Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Rebab Kelu Perjalanan Andrinof Chaniago

12 September 2015 | 12.9.15 WIB Last Updated 2015-09-11T17:11:19Z




Di angkatan senior saya di UI, tidak banyak yang saya kenal sebagai intelektual, terlebih lagi sebagai intelektual yang berasal dari ranah Minang. Di antara yang sedikit itu, nama Andrinof A Chaniago paling menonjol. Saya tentu sedikit menyesal, tidak mengenali Andrinof sejak di bangku kuliah. Walau saya tahu, Andrinof aktif sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI. Saya lebih dekat dengan Chandra M Hamzah, putra Minang lainnya. Chandra termasuk mentor saya dalam aktivitas kemahasiswaan di UI. Hal yang paling saya ingat adalah Chandra meledek saya, setiap kali saya bicara. 

“Ndra, mending lu jangan ngomong deh. Apa yang lu omongin kagak jelas!” kata Chandra, sambil tersenyum yang khas dan menyundut rokoknya.

Saya memang gagap, waktu semester satu hingga semester dua di UI. Mungkin juga hingga semester berikutnya. Sejak kecil saya penyendiri, jarang tinggal dengan orang tua. Saya dititipkan di banyak tempat, terutama dengan nenek-nenek dan etek-etek saya. Alasannya, saya sekolah, sementara ayah dan ibu  saya pindah-pindah, mengingat ayah saya sebagai pegawai memang sering berpindah tempat pekerjaan mengintari Sumbar. Karena itulah, saya tertinggal dalam hal bicara. 

Saya termasuk jago di bidang matematika, bahasa Inggris, sastra, sejarah dan bahasa Indonesia. Ya, jago dalam artian pandai menulis, tidak pandai bicara. Kebetulan, saya membaca banyak buku,  termasuk catatan harian kakek saya yang ditulis indah. Biasanya, kalau menulis surat kepada orangtua saya, saya menulis berlembar-lembar, menumpahkan perasaan. Tak jarang saya coret-coret atau saya ulangi menulisnya.Saya menemukan perpustakaan kecil di dalam lemari kakek saya, dengan bermacam-macam disiplin ilmu.

Dalam reuni dengan Angkatan 1991 Jurusan Sejarah yang tidak disengaja pada tanggal 23 Agustus 2015 lalu di Taman Mini Indonesia Indah, Elsye, Musa, Nunung, Budi dan teman-teman saya yang lain masih mengingat kegagapan saya. 

“Gue heran, elu sekarang pandai bicara. Padahal, lu kan gagap,” kata Bodi dan Ewan.
“Makanya gua jadi aktivis. Lu nggak tahu, setiap kali demo, gue ambil michrophone, lalu teriak-teriak sendiri di tengah hiruk pikuk massa. Orasi keras-keras, sambil megang catatan. Mana ada yang fokus dengerin orasi gue, karena suasana demo kan rame!” jawab saya. 

Mereka terkekeh. Benar, saya melatih diri dengan ketat, antara lain dengan ikut aksi mahasiswa (dari kasus Bosnia hingga Mei 1998), mimbar bebas, hingga masuk ke Teater Sastra UI untuk latihan vokal di dalam air dan di tempat sepi seperti Cibodas, kaki Gunung Gede Pangrango. Pelatih saya adalah I Yudhi Sunarto dan terakhir, Ramdhansyah (pernah jadi Ketua Bawaslu DKI Jakarta). 

Sebanyak itu saya aktif di organisasi, saya hampir tak mengenali Andrinof. Saya tahu, ada pimpinan mahasiswa dari berbagai fakultas yang berasal dari Ranah Minang. Tapi Andrinof? Jarang bertemu. Saya hanya sesekali membaca tulisannya dalam jurnal yang diterbitkan oleh mahasiswa senior FISIP UI. 

Yang paling saya kenal di FISIP UI bukan Andrinof, melainkan Eep Saefullah Fatah, almarhum Syamsul Hadi, Eko Prasodjo, Andi Rahman atau Robertus Robert, Eva Mazrieva dan Budi Arie Setiadi. Juga aktivis KSM UI Eka Prasetya yang berasal dari FISIP UI, seperti Sad Dian Utomo dan Sulistio. Belakangan, saya akrab dengan Subuh Prabowo yang sampai sekarang setia mendampingi Fadli Zon. Subuh jadi Sekretaris Umum saya dalam kegiatan Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21. Saya menjadi Ketua OC, dengan wakil Indra Kusuma dari FHUI. 

Namun, mayoritas aktivis mahasiswa UI mengenal mentor saya dari FISIP UI, Bagus Hendraning yang kini menjadi diplomat. Di luar itu, sejak aktif sebagai bagian dari ikhwan kampus di UI, saya mengenal ikhwan-ikhwan asal FISIP UI, seperti Komaruddin.

***

Nama Andrinof saya kenal lewat tulisan di Harian Republika. Saya menjadi akrab dengannya, ketika saya masuk menjadi peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Waktu itu, Andrinof bekerja di the Habibie Center. Kisah hubungan baik kami terjadi ketika saya diminta untuk “menguliti” buku Gagalnya Pembangunan karangan Andrinof. Heran, dua lembaga yang dianggap berseberangan, yakni the Habibie Center dan CSIS, justru berakrab-akrab di depan kamera.


Ya, momentum kedekatan saya dengan Andrinof adalah ketika launching buku Gagalnya Pembangunan itu di Hotel Four Seasons, Jakarta. Andrinof memanggil saya sebagai salah satu dari sedikit orang yang menerima buku di depan para undangan. Sejak itu, saya dan Andrinof menjadi kakak-adik. 

Buku Andrinof ternyata dibaca banyak pihak. Tak disangka, kami dihubungi oleh ex Dirut PT Timah TBK Erry Riyana Hardjapamengkas untuk menulis soal konflik tambang timah inkonvensional (illegal) di Bangka Belitung. Kami terbang kesana, melakukan penelitian, yakni Andrinof, saya, Farid Gaban dan Hardi Hermawan. Walau tanpa dana yang cukup, kami bekerja keras menyelesaikan laporan. Sayang, sampai hari ini, buku hasil penelitian itu tak kunjung terbit. 

Hubungan baik dengan Erry Riyana itulah yang membawanya hadir dalam resepsi pernikahan saya di sebelah gedung Balai Kartini. Erry membaca sambutan keluarga. Saya lupa, apakah Andrinof hadir. Tetapi sehari sebelum resepsi itu, Faisal Basri datang di rumah calon mertua saya, menjadi saksi pernikahan. Almarhum Dr Syahrir dan almarhum Dr Arif Arryman juga datang.

Ketika konflik Ambon meletus, saya dan Andrinof diundang oleh Gubernur Maluku untuk mengisi lokakarya tentang penanganan konflik di Kota Ambon, lewat prinsip-prinsip good governance. Saya dan Andrinof dikawal oleh satu regu Brimob. Kami bertemu dengan seorang kawan yang sedang kuliah di USA bernama Made. Kami makan ikan, di meja yang bersebelahan dengan Calon Kapolda Maluku yang baru di belakang Mesjid Al Fatah. 

Sepulang dari Ambon, saya jatuh sakit. Dua bulan saya diobati oleh istri saya yang sedang hamil, dengan cara disirami cairan putih dan hanya diselimuti satu kain panjang punya ibu mertua saya. Dari tubuh saya, keluar nanah dan apa yang disebut sebagai panu batu. Saya tidak boleh berkeringat, karena rasanya pedih dan gatal sekali. 

Saya tidak ingat, kemana lagi bertualang bersama Andrinof. Yang jelas, bersama 9 orang aktivis dan intelektual lainnya, kami mendirikan Perhimpunan Rakyat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua). Diluar nama Andrinof dan saya, terdapat nama Usman Hamid, Patra M Zen, Frans Maniagasi, Philips J Vermonte, Amir Al Rahab dan lain-lain. Saya dan tim bolak-balik ke Papua, termasuk Andrinof.
Kami bertemu lagi ketika KAHMI Profesional terbentuk. Inilah KAHMI yang berisi para profesional dan kaum intelektual, di tengah persaingan dua KAHMI lainnya. KAHMI Profesional mengadakan kongres makalah di Hotel Atlet Century, Senayan. Saya dan Andrinof membawakan makalah, termasuk Anies Rasyid Baswedan dan Arief Satria. 

Momen lainnya datang silih berganti. Ketika memutuskan maju sebagai calon anggota KPU pada tahun 2007, Andrinof mendukung saya. Pada saat dokumen saya hilang, akibat adik angkat saya Miftah Nur Sabri dirampas tasnya di Stasiun Bogor, Andrinof menghubungi saya. Dia bilang, ada orang dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang akan membantu. Pada malam harinya, orang itu menelepon saya. Keesokan harinya, seluruh dokumen balik ke kantor saya di belakang Hotel Bidakara, Jakarta, diantarkan oleh seorang gelandangan. 

Momen publik terakhir datang, ketika Andrinof hadir di dalam acara pelepasan saya sebagai analis pada tanggal 6 Agustus 2008. Saya memutuskan terjun ke dunia politik praktis dan dilepas lebih dari dua ratus kawan di kampus Universitas Paramadina. Anies Baswedan, Effendi Ghazali, Binni Buchori, Nurul Arifin dan lain-lainnya datang memberikan sambutan perpisahan. Di bangku, ada Bima Arya Sugiarto yang kemudian juga mengikuti jejak saya dengan masuk menjadi politisi Partai Amanat Nasional. 

Sejak menjadi politisi, saya kehilangan aktivitas intelektual bersama Andrinof. Tetapi Andrinof terus menyokong saya, dengan beragam cara. Yang paling saya ingat, Andrinof bersama kawan-kawannya meluncurkan Visi Indonesia Tahun 2033. Saya datang memberikan dukungan, bersama Nova Riyanti Yusuf yang merupakan politisi asal Partai Demokrat. 

*** 

Saya mengikuti Andrinof lewat tulisan-tulisan berceritanya di milis RantauNet. Setiap kali ia mengirimkan tulisan, selalu panjang, keras, tajam dan santun. Pertama kali mengenal nama Joko Widodo, saya ketahui lewat tulisan Andrinof di milis yang sama. Andrinof menceritakan pertemuannya yang bersahaya di Solo dengan Joko Widodo, termasuk makan dan diskusi berdua, tanpa ada pengawalan. Andrinof terus bercerita tentang Joko Widodo, ketika saya malah tak ikut menanggapi cerita Andrinof itu. 

Siapa Joko Widodo? Diluar Andrinof, sedikit sekali yang tahu dan mengenali karya-karyanya di Solo. 

Survei awal pencalonan Joko Widodo di DKI Jakarta juga dilakukan Andrinof dan Hasan Nasbi, dari Cyrus -- lalu Cyrus pecah dua setelah itu --. Banyak yang menyangsikan hasil survei itu. Andrinof dikritik, akibat memperkenalkan nama yang bahkan tak pernah kenal Jakarta dengan baik. Saya justru berjibaku mendukung Tantowi Yahya, sebagai bakal calon dari Partai Golkar. Bersama Tantowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kami bertiga berjuang dalam Rakernas Partai Golkar di Ancol pada 2012, agar membolehkan kader maju lewat jalur independen. Upaya itu gagal. Partai Golkar mencalonkan Alex Noerdin, Ahok mendampingi Joko Widodo. 

Lagi dan lagi, Andironof menunjukkan keberpihakan tinggi. Setahu saya, Andrinof tidak terlalu ahli di bidang survei. Hasil-hasil surveinya pun saya “curigai” terlalu berpihak kepada Joko Widodo. Variabel-variabel potensial lebih banyak ia kemukakan, ketimbang variabel-variabel objektif. Ia bermalam-malam menjawab setiap serangan terhadap Joko Widodo, ketika saya jarang sekali membuka internet dan ikut berdiskusi. 

Tentu, ada aktivitas lain diluar Andrinof yang mempopulerkan nama Joko Widodo, yakni Hasan Nasbi. Metodenya adalah dengan melakukan survei kualitatif terhadap 200-an nama tokoh. Kegiatan itu bekerjasama dengan The Indonesian Institute, tempat saya menjadi Dewan Penasehat. Nama Joko Widodo muncul di tataran puncak. 

Pilkada DKI berjalan. Sebagai pengurus Partai Golkar kala itu, saya berada di tim Alex Noerdin. Saya ikut menjadi juru bicara. Putaran pertama, Alex kalah. Saya akhirnya memutuskan mendukung Joko Widodo – Ahok dalam putaran kedua. Saya nyatakan langsung di depan jutaan rakyat Indonesia, lewat acara TV One. Sikap saya itu memunculkan reaksi keras dari Partai Golkar. 

Lalu, datanglah momentum Pilpres 2015. Andrinof rajin membuat tweet tentang Joko Widodo. Berbulan-bulan Andrinof twitwar dengan akun-akun yang membenci Joko Widodo. Heran, saya saja tidak membalas mention setiap akun. Andrinof malah sebaliknya, terlihat tak tidur akibat kesibukan dalam menulis di social media, termasuk di milis-milis. Saya juga akhirnya memutuskan untuk mendukung Joko Widodo - Jusuf Kalla, setelah Partai Golkar memutuskan mengusung Prabowo-Hatta. Akhir cerita ini, Jokowi - JK menang tipis.  

Maka, ketika nama saya dan Andrinof bersaing dalam website Kabinet Rakyat sebagai salah satu calon menteri Joko Widodo, saya membatin. Kalau ada satu orang wakil dari UI dan Sumatera Barat, biarlah nama Andrinof yang muncul. Walau, menurut hasil pooling itu nama saya mengunggguli Andrinof, saya malah merasa tidak layak. Saya belum menulis buku setebal Andrinof. Rambut saya juga belum sebotak Andrinof. Dan kesetiaan saya kepada Joko Widodo belum sespartan Andrinof. Saya sempat mengkritisi Joko Widodo, ketika nama Aburizal Bakrie masih menjadi Bakal Calon Presiden yang hendak diajukan Partai Golkar. 

Dan ketika Andrinof dilantik menjadi menteri, saya mengirimkan sms. Andrinof menjawabnya. Juga ketika saya diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, saya menghubungi Andrinof minta ketemu. Kebetulan, KemenPANRB lagi menyiapkan Rencana Strategis, sebagai tugas Tim Ahli. Andrinof bersedia bertemu. Pun ketika saya kultwit soal sekolah politik di akun twitter saya, lalu menyebut akan menaruh seorang anak muda di samping meja kerja Andrinof untuk belajar, Andrinof amat sangat mendukung. 

Hanya saja, dari sejak dilantik, sampai akhirnya diberhentikan sebagai menteri, saya tidak pernah bertemu Andrinof. Kesibukan saya dan dia yang menyebabkan kami tak bisa mengawinkan waktu. Saya hanya sempat berbicara dengan Eva Sundari, staf khusus Andrinof. Dari Eva juga saya tahu, Andrinof usai dioperasi. Dan sejak tahu itu, saya mulai khawatir dengan kondisi fisik Andrinof. Apakah ia sanggup menyelesaikan masa tugasnya, serta begitu banyak konsep yang wajib disediakan? Apalagi kementeriannya tidak lagi berada di bawah MenkoEkuin, melainkan langsung di bawah Presiden Joko Widodo. 

Ketika Andrinof diganti, saya berteriak galau di mobil dalam perjalanan menuju Gedung Badan Pemeriksa Keuangan. Saya duduk di tangga, setelah disambut protokol BPK. Saya minta waktu untuk duduk dan menelepon istri saya. Sedih, bercampur gembira. Sedih dengan isu-isu yang beredar. Gembira, mengingat Andrinof kembali menjadi dirinya sendiri, termasuk melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai, menggerakkan inisiatif kaum intelektual, serta terlebih lagi memiliki waktu yang lebih longgar untuk bertemu. 

Intuisi saya berkata, Andrinof bakal mendapatkan amanah lain. Walau, saya lebih menginginkan Andrinof menyelesaikan kuliah doktoralnya. Apapun itu, sebelum Andrinof benar-benar sibuk kembali, mungkin untuk satu amanah baru, satu organisasi intelektual baru, atau satu jenjang pendidikan baru, saya ingin bertemu dengannya, lalu melihat senyum khasnya.

Saya ingin mendengar ceritanya yang selalu panjang, seperti dulu saya mendengar bunyi rabab di radio. Terkantuk, namun mengiris hati dan jiwa. Kelu, penuh derita, namun berakhir bahagia... 


Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update