Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kiat Membungkam Kabar Bohong di Media Sosial

23 Februari 2018 | 23.2.18 WIB Last Updated 2018-02-23T11:21:19Z
Foto ilustrasi/internet/istimewa

Oleh Anton Wijaya, praktisi media siber dan publisher adsense.

 "Aku berkabar demi kebenaran, tapi kabar Tuhan jua yang paling benar," 

Demikian seutas quotes, Fajar Rillah Vesky, wartawan harian cetak di Sumatera Barat. Kalimat bijaksana tersebut, Ia tuliskan di akun media sosialnya, dan telah mendapat izin sebagai pengantar dalam tulisan ini.

Dalam berkabar, seorang jurnalis tentunya mengumpulkan data, mencari narasumber, memilah, memverifikasi, memvalidasi, serta merangkai, dan meneruskan ke redaksi untuk dipublikasikan, sehingga informasi layak dikonsumsi orang banyak.

Informasi yang telah tersebar, harapannya membawa kebenaran, bernilai, bermanfaat dan utama sekali tidak mengandung kebohongan. Namun, di era digital nan pesat ini, potensi untuk menyebarkan kabar bohong rentan terjadi.

Sebab, semua orang bisa membuat media online secara otodidak, tutorial lengkap tinggal 'searching' di mesin pencari. Tapi, konten yang terkandung apakah telah memenuhi prinsip jurnalistik, sebagaimana jurnalis menggarap berita? Ini yang menjadi catatan.

Selain mudahnya membangun media online, juga ditunjang gampangnya penyaluran di linimasa media sosial. Semua orang bisa, asalkan punya akun. Terlepas apakah aktifitas demikian dibangun untuk kebenaran, atau untuk menyebar berita hoax (bohong).

Sedangkan dampak negatif di media sosial lainnya yang berkembang saat ini selain kabar bohong, juga lahirnya berbagai forum dan komunitas seperti LGBT, terorisme, jaringan propaganda politik hingga prostitusi. Kehidupan sosial nyata tak jarang terinfeksi olehnya.

Dampak negatif yang kian besar tersebut tidak sejalan dengan pengawasan dan sumber daya manusia milik negara yang menanganinya. Jadilah media sosial bak hutan belantara yang memiliki hukumnya tersendiri.

Meski pemerintah telah membuat ragam hukum dan aturan untuk membendung hujatan kebencian, penyebar berita bohong, judi dan prostitusi online, terorisme dan radikalisme, untuk menangani pelakunya butuh upaya keras dan teknologi pula. Karena tak jarang para pelaku bersembunyi di balik keanonimannya. Posisinya sulit dilacak karena menggunakan Access Point Name (APN) negara lain.

Dalam kancah politik modern saat ini, media sosial merupakan sarana potensial sosialisasi bagi pelaku politik. Beberapa agenda besar politik seperti Pilkada serentak 2018, Pemilu dan Pilpres 2019 ajang eksistensi para pendukung dan partisan. Ini akan menjadi sumber masalah jika penyebaran berita bohong tidak ditangani dengan baik.

Agenda politik di media sosial berupa agitasi, propaganda, hingga sarana melumpuhkan lawan politik, sudah mulai tampak. Poin terakhir itulah yang memicu perpecahan di antara pendukung dan simpatisan. Mereka saling serang tiap harinya. Tiada hari di linimasa tanpa perang opini oleh berbagai kubu politik yang saling berlawanan. Tak jarang gesekan di dunia maya berlanjut ke dunia nyata.

Fenomena itu bukan lagi perkara kecil. Ia merupakan ancaman terbesar bagi negara Indonesia. Bayangkan saat ini saja ada 171 daerah di Indonesia yang akan menghelat pilkada. Lihat saja bagaimana goncangnya Jakarta saat Pilgub DKI 2017, belum lagi daerah-daerah lainnya yang tidak tersorot oleh media arus banyak.

Hampir di semua daerah yang akan menghelat Pilkada serentak 2018 itu menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Para simpatisan terbagi dalam berbagai kubu. Siapa yang ia dukung, itulah yang dipuji. Sedangkan saingan terberatnya dijelek-jelekan secara terbuka di linimasa. Dari sanalah semua sumber pertikaian dan huru hara politik di era digitalisasi saat ini. Belum lagi penyebaran berita bohong atau hoax yang tiap hari bersileweran di linimasa. Mereka para pembuat dan penyebar tentu punya agenda tersembunyi pula.

Dewasa ini, kekhawatiran terhadap dampak buruk kabar bohong (hoax), menjadi perhatian serius Dewan Pers dan aparat penegak hukum, terutama jelang Pemilu, dan Pilkada Serentak. Karena, penyebaran kabar bohong sulit dikendalikan, terutama di media sosial.

Adapun ciri-ciri berita bohong bin hoax, menurut Yosep Adi Prasetyo selaku ketua Dewan Pers adalah: berita bohong cenderung tidak berimbang, menyudutkan pihak tertentu, yang bisa menimbulkan perdebatan, permusuhan dan kebencian.

Yosep Adi Prasetyo juga membeberkan di situs Dewan Pers, (2017) bahwa dewasa ini pihaknya mencatat sebanyak 43.300 media online. Namun, yang terverifikasi oleh Dewan Pers hanya168 media saja. Hal ini merupakan pekerjaan rumah terbesar bagi Dewan Pers itu sendiri dalam memilah mana media yang kredibel dan mana yang tergolong sebagai media penyebar berita bohong serta media yang tidak sesuai dengan kaedah kejurnalistikan.

Pantauan penulis, media online debutan yang hadir di dunia maya, bagaikan cendawan tumbuh sehabis hujan, yakni menjamur. Sebab, murah dan mudah tumbuhnya di dunia maya. Pertanyaanya, dari ribuan media online yang berseliweran di beranda, mana yang harus dipercaya?

Menyikapi hal tersebut, dalam kitab suci umat muslim, surat Al-Hujuraat Ayat 6 menegaskan, apabila ada seseorang membawa berita kepadamu, maka telitilah kebenaranya, dan jangan ikut pula terpengaruh, dan menyiarkannya.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al Hujuraat : 6).

Akhirnya, sebenar-benarnya kabar manusia, kabar Tuhan jua lah paling benar, yang perlu dipedomani, sebagaimana postingan Fajar Rillah Vesky.

Jadi, ada baiknya tidak ikut berpartisipasi memberikan 'like' dan komentar, apalagi menyebarkan berita yang belum diteliti kebenarannya. Dengan cara demikian, insya Allah bisa membungkam dan meminimalisir 'isu' di media sosial, maupun bersumber dari media online. (*)
×
Berita Terbaru Update