Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Skenario Amien Rais Provokasi Massa

1 Juni 2014 | 1.6.14 WIB Last Updated 2014-06-01T13:11:05Z
 
 
 
Amien Rais tengah melakukan berbagai siasat “akal-akalan” untuk  mendulang perolehan suara Prabowo-Hatta. Prof ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada ini, melontarkan isu  dengan mengunakan bahasa yang memuat  sentimen keagamaan. Sentimen dalam masyarakat komunal dan primordial ini diyakini efektif  untuk memancing tindakan provokatif massa  untuk mendukung kandidat presiden Prabowo Hatta.
 
Isu sentimen dalam sejarah politik di Indonesia masih terbukti efektif untuk memobilisasi massa. Bahkan bisa mendorong perilaku yang merusak (destruktif), peristiwa-peristiwa kerusuhan di berbagai daerah ‘sumbu pendek’ mudah terprovokasi oleh isu-isu sensitif.
 
 Deretan nama-nama operasi yang pernah melintas daerah-daerah bersumbu pendek—mudah terbakar secara psikologis, seperti   “operasi naga hijau” , “kerusuhan 98”  , “ Ninja” dan berbagai “operasi sandi”   berawal dari daerah-daerah  pinggiran, lalu menuju ke pusat kota. Sehingga penggunaan bahasa , kata, frasa kalimat yang mudah membangkitkan emosi massa  dianggap tidak produktif bagi proses-proses pemilihan langsung presiden (Pilpres).
 
Amien, pendukung utama Prabowo ini melempar isu-isu keagamaan sebagai upaya  untuk membidik pemilih muslim—yang masuk dalam kategori swing voter supaya mendukung Prabowo-Hatta.  Atau setidaknya membangkitkan emosi massa islam seolah ada “unsur agama” yang dilukai. Atau pesan yang dibangun adalah mendukung Prabowo sebagai “ibadah” atau sebagai “tindakan suci”.
 
Sebagai pakar ilmu politik, Amien Rais memahami betul suasana emosi  pemilih berdasarkan demografi atau  psikografi pemilih muslim di Indonesia. Karakteristik pemilih Islam belum bergeser, terutama massa pendukung yang berbasis pada paham-paham mainstream  ormas terbesar di Indoensia (NU dan Muhammadiyah). Watak massa tetap mudah terprovokasi oleh isu –isu  berbasis keagamaan. Sehingga istilah-istilah herois Islam  seperti ‘Perang Badar’  dilempar dengan tujuan khusus yakni menggulirkan isu keagamaan (SARA) secara sistematis. Di luar paham maintsrteam terdapat ormas yang berpaham radikal.
 
Isu Jokowi beragama Kristen, nikah secara Kristen juga beredar di medsos dan media massa .  Seputar masalah gelar haji Jokowi juga diperbincangkan dalam dunia maya, dan berbagai  tudingan yang  menyangkut keagamaan kandidat Jokowi. Sampai terkesan kandidat koalisi PDI-P terpaksa menjawab publik dengan kemampuannya menjadi imam shalat di berbagai kesempatan melayani permintaan (desakan) pimpinan keagamaan. Jokowi menjawab dengan  praktek shalat sebagai imam di Sidang Tanwir Muhammadiyah. Singkat kata, isu yang mempersoalkan ranah personal-privasi  Jokowi, seperti keagamaan, ibadah  dimanaaftkan untuk kepentinagn kompetisi Pilpres 2014.
Pilpres 9 Juli mendatang dalam potret Amien Rais, seperti baratuyudha  politik. Baratayuda adalah istilah yang popular dalam  budaya Jawa untuk menyebut perang besar di Kuruseta antara   Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.
 
Amien Rais menyebut konstelasi Pilpres mirip dengan baratayuda politik. Dalam pidato politik di Masjid al Azhar Kebayoran Baru  belum lama ini Amien menyatakan bahwa  Pilpres pada 9 Juli mendatang seperti baratayuda politik. Memang Amien Rais sebagai pendukung utama Prabowo tentu akan all out (habis-habisan) untuk membela Prabowo.
 
Posisi deklarator Ciganjur, yang  bermimpi Prabowo akan terpilih  sebagai presiden 9 Juli 2014 mendatang,  ini membelanya.  Amien bahkan memuji sosok  Prabowo yang  resmi diusung 6 parpol koalisi, yakni Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Golkar. Menurutnya,  wajah Prabowo mirip Bung Karno. Gaya pidato Prabowo yang berapi-api pun seperti Bung Karno.  Pujian terhadap Prabowo bisa saja  dipahami sebagai bagian dari upaya membangun personal branding   Prabowo.  Seolah Prabowo mirip dengan Bung Karno.
 
Istilah baratayuda dan perang badar digunakan unuk menilai konstelasi politik saat ini.  Amien pun belum menjelaskan dengan detail tentang Korawa dan Pandawa. Sama halnya, dengan frasa perang badar Amien tidak menjelaskan nabi,  pengikut dan orang-orang yang mesti dibunuh sebagai musuh.  Frasa ‘perang badar’  bagian dari langkah provokatif yang sedang ditempuh oleh Amien Rais untuk meyakinkan publik bahwa  persaingan Jokowi-JK dengan Prabowo Hatta mirip sebuah perang suci Perang Badar.
 
Dalam kamus sejarah, Perang Badar merupakan pertempuran besar pertama umat Islam bersama Nabi Muhammad SAW melawan musuh-musuhnya pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum muslim yang berjumlah 313 orang menghadapi pasukan Quraisy dari Mekah yang jumlahnya 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan muslim bisa menghancurkan barisan Quraisy.
 
Jadi, analogi Prof Amien Rais  tentang konstelasi politik dengan menyebut  perang badar jelas tidak proporsional –tidak tepat  dan  sangat  sentimentil  dengan sengaja untuk memancing suasana konflik—kontra produktif dengan prosesi demokrasi. Karena proses-proses  demokrasi justru adu dan debat ide, gagasan dan konseps-konsep  pembangunan Indonesia  yang dibutuhkan. Sebaliknya, isu negatif  kampanye hitam dan yang bermuatan SARA hanya kan memancing reaksi massa.
 
Skenario Amein Rais dengan menggulirkan isu –isu sentiment keagamaan sebagai langkah awal untuk memastikan jumlah massa mengambang atau massa militan yang bisa digerakan oleh hasutan retorika politik. Memang, diakui  atau tidak umat  Islam sebagai umat mayoritas  secara kuantitatif  tetap akan menjadi magnet besar bagi proses politik dalam sistim pemilu electoral, pemilu langsung. Tarik menarik umat  dari kedua kandidat presiden akan terus berlangsung hingga Pilpres usai.
 
 Janji Amien bahwa 85 persen warga Muhammadiyah akan memilih Prabowo  bukan lah janji yang mudah dicapai. Amien akan mendapat tantangan yang tidak mudah melakukan konsolidasi terhadap tokoh atau pimpinan Muhammadiyah. Dalam tradisi Muhamamdiyah tidak lagi bisa mengarahkan umat  ke salah satu kandidat. Tidak ada tradisi “taklid buta” dalam Muhammdiyah.   Bagaimana Prof ilmu politik ini  bisa mencapai angka target 85 persen, sementara  sikap Muhammadiyah adalah netral terhadap kedua kandidat? Politisi Muhammadiyah menyebebar ke partai-partai  politik, bukan hanya PAN? Jadi, benar apa yang dikatakan  klaim Amien ini dianggap terlalu ekstrem. Amien  sedang melangkah ke titik ekstrim, untuk mendokrak Prabowo, bukan?
 
Catatan  qomaruzaman, tempokini.com
×
Berita Terbaru Update