Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

(Tajuk) Menangnya Golput di Pilkada Serentak

11 Desember 2015 | 11.12.15 WIB Last Updated 2015-12-11T13:21:50Z



Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Indonesia 9 Desember usai sudah. Pemenang pun mulai diumumkan oleh sejumlah lembaga survey hari itu juga yang bukan keputusan resmi oleh penyelenggara pemilu. Untuk Pilkada Padangpariaman, pasangan calon (paslon) nomor urut satu (1) Ali Mukhni-Suhatri Bur menang telak dengan selisih prosentase kisaran 20 persen hasil hitung ril (real count) yang kami lakukan bekerjasama dengan sejumlah lembaga.

Penghitungan cepat sangat memungkinkan di era teknologi informasi seperti sekarang ini.
 

Informasi yang didapat kemudian bertebaran begitu cepat di halaman sosial media yang sudah menjadi peradaban baru. Dari informasi viral tersebut menjadi konsumsi publik secara umum. Masyarakat sudah tahu "jantan betinanya" sebuah informasi.

Paslon nomor urut dua (2) Alfikri Mukhlis-Yulius Danil yang dinilai sebagian kalangan "pasangan boneka" hampir saja "bernyawa". Dia mampu meraih suara dan memberikan perlawan dalam sebuah pertarungan level tinggi. Hal ini juga mengagetkan sejumlah kalangan pemerhati yang terbiasa bermain di tatanan angka statistik.

Pilkada Padangpariaman kali ini adalah yang terendah dari tingkat partisipasi pemilih. Dari data yang kami kumpulkan ditambah sejumlah data pembanding, angka golongan putih (golput) mencapai lebih dari 45 persen. Artinya, kemenangan paslon mendapat legitimasi hukum, begitu rendah legitimatenya di masyarakat. Golput adalah pemenang sesungguhnya. Masyarakat apatis, adalah pemenang Pilkada Padangpariaman.

Rendahnya partisipasi pemilih sudah diprediksi oleh sejumlah kalangan. Berbagai argumen merujuk kajian ilmiah dan fakta di lapangan mereka kemukakan jauh hari. Dan hal itu terbukti di hari pencoblosan.

Pilkada serentak Indonesia menempatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) begitu powerfull dalam setiap tahapan. Sejumlah Peraturan KPU yang dibuat dalam waktu "sesingkat-singkatnya" tersebut banyak pula positif negatifnya.

Positifnya adalah para pasangan calon (paslon) tidak lagi dipusingkan pembuatan alat peraga kampanye (APK) yang tentunya menguras isi kantong mereka. APK bagi mereka adalah pengeluaran finansial terbesar kedua usai "membeli kendaraan". Dengan adanya aturan itu, partisipasi masyarakat ikut menurun.

Kebiasaan mereka (warga) di Pilkada sebelumnya sato sakaki dibatasi oleh peraturan. Masyarakat yang biasanya menerima "order" pemasangan baliho, menempelkan APK, berkampanye secara bebas (sporadis) diganjar sanksi oleh peraturan KPU tentang masa kampanye dan alat peraga. Jika sudah diganjar sanksi, paslon yang mereka dukung dirugikan. Urunglah mereka berbuat.

Sesungguhnya, hemat saya, sejumlah peraturan KPU tersebut bertujuan baik. Paslon dan tim sukses harapannya agar bisa memberikan pendidikan politik cerdas kepada masyarakat dengan dialog-dialog, diskusi-diskusi tentang visi dan misi serta porgram oleh si paslon. Tujuan tersebut rupanya sama sekali tidak mengenai sasaran karena masyarakat belum terbiasa ditambah pula minimnya tingkat kepercayaan mereka kepada paslon yang akan berlaga itu.

Di Jepang, kebetulan saya sering melancong ke sana (di internet) sistim kampanye kepala daerahnya begitu mandiri. Sistim pilkada dan pemilunya tidak menggunakan APK dan kampanye terbuka berlebihan. Para calon melakukan kampanye dengan sebuah mobil minivan, lalu di mana orang banyak dia ber-orasi politik pakai pengeras suara mengabarkan visi misi yang akan dia bawa jika terpilih. Kadang hal itu dia lakukan sendiri saja. Jika pidatonya menarik, didengarkan, jika tidak, ditinggalkan. Mereka dianggap memekakkan telinga saja oleh warga yang hengkang dari tempat itu.

Apa yang dia katakan umumnya dipercaya masyarakat Jepang, karena di sana berbohong adalah sesuatu yang sangat tabu. Dari orasi calon itu, kemudian masyarakat mencari tahu siapa calon tersebut lebih mendalam melalui seluruh sarana informasi sebelum menjatuhkan pilihannya.

Aplikasi demikian tentu berbanding lurus dengan sumber daya manusia (SDM) pemilih itu sendiri. Di Jepang yang haram money politic, tingkat partisipasinya sangat tinggi. Para manula berusia seabad kadang ikut pula antri di TPS menggunakan hak pilihnya. Pemimpin di sana memiliki legitimasi hukum dan legitimasi publik tinggi yang pada akhirnya membuat itu si pemimpin sadar dengan sendirinya. Dia benar-benar bekerja banting tulang demi suara rakyatnya. Siang malam dia memikirkan bagaimana mensejahterakan warga yang dia pimpin.

Di tempat kita, demokrasi masih sedang mencari jati dirinya. Sedang menuju bentuk idealnya. Berbagai peraturan, regulasi terus dibuat untuk memperteguh sebuah sistem pemilihan umum sebagaimana Pilkada serentak Indonesia. Setiap peraturan yang dibuat memang selalu ada saja pihak yang dirugikan termasuk peran media pers sebagai lembaga ekonomi.

Usai pelaksanaan hal baru (pilkada serentak) tentu berbagai pihak terkait melakukan evaluasi terhadap sejumlah kekurangan. Kajian pertama mereka, hemat saya, adalah perihal tingginya angka golput (bersifat merata secara nasional). 


Mereka pembuat kebijakan tentu berusaha pula agar kemudian hari hal serupa tidak terjadi di masa Pilkada. Kemudian berbagai regulasi dan peraturan baru akan dibuat lagi yang pada akhirnya ada pula pihak yang mengaku dirugikan oleh peraturan baru itu.

Merasa rugi oleh sebuah kebijakan karena pernah untung sebelum adanya kebijakan. Hal ini juga perlu disikapi dengan baik. Jika kebijakan tersebut lebih banyak untungnya bagi masyarakat secara umum, seyogiya nya kita berlapang dada. Namun jika peraturan itu merugikan masyarakat dan sejumlah kepentingan lainnya, maka lawanlah.

Catatan Oyong Liza Piliang
×
Berita Terbaru Update