Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tajuk: Politik Sosmed

31 Agustus 2017 | 31.8.17 WIB Last Updated 2017-08-31T15:08:41Z
Ilustrasi. Foto: istimewa
Salah satu kelemahan pemilihan langsung (popular vote) menjadikan masyarakat terkelompok. Pemilihan langsung dengan barisan pendukung, acap pula bersitegang dengan barisan pendukung lain.

Jika dulu perang urat syaraf antar pendukung kisaran debat terbatas, di zaman revolusi digital bergeser ke perdebatan terbuka di pelbagai ranah media sosial. Facebook, Twitter, WhatsAp, dan aplikasi sejenisnya menjadi medan terbuka perang opini dan propaganda.

Aksi saling sindir menyindir, saling mencibir hingga melontarkan isu yang condong mendiskreditkan pribadi seseorang, terlontar begitu saja di sosial media (sosmed). Entah itu presiden selaku simbol negara, gubernur, bupati/walikota hingga kepala desa, lumrah kita lihat jadi subjek cemoohan.

Revolusi digital dengan pesatnya media sosial tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM) penggunanya. Padahal, cermat sedikit, sedikit kalimat yang diguratkan di akun sosial media akan cepat menyebar diketahui orang banyak, bak bersorak di tengah gelanggang massa dengan pengeras suara.

Fenomena itu menjadi persoalan berat bagi bangsa kita. Sedikit-sedikit ribut, sedikit-sedikit heboh oleh kabar hoax dan berujung aksi demo dan semacamnya. Pertaruhannya tentu stabilitas nasional, persekusi, pengucilan bahkan gesekan horisontal.

Kini, media sosial menjadi sarana efektif berkampanye. Mulai dari kampanye simpatik, abu-abu hingga hitam pundam. Media sosial sebagai wadah berkumpulnya lautan manusia tanpa sekat ruang dan waktu, minim pengawasan. Polisi siber hanya membackup isu-isu besar saja. Sedangan isu-isu tingkat daerah terkait stabilitas kemanan daerah--saat pesta demokrasi---hampir tidak tertangani. Liarlah bola itu di gelanggang berkanji.

Mencermati Pilkada Kota Pariaman yang akan datang sebentar lagi, akun-akun mencurigakan mulai bermunculan. Mereka melempar bola panas di balik keanoniman mereka. Kabar-kabar belum terkonfirmasi mereka sebarkan ke tengah masyarakat di sosial media dengan bumbu penyedap rasa. Makin banyak postingannya dikomentari, makin masuklah barang dia.

Pilkada Pariaman 2013, meski media sosial telah berkembang, postingan haluan kiri masih bisa terkendali. Kini, tahun 2017 seiring banyaknya pengguna media sosial---hampir semua orang punya--gejolak di ranah sosial jelang Pilkada patut diawasi. Mengawasi bukan berarti mengekang kebebasan berpendapat, bukan pula berarti tidak boleh berkampanye. Namun mengawasi konten merusak seperti SARA, fitnah dan mufakat jahat untuk memecah belah masyarakat.

Kegaduhan di alam nyata, tidak sekali dua kali dipicu dari ranah sosial media. Banyak sudah contohnya. Di Pariaman, kita tolak hal itu terjadi. (OLP)
×
Berita Terbaru Update