Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

tradisi basapa dan wisata rohani dimakam syekh burhanudin ulak'an

2 Juli 2012 | 2.7.12 WIB Last Updated 2017-07-24T16:05:43Z


Kegiatan basapa tidak asing lagi bagi masyarakat Pariaman, Ulakan khususnya. Setiap tahun, setelah tanggal 10 Syafar masyarakat Pariaman selalu memperingati meninggalnya Syheh Burhanuddin yang dikenal dengan sebutan basapa. Di namakan dengan basapa karena kegitan ini hanya dilaksanakan pada bulan safar tahun hijriyah.


Kegiatan basapa ke Ulakan ialah subuah kegiatan mengunjungi makan seorang guru yang bertempat di Nagari Ulakan Kecamatan Ulakan-Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Prosesinya di awali dengan berdo’a di makam Syeh dengan tujuan orang yang berdo’a mendapatkan redho dari Allah subahanahu wataala. Kemudian dilanjutkan dengan sholat berjamaah dan ditutup dengan zikir bersama.


Kegiatan basapa dilakukan ialah sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih terhadap syeh Burhanuddin, atas keberhasilannya mengembangkan ajaran Islam di Minangkabau. Ajaran Sataryah yang dia bawa mendapat tempat di hati masyarakat pada masa itu, sehingga berkembanglah agama Islam di Ranah Minang. Pada saat itu, Syeh Burhanuddinlah satu-satunya orang yang pertama kali membuka tempat pendidikan agama islam secara formal, pesantren istilah sekarang (Duski Samad, 2003). Hal ini dapat di buktikan di surau pertamanya di Tanjuang Medan, di sekeliling surau tersebut sudah terdapat rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya santri-santri beliau selama menuntut ilmu agama. Untuk mengenang jasa-sjasa beliau dilakukanlah ziarah kubur oleh murid-murid dan masyarakat yang mewarisi ajaran Sataryah tersebut.


Kegitan basapa ini tidak hanya dilakukan oleh masayarakat Pariaman, masyarakat dari darekpun tidak ketinggalan. Pada saat sapa gadang contohnya, penziarah banyak yang berasal dari daerah darek, yang terdiri dari 3 luhak. Setelah ziarah dilakukan, masyarakat tersebut melakukan ritual keagamaan seperti di atas. Ada pula yang masyarakat melaksanakannya di dalam surau yang dibangun di sekitar makam. Contohnya masyarakat Toboh Gadang, dan Tanah Datar mempunyai surau tersendiri untuk melaksanakan ritual tersebut.


Sapa di kenal oleh masyarakat dengan 2 sebutan: Pertamaa Sapa gadang (safar besar), ke dua Sapa ketek (safar keci)l Pada saat Sapa gadang Nagarai Ulakan mulai diramaikan oleh penziarah . setelahnya dianggap sebagai puncak dari kegiatan bersafar, karena hari kamis pagi penziarah sudah mulai meninggalkan Ulakan guna menuju kampung halaman mereka masing-masing.


 Dinamakan dengan sapa gadang, karena kesempatan ini diperuntunkan untuk masyarakat dari daerah Darek. Jumlah penziarah pada saat ini berkisar hingga ribuan orang, sehingga menutup badan-badan jalan di Nagari ulakan. Dengan kondisi yang penuh sesak ini seakan menambah semangat dan keyakinan penziarah untuk melaksanakan ritual keagamaan basapa. Selama 3 hari inilah daerah ulakan yang berdekatan dengan pantai selalu ramai oleh penziarah dan pengunjung.

Lian pula halnya dengan muda-mudi, mereka merayakan basapa di sepanjang pantai Ulakan. Moment ini, mereka gunakan sebagai ajang perkencanan, memadu kasih hingga pagi menjelang. Namun, masyarakat Ulakan tetap mempunyai konsekwensi dan aturan yang cukup tegas, bagi muda mudi yang kedapatan melakukan hal yang tidak senonoh atau samapai melakukan zinah, pasangan tersebut dinikahakan oleh tokoh masayarakat setempat. Masyarakat tidak peduli apakah orangtua mereka setuju atau tidak. Tapi entah kebetulan atau apa, setelah kegiatan bersapa gadang selesai tepatnya hari kamis pagi, Nagari ulakan selalu di guyur hujan. Bisa jadi hujan yang turun dapat dianggap sebagai pembersih noda yang di tingalkan muda-mudi di Nagari ulakan tersebut. Kejadian seperti ini berlaku pula pada saat sapa ketek (sapa kecil) nantinya.


Sapa ketek dilaksanakan pada  minggu ke 2 setelah sapa gadang. Pada saat ini pengunjung lebih ramai dari pada Sapa gadang, karena umumnya pengunjung berasal dari daerah pariaman dan juga pengunjung pada Sapa Gadang juga melakukan ziarahnya untuk ke dua kalinya. Oleh karena itu, dinamakanlah sapa ini dengan sapa ketek, sebab hanya diperuntunkan untuk masyarakat Pariaman, tapi tidak tertutup kemunggkinan bagi masyarakat dari Darek, sehingga penziarah lebih ramai dari pada Sapa Gadang.


Ritual  prosesinya di awali dengan sholat zuhur hingga pagi harinya. Sementara kegiatan yang dilakukan sama seperti yang dilakukan pada saat sapa gadang baik penziarah maupun pengunjung yang didominsi oleh muda mudi.


Tapi sungguh disayangkan, kegiatan basapa ini telah jauh melenceng dari ketentuan yang ditetapkan oleh Guru Sataryah terdahulu. Jika sidang pembaca melongok ke areal pemakaman, akan terlihat orang yang sedang berdo’a di samping makam Syeh sudah mendekati hal-hal yang berbau syirik. Sebagian orang terlihat sedang berebutan untuk mengambil pasir kuburan syeh, mereka percaya pasir tersebut mujarab dijadikan obat.


 Begitu pula dengan air di dalam kerang yang diletakan berdekatan dengan Batu hampa (batu landasan yang digunakan ketika memukul kemaluannya) Syeh Burhanuddin, penziarahpun berrebutan untuk mendapatkan air tersebut. Sekarang air itu telah dibungkus dengan plastik kecil yang telah diisi dengan sayatan-sayatan limau (jeruk nipis), dengan catatan orang tersebut memberi infak sebesar Rp1000. Air ini dipercaya sebagai obat, seperti penambah kepintaran jka air tersebut diusapkan ke kepala.

Tidak hanya itu, di sekeliling makam dapat diperhatikan belasan orang terlihat Siak sedang mengobral do’a. Syaratnya bagi orang yang meminta dido’akan harus bersedia memberikan infak kepada orang siak dengan jumlah yang tidak ditentukan. Ditambah lagi tingkah laku muda mudi di sepanjang pantai Ulakan. Itulah kenyataan yang terjadi selama bersapa ke Ulakan.


kiriman email dari mirwan ke pariaman.news@yahoo.co.id

×
Berita Terbaru Update