Hiruk pikuk pemberitaan di media televisi
akhir-akhir ini berfokus pada Ahmad Fathanah, setelah sebelumnya di
dominasi Eyang Subur dan sebelumnya lagi Irjen. Pol. Djoko Susilo. Ada
kesamaan berita yang melingkupi ketiganya : perempuan-perempuan dan
materi! Maka, layaklah kalau 3 pria ini : Eyang Subur, Djoko Susilo dan
Ahmad Fathanah dinobatkan sebagai Trio Lelananging Jagad,
setidaknya untuk wilayah Indonesia. Kalau di kompetisikan di level
dunia, jelas masih kalah jauh dengan Hugh Hefner, boss sekaligus pendiri
Playboy yang diusianya yang ke-86 tahun masih menikahi gadis yang 60 tahun lebih muda darinya.
Dari semua contoh di atas, sepertinya tak salah
jika disimpulkan : kalau anda pria kaya raya dan royal terhadap wanita,
tak peduli berapapun usia anda, wanita secantik dan semuda apapun akan
bisa anda dapatkan. Ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tapi di
seluruh dunia. Setengah abad yang lalu, Aristotle Onassis si raja kapal
Yunani telah membuktikannya.
Agar terfokus, saya akan ambil contoh yang paling gres
saja : cewek-cewek di sekitar Ahmad Fathonah. Rabu petang, TV One
mewawancarai eksklusif Vitalia Shesya, begitu pun RCTI, tak mau kalah.
Dari semua wawancara itu, terungkap pengakuan Vita bahwa ia mengenal
Ahmad Fathanah (AF) sekitar akhir Nopember 2012 melalui temannya di agency.
Setelah pertemuan pertama, dilanjut pertemuan kedua, AF membelikan
berlian untuk Vita, bahkan disuruhnya Vita memilih sendiri di sebuah
toko di Plaza Senayan. Sebuah jam tangan merk Chopard seharag Rp. 70
juta pun menjadi milik Vita. Pada pertemuan ke tiga – dibagian lain Vita
mengaku tanpa bertemu, cukup melalui telepon – AF membelikannya sebuah
mobil Honda Jazz langsung dari dealer dan diatasnamakan Vita.
Pada pertemuan ke empat, AF mengajak Vita menikah sirri namun ajakan ini
ditampik Vita. Selanjutnya Vita mengaku bertemu AF tak lebih dari 6
kali saja, salah satu pertemuan itu pernah mereka lakukan di hotel Le
Meridien, Vita membawa kedua anaknya, mereka menginap di kamar yang ada connecting door-nya.
Yang menarik bagi saya, Vita dalam setiap kesempatan wawancara berulangkali menyebut AF orang yang baik dan perhatian
padanya dan anak-anaknya.
Bahkan ibunya pun – menurut Vita – ketika
tahu AF memberinya mobil, mengatakan AF orang baik. Namun, meski sudah
banyak menerima pemberian berupa barang berharga mahal dari AF, Vita
mengaku tak pernah tahu apa profesi AF. Yang dia tahu hanyalah AF seorang pria beristri yang istrinya sedang hamil. Dalam acara Gestur, host
TV One Indiarto menanyakan kurang lebih begini : “apakah anda tidak
merasa bersalah menerima pemberian dari pria beristri yang istrinya
sedang hamil?”. Vita menjawab santai : “tidak, saya toh tak berniat
merebut mas Ahmad dari istrinya”. Soal mobil pun Vita selalu berkilah :
AF membelikan mobil itu dengan ikhlas karena kasihan melihatnya dan
anak-anaknya.
Senada dengan Vitalia, gadis 19 tahun yang kedapatan bersama AF di hotel Le Meridien
lewat tengah malam ketika AF dicokok KPK, Maharani Suciono, pernah
berujar “Saya dikasih duit ya seneng-seneng aja”, ketika ditanya apakah
ia tak mempertanyakan uang Rp. 10 juta yang diberikan AF meski mereka
baru berkenalan. Istilahnya itu “uang perkenalan/petemanan”.
Tri Kurnia Puspita, wanita cantik lain yang juga
menerima “kemurahan hati” AF, kecipratan sebuah mobil Honda Freed,
gelang Hermes seharga Rp. 70 juta dan arloji merk Rolex. Yang
menggelitik bagi saya, fakta bahwa Tri Kurnia adalah sabahat baik dari
salah satu istri AF yang saat itu sedang hamil, yaitu Septi Sanustika.
Kabarnya keduanya sama-sama penyanyi dangdut.
Entah saya yang sedikit tak normal atau bagaimana,
yang jelas saya tak habis pikir apa yang ada di benak wanita-wanita yang
dikaruniai wajah cantik itu. Melihat dari cara mereka menjawab
pertanyaan wartawan dan berargumen, saya yakin mereka bukan wanita
bodoh, bukan orang dari pelosok yang polos dan lugu, tak paham harga
benda-benda mewah itu. Kenapa tak seujung kuku pun terlintas di benak
mereka, pria yang begitu baik dan royal ini siapa ya? Apa profesinya?
Kenapa semudah itu membelanjakan uang puluhan bahkan ratusan juta?
Terlebih lagi, Vitalia dan Tri Kurnia jelas tahu bahwa AF sudah beristri
bahkan istrinya sedang hamil, mau saja mereka menerima pemberiannya.
Sebagai sesama wanita, tak adakah rasa empati mereka?
Rupanya budaya materialisme – yang menjadikan
materi sebagai ukuran pencapaian seseorang bahkan ukuran kesejahteraan
dan kemapanan hidup – telah membuat sebagian orang memilih gaya hidup
yang lebih dari kemampuannya. Tuntutan gaya hidup inilah yang kemudian
menjadikan orang mudah sekali terpesona pada “kebaikan” orang lain yang
menghujaninya dengan benda-benda yang diinginkan yang tak terjangkau
dibelinya sendiri. Kaum wanita, lebih banyak menjadi penganut
materialisme ini. Sebab, wanita adalah makhluk penyuka keindahan, yang
mudah tergiur oleh beragam asesori dan lebih peduli pada merk ketimbang
fungsi suatu benda.
Maharani Suciono misalnya, gadis semuda itu, masih
tinggal bersama kedua orang tuanya, yang kondisi rumah tinggal mereka –
maaf – tergolong sangat sederhana, namun gaya hidupnya bak orang
berduit, nongkrong di cafe mahal yang bisa mempertemukannya dengan
lelaki semacam AF. Uang Rp. 10 juta dalam sekali pertemuan dianggapnya
“rejeki nomplok” yang tak perlu dipertanyakan. Sama halnya dengan
Vitalia yang menganggap itu rizki dari Allah lewat tangan Ahmad
Fathonah.
Yang lebih menyedihkan, para orang tua dari wanita-wanita itu
seolah tak menuntun putri mereka untuk berhati-hati dalam melangkah.
Seorang gadis belia 19 tahun, masih mahasiswi, tak pulang ke rumah
sampai lewat tengah malam, tidakkah bapaknya merasa risau dan perlu
segera menyusul putrinya? Ibunda Vitalia, melihat seorang pria yang baru
kenal anaknya belum sebulan dan baru bertemu 2-3 kali sudah mengirimkan
mobil baru ke rumah, tidakkah ibunya mempertanyakan siapa lelaki itu
dan gerangan apa di balik pemberiannya, ketimbang sekedar berucap “dia
baik ya?”.
Tak cukup tajamkah naluri seorang ibu?
Dua wanita bersahabat, kemudian yang satu menerima
pemberian tak sedikit dari suami sahabatnya tanpa setahu sahabatnya,
tidakkah hati nuraninya merasa mengkhianati persahabatan? Kenyataannya
Tri Kurnia bisa enjoy saja menerima mobil, gelang dan arloji
bermerk. Begitu pun Septi yang sudah resmi menjadi salah satu istri AF –
meski melalui pernikahan sirri – ia tak merasa perlu tahu apa
sebetulnya profesi suaminya dan berapa penghasilannya. Jangankan
bertanya dari mana asal usul nafkah yang diterima, lha wong profesi saja gak tau kok. Halal – haramnya nafkah untuk mereka dan anak mereka, sama sekali tak jadi soal.
Fenomena ini juga terjadi pada istri-istri Irjen
Pol. Djoko Susilo. Wanita-wanita muda yang lebih pantas menjadi anak
Djoko Susilo itu seolah menutup mata dari mana suaminya mendapatkan uang
sehingga bisa membelikan mereka beberapa rumah mewah dan tanah yang
luas. Meski secara fisik sudah jelas bisa ditebak berapa umur sebenarnya
sang jendral, tapi mereka percaya begitu saja dengan umur yang
dipalsukan 10 tahun lebih muda. Padahal, mereka bukan wanita bodoh!
Dalam kasus Eyang Subur, meski harus berbagi suami
dengan 7-8 wanita dan hidup serumah dengan para madunya, wanita-wanita
itu menolak diceraikan. Secara demonstratif mereka bahkan tampil bersama
dengan dandanan yang seragam dan perhiasan yang sama. Mereka lebih rela
berbagi suami ketimbang harus merelakan semua materi itu lepas kalau
tak lagi berstatus istri Eyang Subur. Meski dari sisi hukum agama telah
jelas dinyatakan melanggar, mereka tak peduli.
Apa yang terjadi pada wanita-wanita itu mungkin
hanyalah puncak gunung es. Dalam skala yang lebih kecil, di
daerah-daerah ada banyak lelaki-lelaki lelananging jagad yang bisa menaklukkan dan menguasai banyak perempuan sekaligus. Kuncinya : materi!
Kebaikan hati telah diterjemahkan secara sempit menjadi “suka memberi”.
Perhatian telah ditafsirkan menjadi “membelikan apa yang diinginkan”
tanpa diminta. Lebih menyedihkan lagi, para orang tua ikut bangga kalau
anak mereka kecantol lelaki yang royal menghujani anaknya dengan aneka
barang mahal.
Karena itu kaum wanita, tak perlu menyalahkan Ahmad
Fathonah, Jendral Djoko atau Eyang Subur. Kalau tak ada wanita yang
silau dengan gemerlap perhiasan dan barang mewah, mereka juga tak bisa
berbuat banyak. Materialisme telah menyeret orang pada permissivisme. Ketika tuntutan gaya hidup serba materi, maka dari mana asalnya tak lagi dipertanyakan, semuanya sah-sah saja dengan alasan “saya dikasih, gak minta”. Padahal, sebuah pemberian tak harus diterima jika yang diberi cukup kritis. Jangan lupa, there is no free lunch, kecuali anda mau makan siang di KPK.
Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer