Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Geliat dan Gairah Pilpres 2014

19 Agustus 2014 | 19.8.14 WIB Last Updated 2014-08-19T14:05:40Z



Pilpres 2014 adalah pilpres terpanas, terhebat dan terbanyak kampanye hitamnya. Belum pernah sebelumnya Pilpres begitu menyita perhatian pemilih begitu besar, dibandingkan dengan pilpres 2014 ini. Walau angka partisipasi lebih rendah sebesar 1,5% dari pilpres 2009 (71,17% menjadi 69,58%), tetap saja pilpres 2014 memberi nuansa tersendiri. Dinamika yang terjadi tentu perlu dikompilasi menjadi bagian dari pembelajaran bagi pilpres berikutnya, sekalipun perkembangan yang akan terjadi tidak sepenuhnya bisa diantisipasi. Kemajuan teknologi media dan perubahan perilaku pemilih akan memberikan tantangan tersendiri dalam lima tahun ke depan. 

Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun ini menunjukkan bahwa pilpres bukan hanya persoalan kekuasaan semata yang terjadi di kalangan elite, melainkan sudah masuk menjadi masalah individu. Setiap orang yang berpartisipasi dalam pilpres mengambil bagian bagi kepentingan dirinya sendiri. Gabungan dari kepentingan individu inilah yang sering disebut sebagai kepentingan publik. Dari sini terbentuk relawan-relawan swadaya dan swadana yang tidak merupakan bagian dari partai politik. Apalagi, menurut banyak survei, party id turun terus sepanjang lima tahun ini. Angkanya malah kurang dari 20%. Itu artinya, warga yang merasa dirinya terbebas dari partai politik kian meningkat, lebih dari 80%. 

Mayoritas pemilih ini dikenal sebagai pemilih independen, tanpa orientasi kepartaian.
Ada dua faktor yang mendukung perkembangan ini, yakni pilkada yang terjadi sejak 2005 dan penggunaan suara terbanyak dalam pemilu legislatif sejak 2009. Publik tidak lagi merasa terikat dengan partai politik, melainkan dengan figur yang diajukan, baik dalam pemilu legislatif maupun pilkada. Keduanya berujung kepada pilpres yang menjadi puncak bagi kontestasi politik di Indonesia. Sekalipun partai-partai politik berkoalisi, tetap saja yang dilihat dan didukung adalah figur yang diusung, bukan partai politik pengusungnya. Begitu juga pengaruh dari figur-figur “bayangan”, yakni orang-orang yang merasa menjadi tokoh masyarakat, baik formal maupun informal, semakin kecil. Organisasi sosial kemasyarakatan juga bukan batu penjuru arah pilihan publik. Pemilih benar-benar menjadi otonom, sampai di tingkat keluarga batih. 

Di luar itu, derasnya pemberitaan media massa juga menjadi faktor yang dominan memberikan pengaruh. Apalagi media tidak lagi hanya sebatas televisi, radio ataupun koran dan majalah, melainkan merambah kepada media online dan media sosial. Para pengguna telepon selular, smartphone, iphone dan blackberry dengan mudah mendapatkan informasi yang bersiliweran setiap saat di genggaman mereka. Komentar-komentar panas di media sosial meningkat tajam selama pilpres berlangsung, bahkan pasca pilpres. Tak kalah seru, media online yang tidak jelas sumber informasinya juga disukai oleh para pendukung fanatik dari kedua pasangan capres dan cawapres yang bersaing. Kampanye berlangsung di dalam genggaman tangan, menembus dinding-dinding rumah, domisili dan status sosial. 

Kreatifitas para relawan juga mencapai puncaknya dalam Pilpres 2014. Setiap hari kita menemukan gambar-gambar baru yang terkait dengan kedua pasangan, termasuk dalam bentuk komik. Upaya memelintir ucapan lawan atau membesar-besarkan kesalahan lawan menjadi hal yang biasa. Batas-batas kampanye hitam dan kampanye negatif menjadi hilang, saking sulitnya memberikan klarifikasi terhadap isu-isu yang bergiliran muncul. Peredaran tabloid Obor Rakyat maupun tabloid-tabloid lainnya, menunjukkan seriusnya “perang isu” yang terjadi. Mobilisasi massa berkurang, kecuali dalam kampanye terbuka yang resmi. Sebaliknya, perang isu dan gagasan bertambah. Setiap kali debat antar capres, cawapres atau berpasangan dilakukan, istilah-istilah yang teknis diperbincangkan oleh pelbagai lapisan masyarakat. Ada pembelajaran yang cepat atas masalah-masalah yang diperdebatkan, walau dengan modal pengetahuan yang minim. 

*** 

Media massa termasuk pihak yang mendapatkan sorotan maksimal, terutama yang diketahui memiliki afiliasi politik dengan pemilik medianya. Kalangan intelektual dengan mudah bisa dipetakan, mana yang argumen-argumennya condong ke kandidat A, mana yang ke kandidat B. Mereka dikenal sebagai spin doctor. Persaingan dukungan sejumlah stasiun televisi juga berarti persaingan di kalangan kaum “intelektual” yang dihadirkan sebagai narasumber. Publik dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa media XYZ atau pengamat ABC adalah pihak yang condong ke capres-cawapres tertentu. Persepsi yang dengan cepat terbentuk itu memunculkan sinisme terhadap media yang dianggap terlalu bermusuhan dengan kandidat yang mereka usung. 

Yang juga sangat bergairah dalam memberikan dukungan adalah kalangan yang seyogianya lebih banyak berurusan dengan sesuatu yang bersifat transendental, bukan malah politik praktis. Mereka berasal dari kalangan agamawan yang secara terbuka menjadi pendukung salah satu pasangan. Secara etika politik, mengingat siapapun yang menjadi presiden atau wakil presiden terpilih, sikap seperti ini menyebabkan makin tergerusnya ketokohan para agamawan itu. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh para kepala daerah beserta wakilnya. Padahal, akibat lanjutannya tidak diperhatikan, yakni siapapun yang terpilih akan menjadi atasan langsung dari kepala dan wakil kepala daerah itu. 

Khusus untuk pasangan Jokowi-JK, apresiasi layak diberikan kepada para relawan yang tumbuh subur di mana-mana. Aktivitas relawan ini diakui sebagai salah satu faktor kemenangan Jokowi-JK, terutama konser dua jari di Gelora Bung Karno menjelang hari terakhir kampanye, begitu juga dukungan selebritis yang selama ini dikenal apatis dan apolitis. Sumbangan dana besar ke rekening Jokowi-JK juga layak dicatat sebagai satu bentuk kemajuan dalam demokrasi di Indonesia. 

Sementara, untuk pasangan Prabowo-Hatta, apresiasi juga patut dilayangkan dari sisi konsolidasi di kalangan elite partai-partai pendukung. Tingginya tingkat kenaikkan elektabilitas kedua pasangan ini sejak diresmikan sampai hari pelaksanaan Pilpres, belum pernah terjadi sebelumnya dalam pilpres 2004 ataupun pilpres 2009. 

Bahkan, kekompakan koalisi pengusung pasangan Prabowo-Hatta juga terjadi pasca pilpres, tentu terkecuali individu-individu politisi yang berani memberikan dukungan terbuka kepada pasangan Jokowi-JK. Masalah yang terjadi pasca pilpres sebetulnya bertumpu kepada dua hal, yakni kinerja penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu (KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan kinerja Mahkamah Konstitusi. Dari sisi penyelenggaraan dan sengketa hasil Pilpres, kedua lembaga ini mengalami kemajuan. Belum pernah sebelumnya data C-1 bisa diakses oleh siapapun, termasuk diverifikasi kebenarannya. Butuh alat-alat bukti yang valid guna memenangkan permohonan hasil pilpres ini. 

Terlepas dari kekurangannya, Pilpres 2014 sudah memberikan data dan fakta yang semakin terang benderang, betapa demokrasi tumbuh mekar di Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim yang terbesar di dunia, demokrasi menemukan sandarannya di Indonesia. Bisa dikatakan betapa demokrasi kompatibel dengan dunia Islam dalam bentuk toleransi dan keterbukaan. Walau bahasa-bahasa agama juga muncul, tetap saja mayoritas masyarakat Indonesia memiliki sudut pandang tersendiri dalam mengusung dan mendukung pasangan capres dan cawapresnya. Dengan kondisi seperti ini, Indonesia sudah layak masuk ke dalam peta dunia, sebagai salah satu sumber bagi perkembangan di bidang ilmu politik dan ilmu-ilmu lainnya. 

Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update