Oleh Oyong Liza Piliang |
Sebagai daerah dengan tingkat kerawanan kategori tiga atau kerawanan di dunia siber untuk Pilkada Serentak Indonesia 2018, pantas pula kiranya pihak kepolisian melakukan razia dan imbauan melalui Unit Cyber Troop-nya yang baru aktif beberapa hari ini.
Unit itu tentu saja diharapkan bukan dijadikan alat untuk menjerat kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi warganet. Pelanggaran hukum yang menjurus ke arah fitnah, memicu konflik, semestinya ditindak. Hukum memang harus tegak, namun tidak selalu untuk menghukum. Semangat hukum adalah mendidik.
Peran penegak hukum di ajang pesta demokrasi merupakan jembatan bagi semua pihak. Langkah persuasif, pendekatan sosial kultur suatu daerah, jadi panduan utama polisi dalam menyelesaikan setiap sengketa pemilu/pilkada. Euforia masyarakat dalam setiap kontestasi demokrasi, selaras dengan kultur sosial dan budaya daerah tersebut. Pemahaman akan hal itu sangat penting sebelum mengambil langkah/tindakan hukum.
Pariaman, merupakan daerah melek politik. Hal itu diasah terus oleh masyarakatnya yang gemar berdialetika, berorganisasi dan berkumpul dalam komunitas-komunitas terkecil di lapau-lapau. Politik secara organik terus berkembang dalam tatanan masyarakat Pariaman. Politik, adalah pembahasan paling lumrah di Pariaman. Tak pandang usia, gender sekalipun.
Karakter sosial masyarakat Pariaman sekarang, tidak terlepas dari sejarah panjang. Jika ditarik ke belakang, kita bicara abad pertengahan. Di Eropa, Raja Inggris Charles, belum dipancung: dipicu oleh pernikahannya dengan perempuan Katolik (30 Januari 1649). Satu abad pasca Perang Salib berakhir (1095-1291). Satu masa dengan berdirinya Kesultanan Utsmaniyah atau Kerajaan Ottoman (1299-1923).
Pariaman, era sastrawan Portigis Tome Pieres masih menulis menggunakan bulu unggas di abad ke-14, Pariaman sudah merupakan Kota Bandar yang sibuk. Literasi sejarah Pariaman-bahkan sebelum Christoper Columbus menginjakkan kaki di benua Amerika pada 1492-sudah menggurat dalam buku Suma Oriental yang ditulisnya.
Pariaman era silam, merupakan kota strategis di sepanjang pesisir barat Sumatera setelah kota bandar lainnya di Aceh, Barus. Pariaman kota perdagangan rempah yang diangkut dari berbagai wilayah Sumatera untuk diperjualbelikan kepada saudagar Eropa, Arab dan China. Sebuah dermaga cukup modern di zaman itu, selalu sibuk angkut muat, jauh sebelum Belanda menjajah Nusantara. Ekonominya terbilang maju.
Sebagai kota bandar yang sibuk, orang Pariaman di masa itu selangkah lebih terdidik oleh pengalamannya sendiri. Mereka mahir diplomasi dan bernegosiasi yang menjadi landasan karakter orang Pariaman saat ini. Profesi orang Pariaman saat itu mayoritas penghubung antar penjual dan pembeli, atau broker. Penjual dari kalangan pribumi dan pembeli saudagar luar negeri. Keahlian mereka, kedua belah pihak selalu merasa diuntungkan.
Di saat daerah lainnya masih membarter barang, orang Pariaman sudah mahir menghitung kepingan emas, perak dan perunggu sebagai alat tukar perdagangan. Pariaman yang maju, menjadikannya daerah rantau bagi kaum urban yang ingin merobah nasib dan peruntungan.
Pembauran ragam kultur budaya, sebagai pribumi, menjadikan orang Pariaman egaliter. Bergaul dengan orang Eropa berbeda dengan orang Arab dan China. Sikap membaur dan pintar menempatkan diri itulah yang kemudian diturunkan menjadi karakter orang Pariaman saat ini. Kata selalu berbalas kata, bukan beradu lengan. Dialetika selalu dikedepankan dalam mengurai setiap permasalahan yang ada.
Menjadikan Pariaman tetap aman di masa itu, sebuah ilustrasi pemikiran jenius orang dulu yang menginginkan daerahnya tetap sebagai pusat perdagangan antar negara. Orang Pariaman telah berpolitik untuk kemajuan ekonominya, jauh sebelum negara kita berdiri.
Oleh sebab itulah, Pariaman selalu harus ditangani sesuai dengan bentuk keekslusifan budaya mereka. Jalan terbaik untuk menjadi pengayom bagi masyarakat Pariaman itu sendiri, adalah dengan membaur dengan mereka. Jika sudah demikian, hampir tidak akan ada persoalan rumit di Pariaman yang tidak bisa diselesaikan. (***)