaksana. Tidak salah Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher pernah bilang petikan kalimat seorang filsuf langsung kepada Ratu Elizabeth II dalam pertemuan rutinnya sebagai kepala pemerintahan dan Ratu sebagai kepala negara di Inggris.

Saat itu Margaret mengutip kalimat seorang filsuf akan prinsipnya dalam menjalankan roda pemerintahan di Inggris yang kala itu (1980-an) mengalami sejumlah persoalan domestik dan luar negeri jelang pengambilan keputusan perang Malvinas dengan Argentina.

“Berhati-hatilah dengan pikiran, karena ia akan menjadi ucapan; Berhati-hatilah dengan ucapan karena ia akan menjadi tindakan; Berhati-hatilah dengan tindakan karena ia akan menjadi kebiasaan; Berhati-hatilah dengan kebiasaan karena ia akan menjadi karakter dan; Berhati-hatilah dengan karakter karena ia akan menjadi takdirmu”.

Maksud dari kalimat Margaret bahwa pikiran terhubung secara tidak langsung dengan takdir atau nasib. Oleh sebab itu sebagai kepala pemerintahan ia menjaga setiap pemikirannya untuk menentukan nasib bagi negara Inggris. Ia menjaga integritas tidak hanya untuk reputasi dirinya, tapi demi rakyat yang dipimpinnya. Bukan rakyat yang hanya memilih Partai Konservatif yang dipimpinnya.

Almarhum Bupati Padangpariaman Anas Malik yang memimpin Pariaman dan Padangpariaman dari 1980 hingga 1990 merupakan contoh seorang pemimpin yang benar-benar menentukan takdir. Dari pemikirannya yang menjadi tindakan, telah mengubah banyak hal. Ia tidak hanya membangun secara fisik, tapi juga adab masyarakat.

Politik elektoral langsung yang dimulai setelah era reformasi sebenarnya bertujuan baik agar setiap pemimpin yang dipilih memiliki legitimasi dan dipilih secara adil oleh masyarakat. Agar setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama, baik dipilih maupun memilih. Namun akan menjadi sangat buruk setelah 3B mengurat mengakar di sana. (OLP)

×
Berita Terbaru Update