Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pilkada Kota Pariaman Dalam Perspektif Psikologi Sosial

10 Mei 2016 | 10.5.16 WIB Last Updated 2016-05-10T14:52:28Z



Peta politik minang apalagi di Pariaman merupakan salah satu zona paling cadas di nusantara. Politik dilakukan penuh etika dan egaliter, politik di Pariaman sangat jauh dari konflik horisontal. Meski demikian titik didih yang ditimbulkannya saat masuki era pertarungan demokrasi jangan pula ditanya. Tanpa demo, namun perang intelektual yang membuat para calon dan pengikutnya lupa tidur lupa makan.

Politik Pariaman itu keras secara psikologis. Orang yang bermain dengan logika politik reguler tanpa mengenal karakter rang piaman akan jadi bulan-bulanan. Terbuai dan hanyut dalam pola politik tingkat tinggi yang dilakukan masyarakat. Aneh bukan? Di sini masyarakat pemain politik paling dominan bukan partai politik dan orang di dalamnya.

Perihal ini tidak jarang membuat para calon yang pernah berlaga di Pariaman bersikap sinis kepada rang piaman. Mereka menganggap rang piaman omongannya tidak bisa dipegang.

Benarkah demikian? Tunggu dulu.

Seorang kandidat master politik Unand pernah kunjungi saya ke rumah setelah mendapat anjuran dari salah satu calon yang kalah dalam Pilkada Kota Pariaman 2013. Dia mewawancarai saya selaku pelaku sejarah dan salah satu personal yang mengamati politik dengan intensitas cukup baik menurutnya.

Ujaran saya kepada dia akan dia jadikan tesis. Kepada dia saya hanya mengatakan jika ada calon yang ingin maju menjadi walikota atau wakil walikota Pariaman mereka harus menetap tanpa henti paling tidak lima tahun di usia dewasanya di Pariaman. Mengapa demikian? Pendekatan psikologi sosial. Saya berpendapat, orang piaman paling sulit terus terang ungkapkan isi hatinya. Mereka tidak memperlihatkan kecenderungan arah politiknya kepada para calon.

Ada istilah dalam angguak ado geleang dalam geleang ado angguak. Artinya, setiap calon yang datang kepadanya selalu diberi harapan meski dia tidak akan memilihnya.

Kenapa hal demikian dilakukan? Pertanyaan menarik yang saya sendiri sulit menjawabnya. Apakah itu cerdas atau kebingungan politik, masih dalam tahap penelitian.

Namun satu hal yang saya pastikan kepada pewawancara saya tadi bahwa jika Anda telah berbuat dan hasilnya dapat dirasakan masyarakat maka kemungkinan pilihan masyarakat jatuh kepada Anda sangat besar.

Masyarakat hanya memilih orang yang telah berbuat nyata bukan berjanji janji. Bukti empirik saya temukan saat Pilkada 2013 ialah betapa seringnya salah seorang warga menghujat salah seorang calon walikota di mana ada kesempatan. Dia bahkan menjadi tim sukses rival politik si calon tersebut.

Faktanya, saat hari pencoblosan, dia, istrinya, anak dan orang terdekatnya memilih calon yang dihujatnya tadi.

Kenapa itu dia lakukan? Kontradiktif sekali. Hal singkat sebagai jawaban adalah karena sikap egaliter tadi. Orang yang membenci calon tadi sebenarnya memang ingin punya pilihan lain dan tidak menginginkan calon itu menjadi walikota. Tidak ada untungnya bagi dia, lagian dia terikat pula dengan calon lain saat menjadi tim sukses. Dia manfaatkan Pilkada sebagai lahan baru ekonomi bersifat insidential.

Berbaliknya dia memilih calon paling dia hujat karena setelah makin mengenal calon yang dia dukung makin jauh panggang dari api tingkat kepantasan jika saja dia yang memimpin Kota Pariaman kelak dibanding calon yang dia benci tapi dia kenal dekat sifat kepemimpinannya.

Memang jika dilihat dari perspektif calon, hal seperti itu bagaikan pengkhianatan politik yang menyayat hati tiada tara.

Hingga saat ini saya masih punya keyakinan kuat bahwa tiap individu masyarakat Pariaman sudah menetapkan pilihan kriteria para calon yang akan memimpinnya lima tahun ke depan. Pilkada yang masuk tahapan di tahun 2017 nanti saya yakini pertarungan petahana dan perubahan.

Petahana adalah masyarakat yang menginginkan pola kepemimpinan sekarang, orang yang merasa puas, sedangkan perubahan adalah masyarakat yang menginginkan pemimpin baru yang diharapkan melebihi dari pemimpin sekarang.

Petahana identik dengan Genius Umar dalam skala 70 persen dan Mardison Mahyuddin dalam skala 30 persen, sedangkan perubahan masih identik dengan nama Indra J Piliang.

Oyong Liza Piliang
×
Berita Terbaru Update