Harapan saya sebagaimana harapan tersirat warga sekampung tentu menginginkan ada perubahan kearah kemajuan untuk Kota Pariaman ini. Maju yang saya maksud tentu yang bersifat konstruktif, cakap dan membanggakan. Pariaman semenjak saya huni menetap tak beranjak ialah awal pernikahan saya April 2003. Sebelumnya saya suka berpindah tempat, baik itu ke Pekanbaru dimana saya dilahirkan, maupun sekedar berkunjung kerumah kakak sekandung di perantauannya, serta pulang kampung kembali. Tak betahnya saya dirantau karena sulitnya saya beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan yang selalu tidak pernah saya cocoki.
Pariaman sekarang belumlah kita boleh berbangga hati dengan banyaknya pembangunan jalan-jalan baru, kantor-kantor baru megah-mentereng. Pembangunan yang benar menurut penafsiran saya adalah pembangunan fisik yang sejalan dengan pembangunan peradabannya. Saya masih melihat masyarakat masih berpola pikir pragmatis dominan. Opini mereka terperangkap paham lama. Mereka menolak sesuatu yang baru tanpa paham akan apa yang dia tolak. Mereka terlalu percaya pada apa yang dikatakan kebanyakan orang tanpa pernah mau mencoba berpikir menurut sudut pandang mereka sendiri.
Logika akan tumpul jika kita terlalu mengikuti arus banyak (mainstream). Dulu Nokia sekarang Samsung. Dulu Datsun sekarang Toyota. Mainstream orang kita. Padahal, jika kita memakai Logika sedikit saja, dari produk diatas, dengan harga setara kita bisa dapati barang berkualitas dengan fitur lebih canggih merk lain, atau kita bisa dapatkan harga murah dengan fitur sekelas seumpama kita membeli merk lain pula.
Budaya arus banyak membudaya memang. Ingat saya dulu ketika merk baju CF, Hammer, kemudian celana Tira, Lea membumi. Saya tidak pernah membelinya, saya pilih jeans merk O2 yang tidak mudah dijumpai di pasaran, jika ada kawan bertanya berapa harganya, saya tinggal mengarangnya.
Sekarang saya menggunakan ponsel pintar merk Lenovo, merk global kenamaan meskipun China punya. Saya tahu Lenovo adalah produk berkualitas, mereka sanggup membeli perusahan IBM, raksasa perusahan komputer dunia sebagai pembuktian. Sementara seluruh orang merasa berduit menenteng Samsung. Dia tidak tahu bahwa Samsung yang masuk ke Indonesia juga berpabrik di China. Harga mahal adalah permainan penjual, dimana demam tinggi akan merk tersebut. Gadis cantik belum tentu Gadis pujaan. Sebuah mobil merk Toyota Kijang rakitan 1995 jauh lebih mahal ketimbang keluaran pabrik GM keluaran 2000 keatas kelas SUV mewah.
Saya suka mencemooh, Anda suka mencemooh, semua suka mencemooh. Itulah kita adanya orang Pariaman. Namun cemooh juga ada bertingkat-berlevel. Cemooh adalah kalimat stereotype setingkat diatas kritik. Hal itu lahir karena dialetika Pariaman boleh dikata paling sering terasah-bergesek dibanding daerah manapun di Indonesia ini. Karakter endemik.
Orang kita seakan semuanya ingin maju ketengah-kedepan. Egaliterisme mereka puncak sudah. Orang Pariaman hanya pernah tercatat tunduk pada gaya kepemimpinan Almarhum Anas Malik. Keras-keras lunak (kerasnya dua kali, lunaknya sekali).
Penertiban pasar bak kucing-kucingan antara Pol PP dan PKL. Sudut pandang antara pedagang dan pemerintah bertanda belum berada dalam satu kesatuan. Itu saja pokok persoalannya. Lain tidak.
Persoalan Pariaman hanya orang Pariaman yang bisa menyelesaikannya. Dengan cara jujur-sejujurnya, tidak iya-iya dimuka saja, dibelakang lain pula.
Catatan Oyong Liza Piliang