Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Budaya Sunat Dari Masa Kemasa

25 Juli 2012 | 25.7.12 WIB Last Updated 2012-07-25T05:43:09Z



Dulu waktu saya sunatan, selamatan cukup diadakan di rumah. Itu dilaksanakan tahun 1941 ketika saya berusia 11 tahun. Satu tahun sebelum Jepang masuk ke Indonesia, empat tahun sebelum proklamasi kemerdekaan. Yang hadir paling banter keluarga dekat, tetangga dekatdan kawan dekat yang punya hajatan, yaitu orang tua saya sendiri. Yangmenyunat saya bukan dokter, tapi seorang dukun merangkap kiayi di
kampungnya. Tapi Ayah sudah siap dengan obat bius lokal yang membuat
saya samasekali tidak merasakan sayatan pisau Pak dukun, karena sudah
diolesi obat bius lokal itu tadi. Sang dukun/kiayi sempat terperangah
karena belum pernah menggunakan obat semacam itu. 


Walhasil, semuaberjalan lancar, dan saya tinggal berbaring menunggu orang datang
memberi uang. Istilahnya di Bandung adalah "nyicip" yang disunat dan
nyicip makanan kecil ala kadarnya hasil yang disiapkan Ibu di
dapur.Cukup banyak uang terkumpul : F. 25,- (gulden zaman Belanda).Dengan uang itulah saya membeli sepeda, yang masih sempat dipakai
untuk sekolah dan "ngelencer" sore-sore. Itu dulu. Sekarang bagaimana ?


Kemarin kami sempat menghadiri acara sunatan model sekarang.
"Selamatan" tidak lagi dilakukan di rumah, tapi di poolside Club Villa
Delima tidak jauh dari tempat kami tinggal. Yang mengadakan selamatn
adalah tetangga. Rumahnya memang tidak seberapa besar. Jadi dapatlah
dimengerti apabila mereka memilih mengadakan selamatan di tempat umum
(tapi cukup private) ketimbang di rumah. Di tempat umum orang mudah
memarkir mobil, ruang selamatan juga luas dan lapang. 


Apalagi suasana bertambah semarak karena diadakan di poolside kolam renang yang cukup besar pula. Ada tenda utama tempat "sang pengantin = anak yang
disunat" dipajang didampingi papa & mamanya. Ada pula kotak besar
berlapis kain satin putih yang ditebar dengan aneka accessories,
dengan celah diatasnya untuk orang memasukkan uang (tentu dalam amplop
supaya terasa private dan tidak "vulgar"). Di dalam tenda itu juga
tersedia beberapa deret kursi, yang juga dibalut kain satin putih. Di
bagian lain dari poolside itu ada pula tenda tempat panggung band,
yang juga terbungkus satin putih. Ada pula tenda makanan (juga pakai
kelambu satin putih). 


Dan juga ada beberapa tenda lain (juga terbungkus satin putih) yang kurang jelas fungsinya untuk apa. Saya sempat ternganga melihat gaya yang jauh sekali berbeda dari apa yang dulu pernah saya alami. Ketika menyalami yang punya hajatan, saya
sempat berbisik memuju ideanya yang cemerlang. Dia menjawab "Ah Pak
Arifin, ini 'kan sederhana sekali…". Saya tersenyum kecut. Kalau
gaya begini disebut sederhana, tentulah ada gaya lain lagi yang
mungkin "tidak begitu sederhana". Yang mungkin agak mewah, atau malah
mewah sekali.


Dan ternyata kamilah rupanya yang "ketinggalan zaman" : Selamatan
dalam rangka perkawinan sudah lumrah diadakan di hotel-hotel
berbintang. Birthday parties yang beberapa tahun y.l. masih diadakan
di cafe-cafe, sekarang sudah beranjak ke….hotel-hotel berbintang.
Dan sunatan pun sudah dilakukan dengan gaya yang sama : di hotel-hotel
berbintang. Berapa banyak uang dihambur-hamburkan, hanya untuk
sunatan ? Jadi mungkin saja statement tetangga saya tadi yang berucap
bahwa "…ini mah sederhana saja Pak…." ada benarnya juga.
Sederhana. SEDERHANA with capital letters.


Katakanlah jumlah tamu yang dundang 100 orang. Plus anak, cucu,
menantu, orang tua, opa & oma, mungkin akan membengkak menjadi
katakanlah 200 orang. Dengan biaya catering yang "sederhana" sebesar
katakanlah Rp 75.000,- per orang maka anggaran untuk catering saja
sudah menuntut biaya sebesar Rp. 15 juta (minimal). belum lagi hiasan-
hiasan, tenda-tenda berkelambu satin putih, kursi-kursi satin putih,
band, dll. Katakanlah semua itu ditata dengan cara yang "sederhana" :
mungkin perlu biaya tambahan paling tidak Rp. 5 – 10 juta lagi.
SEDERHANA man ! Really sederhana. Berapa biayanya kalau diadakan di
hotel berbintang ? Sudahlah. It is their money. They can afford it.
They can even burn it, if they wish. Peduli amat dengan rakyat miskin
yang belum tahu bisa cari makan hari ini atau tidak………..Ini mah
SEDERHANA saja Pak……..


Mungkin perlu dipasang balihoo yang cukup BESAAAAR di lokasi-lokasi
yang strategis dimana orang dianjurkan kembali hidup SEDERHANA with
capital letters, with BIG letters, supaya terbaca dari kejauhan. BIG
man. BIG….


catatan arifin abubakar the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update