Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Selamat Bertapa, Cak Anas!

11 Januari 2014 | 11.1.14 WIB Last Updated 2014-01-11T13:23:17Z




Mari aku ceritakan kisah kita, dari generasi 1990-an. 20 tahun lalu aku bertemu denganmu di acara LK II HMI Cabang Depok. Aku jadi peserta, kau jadi pembicara. Tahun 1994 kalau tidak salah, hari, tanggal dan bulannya aku lupa. Kau waktu itu menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Aku tidak pernah berencana masuk HMI, asal kau tahu. Semula aku diundang menjadi pembicara LK I HMI oleh Nusron Wahid (kini dia Ketua Umum Pemuda Ansyor). Kebetulan aku datang cepat, mengikuti paparan MS Ka’ban (kini Ketua Umum Partai Bulan Bintang). Lalu aku mengisi acara. Oleh Panitia LK I, aku diberi sertifikat kelulusan sebagai kader HMI, karena mengikuti sesi paling penting, yakni Nilai Identitas Kader.

Lalu aku mengikuti sedikit proses di tubuh HMI. Aku jadi pengurus komisariat, lalu cabang. Ketika kawanku Rifky Mochtar terpilih sebagai Ketua Badko HMI Jabar, aku baru tahu bagaimana HMI. Jabatan kawanku dicopot. Berikutnya aku makin tahu HMI, ketika proses pencalonanku sebagai Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI) ternyata tidak didukung oleh PB HMI yang waktu itu dipimpin oleh Taufik Hidayat. Aku malah dianggap terlalu ikhwan untuk ukuran HMI. Sebaliknya, aku dianggap terlalu HMI oleh para ikhwan. Ya, sudah.

Waktu peristiwa 1998, aku berada di jalanan, bersama barisan mahasiswa dan alumni Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI). Aku sempat bermalam di Gedung MPR-DPR pada tanggal 19-20 Mei 1998. Setelah itu aku bekerja di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pramita, Tangerang (sekarang Universitas Pramita). Aku melihat kiprahmu di layar televisi, yakni menjadi tim ini dan tim itu, termasuk melakukan revisi terhadap paket undang-undang bidang politik. Ada nama Rama Pratama juga dijejerkan dengan namamu. Aku kenal lama dengan Rama, dia mantan manajer kampanyeku di FEUI dalam Pemira SMUI 1995.

Ketika aku bekerja sebagai peneliti dan analis di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), kita kembali bertemu. Malah, lebih sering bertemu. Apalagi aku sering ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), tempatmu berkantor. Aku mengisi acara-acara yang diadakan di Media Center KPU. Ketika para wartawan kesulitan menemuimu, aku dengan senang hati menghubungimu, lalu kemudian kau memberikan informasi yang mereka butuhkan. 


Namamu kembali muncul waktu ada kritikan soal mobil dinas yang dipakai oleh para komisioner KPU. Terlalu mewah. Kawan-kawan KAHMI Pro sepakat agar kau kembalikan mobil itu. Mereka saweran. Aku tak tahu detilnya, apakah ada kawan yang meminjamkan mobilnya untuk kau pakai.

***

Usai Pemilu 2004 yang berhasil itu, satu demi satu komisioner KPU diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Aku kebetulan akrab dengan pimpinannya. Bahkan, salah satu Wakil Ketua KPK RI, Erry Rijana Hardja Pamengkas, hadir dalam pernikahanku pada tahun 2002, lalu memberikan sambutan atas nama keluarga istriku. Aku ikut alur kepindahan kantor KPK RI ke Jalan Veteran III dari kantor pertamanya, saking seringnya kesana, berdiskusi dengan komisioner-komisionernya. Di gudang dataku, masih banyak tumpukan makalah-makalah, disain, CD sampai blue print KPK RI yang dikirimkan kepadaku, guna aku baca-baca.

Beberapa komisioner KPU ditahan KPK RI, sebagai prestasi pertama. Ah, kaum cendekiawan, rata-rata. Mereka menyebut namamu dan nama Valina Sinka Subekti juga, dua orang anggota KPU yang akrab denganku. Kalian berdua sama sekali “lolos” dari lubang maut. Dalam saat yang tidak baik buat kariermu itu, aku dan kau jadi pembicara diskusi di Blora Center, satu lembaga yang memenangkan SBY sebagai Presiden 2004-2009. Ada Johan Silalahi dan almarhum kawan kita, Yon Hotman. Aku lupa, apakah Jusuf Rizal juga ada di acara itu. Yang jelas, ketika ada Kongres Partai Demokrat di Bali pada 2005, aku ikut kesana bersama Jusuf Rizal dan Hendri Sitompul. Kongres akhirnya memilih Hadi Utomo sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Aku masih ingat diskusi itu. Di sana, aku mendorong dan menantangmu untuk membuka karier baru, yakni menjadi politisi. Nama partainya langsung aku sebut: Partai Demokrat. Pesanku jelas, politisi sipil harus mulai masuk pasar politik. Para jenderal yang membentuk partai politik di era reformasi, perlu didampingi dan dilapisi oleh politisi sipil yang memiliki keahlian dan kemampuan. Tentu aku tahu, bukan hanya aku yang kau dengarkan saran-sarannya. Yang jelas, aku dan kawan-kawan itu yang kemudian “menjerumuskan”-mu ke kancah politik, di tengah gemuruh angin perubahan.

Dan lewatmu juga – serta Andi Alifian Mallarangeng – aku menitipkan sejumlah kawan yang ingin menjadi politisi Partai Demokrat. Ya, aku sering bertemu Andi Mallarangeng di sebuah kedai kopi di seberang Istana Negara. Sejak Gus Dur tak lagi jadi presiden, aku jarang ke Istana Negara. Di era Gus Dur jadi presiden, aku sempat bekerja di dalamnya selama tiga bulan, menjadi bagian dari Tim Asistensi Presiden Bidang Ekonomi yang dianggotai Faisal H Basri, M Nawir Messi dan almarhum Arif Arryman PhD. Beberapa kali aku ke Istana, untuk duduk-duduk saja dan menikmati suasananya yang begitu terbuka untuk umum.

***

Seingatku, ketika aku kemudian memutuskan kembali menjadi politisi, tepatnya tanggal 6 Agustus 2008, kau menitipkan pesan. Ya, apalagi kalau bukan agar aku juga masuk Partai Demokrat. Tapi entahlah, aku merasa lebih baik bersahabat denganmu, ketimbang berada dalam satu perkawanan di satu partai politik. Aku ingat candaan Ja’far Hafsah, ketika mengantarkan berkas caleg Partai Demokrat ke KPU: “Indra, kamu sudah kami siapkan nomor urut satu di Sumbar II. Kenapa kamu malah ke Partai Golkar?” Beberapa kawanku memang menganjurkan aku masuk Partai Demokrat, tapi ayahku sudah memberikan satu garisan: “Kamu boleh masuk partai politik, asal kamu masuk Partai Golkar”.

Makanya, kita akhirnya menjadi dua orang yang saling memberi pesan, baik via senyuman atau candaan. Hampir tak pernah ada debat panas antara aku denganmu, ketika kita beradu argumen di layar televisi. Bahkan, kita sms-an pas debat rehat. Aku tetap memandang kau sebagai senior yang mengisi LK II-ku di HMI Cabang Depok itu. Tergigit lidahku, apabila aku bersitegang denganmu di layar kaca, sepanas apapun materi debat yang kita hadapi. Begitupula sampai debat pilpres digelar, kita tak sungguh-sungguh berdebat panas.

Sebuah lembaga mengganjar penampilan kau, Fadli Zon dan aku dengan Charta Politica Award 2009 sebagai Komunikator Terbaik Tiga Pasang Capres. Kau mendapatkannya untuk SBY-Boediono, Fadli mendapatkannya untuk Mega-Prabowo dan aku mendapatkannya untuk JK-Wiranto. Jejak jasamu jelas untuk kemenangan Partai Demokrat dan SBY-Boediono.

Ketika kau maju menjadi Calon Ketua Umum Partai Demokrat, akupun mendukungmu. Aku pasang foto kita berdua di laman facebook, lalu hadir dalam acara Pidato Kebudayaanmu di Jakarta Theater. Bahkan, aku ikut menelepon beberapa pengurus Partai Demokrat di daerah-daerah, menegaskan dukunganku. Aku menyaksikan kemenanganmu via televisi dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Waktu itu ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalteng, Partai Golkar dan Partai Demokrat berkoalisi. Sejak saat itulah namamu menjulang, salah satunya sebagai Calon Presiden yang akan menggantikan SBY. Kau ada di urutan teratas.

Dan kisah selanjutnya kemudian publik tahu. Sengkuni sudah kau tulis dalam status bbm-mu sejak survei itu diumumkan. Lalu kau jadi tersangka kasus gratifikasi sebuah mobil yang terkait dengan perusahaan pemenang proyek Hambalang. Entah mengapa, untuk kedua kalinya kau bermasalah dengan mobil, setelah kasus pengembalian mobil KPU itu. Ah, Cak, kenapa kau tak naik sepeda saja? Bukan hanya kau, sebelumnya Nazaruddin, orang yang tidak aku kenal riwayatnya, sudah lebih dahulu ditangkap di Cartagena, Kolombia, negara tempat banyak kartel obat bius. Yang aku kaget, Anggelina Sondakh – kawanku juga – ikut jadi tersangka. Berikutnya menyusul Andi Alifian Mallarangeng. 


KPK Jilid I yang memenjarakan komisioner-komisioner KPU tak bisa menjeratmu. KPK Jilid II sama sekali menuai masalah internal. KPK Jilid III yang bahkan ikut kau pilih sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI, malah menjeratmu.

Aku bersyukur kita masih punya satu momen pertemuan, yakni ketika aku maju sebagai Calon Walikota Pariaman dari jalur perseorangan. Dalam statusmu sebagai tersangka, aku kirim direct message ke akun twittermu @AnasUrbaningrum: “Cak, mau makan sate di Pariaman?” Ya, aku tidak punya nomor ponselmu, seperti sebelumnya. Semula, aku mengundang Fahmi Idris, tetapi ada acara wisuda putrinya. Dan kaupun membalasnya, cepat. Kau bahkan mengubah jadwalmu di Jambi. Kita memang tidak sempat makan sate Pariaman, saking padatnya jadwalku sejak pag sampai malam harii. Tapi setahuku, kau ke makam Syech Burhanuddin di Ulakan, makan durian di Kayu Tanam, lalu makan Sate Mak Syukur di Padang Panjang. Kau memang maestro kuliner Nusantara, Cak. Ada stafku yang ikut.

Selamat bertapa, Cak Anas. Sejak 1998 kau sudah di jalur atas seluruh pergerakan politik negeri ini. Kau lewati tiga kali pemilu dengan indah. Kau menang jadi Ketua Umum PB HMI, terpilih jadi Komisoner KPU, menang Pemilu 2009, menang Pilpres 2009, lalu menang lagi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Jarang kau kalah, apalagi menyerah.

Untuk pemilu keempat ini, 09 April 2014, kau mungkin menggunakan hak suaramu di penjara. Ataukah juga kau menggunakan hak suaramu untuk Pilpres, 09 Juli 2014, di penjara? Yang jelas, ketika kau merayakan HUT ke-45, 16 Juli 2014, mudah-mudahan aku hadir di sisimu, bersamamu, entah di penjara, entah di mana. Kita tidak hanya merayakan HUT-mu yang 45. Kita merayakan terpilihnya Presiden Republik Indonesia ke-7 bersama-sama kawan-kawan sebarisan..


Catatan Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update