Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Inilah Beda Kampanye Terbuka di Jepang dan di Indonesia

19 Maret 2014 | 19.3.14 WIB Last Updated 2014-03-20T13:29:09Z
13951384151295669722
Papan kampanye caleg di Jepang, disediakan untuk semua caleg di dapil tersebut. (foto : www.tribunnews.com)

KAMPANYE TERBUKA DI INDONESIA: GENGSI PARPOL DIUKUR DARI ARENA KAMPANYE

Musim kampanye terbuka di Indonesia, seolah ajang pembuktian gengsi partai-partai politik. Gengsi itu diukur dari kemeriahan dan kemegahan panggung kampanye, banyaknya atribut yang mampu membuat lapangan bahkan kota tempat kampanye digelar jadi lautan warna sesuai warna parpol dan membeludaknya peserta kampanye. Kalau perlu, massa didatangkan dari berbagai penjuru bahkan luar kota sekalipun. Yang penting jangan sampai lapangan tempat kampanye tampak sepi, ada ruang kosong yang tersorot kamera televisi. Apa boleh buat, kampanye terbuka di Indonesia ukurannya memang masih sebatas kuantitas. Meski sudah kerap terbukti bahwa jumlah yang hadir ke arena kampanye tak selalu berbanding lurus dengan jumlah pemilih saat pemungutan suara. Sebab elektabilitas suatu partai/tokoh, realisasinya ada di bilik suara, bukan di arena kampanye apalagi di ruang konferensi pers lembaga survei.

Demi gengsi parpol itulah, maka semua parpol akan all out mengerahkan sumber daya dan sumber dana untuk membuat kampanye meriah. Artis yang sedang naik daun disewa, pedangdut wanita yang mahir bergoyang di-booking selama musim kampanye, tokoh-tokoh elite partai yang menduduki jabatan publik dikerahkan turun gunung ke lapangan kampanye, meski taruhannya harus meninggalkan tugas dan kewajibannya sehari-hari. Yang tak kalah prestisius adalah lapangan yang dipilih untuk jadi arena kampanye. Di Jakarta, Gelora Bung Karno Senayan jadi simbol ajang kampanye paling bergengsi. Parpol yang bisa memenuhi stadion GBK seolah jadi jawara kampanye. Di Surabaya, stadion 10 Nopember Tambaksari selalu jadi ajang pembuktian kekuatan parpol di Jawa Timur. Begitu pun di berbagai kota besar lainnya, selalu ada lapangan termegah dan terbesar yang dianggap sebagai aktualisasi kekuatan massa parpol.

Sedihnya, demi memenuhi lapangan agar kampanye tak tampak sepi, massa bayaran pun dikerahkan. Bahkan anak-anak di bawah umur disilakan masuk arena kampanye. Tak jarang mereka masih berusia balita bahkan batita, harus berpanas-panas mendengarkan hiruk-pikuk orasi dan gegap gempita tepuk tangan, serta dentuman musik dari panggung dengan sound system berkekuatan tinggi. Peraturan KPU nomor 15 tahun 2003 pun hanya jadi macan kertas. Bahkan Bawaslu seakan tak berdaya menindak pelanggaran adanya anak-anak di arena kampanye. Pelanggaran yang dilakukan semua parpol, tanpa kecuali.

Kalau alasannya untuk pendidikan politik sejak dini, saya justru khawatir di benak anak-anak itu tertanam pemahaman bahwa kampanye itu identik dengan banyaknya massa yang berkumpul, bertepuk tangan untuk orator di panggung lalu meneriakkan slogan yang sama dan bernyanyi sambil berjoget bersama. Kalau pendidikan politik macam ini yang ditanamkan pada anak sejak dini, saya khawatir sampai berapa dekade ke depan sekalipun, konsep kampanye di Indonesia tak berubah sedari jaman Orla, Orba, Orde Reformasi dan entah orde apa nanti. Jika model kampanye seperti ini yang diajarkan pada anak sejak dini, sulit bagi Indonesia untuk beranjak ke model kampanye cerdas.

1395138471225696560
4 caleg ini mencuri start dengan memasang lebih dulu sebelum tanggal yang dibolehkan (foto : www.tribunnews.com)

KAMPANYE TERBUKA DI JEPANG: TANPA MASSA, ATRIBUT DAN TIM SUKSES

Ketika Perdana Menteri Jepang Jun-ichiro Koizumi membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu pada tahun 2005, saya berkesempatan menyaksikan suasana kampanye di Jepang. Suatu cara kampanye terbuka yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Tanpa pengerahan massa, tanpa panggung dan podium apalagi joget-joget, juga tanpa pembagian atribut partai.

Caleg yang akan berlaga di suatu distrik pemilihan, datang ke tempat berkumpulnya warga. Bagi masyarakat Jepang, tempat paling ramai dan sudah pasti dipadati warga adalah stasiun kereta api. Waktu yang paling ramai adalah rush hour pagi, yaitu pukul 7–9 pagi. Apalagi di prefektur Tokyo yang tiap pagi dan petang jutaan orang lalu lalang memadati stasiun kereta. Sebab pada hari kerja diperkirakan ada 2,5 juta jiwa yang rutin pergi-pulang (kayou, kayoimasu) ke Tokyo dari kota-kota di pinggirannya. Sebaliknya kalau akhir pekan, Tokyo relatif lebih sepi, sehingga kampanye di hari libur nyaris tidak ada. Hari libur akhir pekan adalah hari bersama keluarga. Beda dengan di Indonesia yang hari libur justru dipakai untuk kampanye akbar.

Tak terkecuali di stasiun kereta Oyamadai – stasiun kereta di daerah tempat apartemen saya – di distrik khusus/ward Setagaya (Setagaya-ku, setingkat Kotamadya). Awalnya saya heran melihat seorang lelaki muda yang membawa megaphone bercuap-cuap di dekat pintu masuk stasiun. Hari masih pagi, tapi semua orang berjalan dengan langkah tergesa kecuali saya. Ratusan orang yang hilir mudik bergegas, tak seorang pun tertarik untuk mendengarkan lelaki itu. Meski tak ada yang mendengarkan, dia tetap berorasi dengan intonasi yang tidak berapi-api, tanpa nada meledak-ledak. Sesekali ia mengucap salam pada orang yang lewat di dekatnya.

Saya yang berjalan santai, sejenak memperhatikan pria berpenampilan rapi dengan lembaran kertas di tangan. Melihat saya memperhatikannya, pria itu tersenyum lalu berjalan ke arah saya, menghentikan sejenak ocehannya, mengangguk sambil membungkukkan badan memberi salam. Saya pun membalas salamnya, masih belum tahu apa yang dilakukannya, sampai ia menyodorkan selembar kertas yang dilipat dua, mirip lembaran buletin Jumat yang lumrah dibagikan di beberapa masjid di Indonesia. Sekilas melirik “brosur” itu, tahulah saya kalau dia seorang caleg yang sedang berkampanye.

13951386871077114124
Di stasiun kecil Oyamadai yang hanya dilewati satu rute kereta inilah saya sering melihat caleg berkampanye (foto : www.commons.wikimedia.org)

Sejak hari itu, saya terbiasa melihatnya berdiri di dekat pintu masuk stasiun, hanya ditemani sebuah megaphone dan sebuah kardus tempatnya meletakkan brosur dan segala keperluannya. Tidak setiap hari memang, mungkin 2 kali seminggu. Sebuah kain dililitkan di badannya, mirip selempang ajang kontes putri-putrian. Mungkin itu bertuliskan nama atau identitas pencalegannya. Lengannya juga dililit seutas kain, sepertinya lambang parpolnya. Semua serbasederhana, tak ada atribut meriah yang didesain khusus. Si caleg mempromosikan program kerja dan agenda politiknya. Soal siapa dirinya, sudah dituliskan lengkap di brosur yang dibagikan pada orang yang tampak tertarik menyimak. Kalau orang tak tertarik, dia tak akan memberikan brosur itu. Isi brosurnya tentang curriculum vitae si caleg, pengalaman organisasinya, pencapaian yang pernah diraihnya, serta visi dan misinya. Pria muda yang berkampanye di dekat pintu masuk stasiun Oyamadai itu masih berumur 32 tahun, caleg dari partainya Koizumi, LDP. Untuk mendukung program reformasinya, LDP saat itu mengangkat caleg-caleg wajah baru yang diisi orang-orang muda.

Selain caleg pria itu, sekali waktu ketika saya pulang lebih awal dan masih agak sore tiba di Oyamadai, saya melihat caleg lain. Wanita yang saya taksir usianya pertengahan 40-an tahun itu berdiri di tepi jalan di seberang supermarket. Sore menjelang petang sepanjang jalanan Happy Road Oyamadai itu memang cukup ramai kaum ibu yang berjalan-jalan bersama anak mereka, wanita pekerja yang pulang kerja sambil mampir berbelanja, wanita paruh baya yang berjalan-jalan bersama anjing mereka, toko roti yang dipenuhi pembeli atau pedagang buah kaki lima. Mungkin caleg wanita itu memang membidik pemilih wanita. Dia cuap-cuap di tepi trotoar ditemani 1-2 relawan yang menyapa pejalan kaki dan menawarkan brosur caleg pada yang mau menerimanya. Sama seperti caleg pria yang berkampanye di stasiun, caleg wanita dan relawannya inipun tak memakai atribut kampanye khusus. Hanya kain dililitkan di lengan.

1395138806304065805
Di sepanjang jalan ini kadang sore hari jadi tempat caleg berkampanye (foto : www.flickr.com)

Kali lain, saya bertemu dengan sebuah mobil yang berjalan pelan, di atas kapnya ada pengeras suara. Mobil wagon itu diselubungi sebuah spanduk kecil. Beberapa orang didalamnya mengenakan selempang dan kain di lengan. Saya langsung “ngeh” ini rombongan kampanye. Saya dan 2 teman melihat dari seberang jalan. Mereka melambai-lambaikan tangan menyapa kami. Pelantang di kap mobil menyuarakan orasi caleg yang duduk di dalam mobil. Hanya satu rombongan kecil itu saja, sebuah mobil wagon, tanpa disertai iring-iringan apalagi konvoi kendaraan.

Suasana jalanan dan perumahan juga tidak dikotori spanduk, baliho, poster dan stiker yang dipasang di mana-mana. Di Jepang, papan kampanye hanya dipasang di beberapa sudut kota yang sudah ditentukan. Satu papan besar terbuat dari tripleks ditempeli beberapa poster caleg. Periode pemasangannya juga sudah ditentukan dari tanggal sekian sampai tanggal sekian, tidak boleh ada yang mencuri start. Sebenarnya, peraturan KPU nomor 15/2013 juga mengatur hal seperti ini. Di situ diatur yang berhak memasang spanduk bukan caleg, tetapi partai politik. Di satu wilayah/zonasi tertentu (misalnya di tiap kelurahan) setiap partai politik hanya diberi jatah memasang 1 spanduk berisi seluruh calegnya di dapil tersebut. Sehingga pemasangan spanduk terkendali, tidak mengotori tembok dan jalanan, tiang listrik, pepohonan dan fasilitas umum lainnya. Kalau saja hal ini dipatuhi, setiap kelurahan hanya akan ada 12 spanduk parpol yang masing-masing berisi semua calegnya.

=====================================

Begitulah model kampanye di Jepang. Irit biaya, tak perlu sewa lapangan dan membangun panggung, tak perlu mengerahkan massa apalagi menyewa massa bayaran, tak perlu memasang aneka atribut dan umbul-umbul serta ribuan bendera. Caleg hanya perlu berorasi tentang program kerja dan kebijakan politik yang ditawarkan untuk distrik tersebut. Kalau orang tertarik, bisa mendekat dan berdialog langsung dengan sang caleg. Setiap caleg harus percaya diri menyampaikan apa yang akan jadi agenda perjuangannya jika terpilih.

1395138879307088019
Gerbang Happy Road Oyamadai (foto : www.interwhao.co.jp)

Bukan seperti di Indonesia, tokoh-tokoh nasional atau pejabat publik (menteri dan kepala daerah) didaulat untuk jadi jurkam. Semakin populer seorang tokoh, diharapkan mampu memancing hadirnya massa ke arena kampanye. Bahkan seorang ketua umum parpol pun terpaksa harus berkeliling Indonesia sebagai jurkamnas, karena caleg-caleg yang ada belum tentu mampu mengkomunikasikan program kerja partainya. Orasi pun tak lebih dari ajakan untuk memilih atau meneriakkan slogan partai. Tak terjadi komunikasi dialogis antara caleg dengan calon pemilih. Bahkan kini politik transaksional makin menjadi. Belajar dari partai politik yang mentransaksikan suara pemilihnya menjadi jatah kursi di pemerintahan atau jatah proyek, kini rakyat pun semakin pintar memalak para caleg. Kalau diajak memilih, pertanyaan populer akhir-akhir ini : “NPWP?!” (Nomer Piro Wani Piro = nomor berapa berani berapa). Sungguh miris, karena demokrasi telah melenceng menjadi democrazy

Kapan ya kampanye di Indonesia bisa bertransformasi jadi kampanye yang cerdas dan mencerdaskan?

Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update