
Papan kampanye caleg di Jepang, disediakan untuk semua caleg di dapil tersebut. (foto : www.tribunnews.com)
KAMPANYE TERBUKA DI INDONESIA: GENGSI PARPOL DIUKUR DARI ARENA KAMPANYE
Musim kampanye terbuka di Indonesia, seolah ajang
pembuktian gengsi partai-partai politik. Gengsi itu diukur dari
kemeriahan dan kemegahan panggung kampanye, banyaknya atribut yang mampu
membuat lapangan bahkan kota tempat kampanye digelar jadi lautan warna
sesuai warna parpol dan membeludaknya peserta kampanye. Kalau perlu,
massa didatangkan dari berbagai penjuru bahkan luar kota sekalipun. Yang
penting jangan sampai lapangan tempat kampanye tampak sepi, ada ruang
kosong yang tersorot kamera televisi. Apa boleh buat, kampanye terbuka di Indonesia ukurannya memang masih sebatas kuantitas. Meski sudah kerap terbukti bahwa jumlah yang hadir ke arena kampanye tak selalu berbanding lurus dengan jumlah pemilih saat pemungutan suara. Sebab elektabilitas
suatu partai/tokoh, realisasinya ada di bilik suara, bukan di arena
kampanye apalagi di ruang konferensi pers lembaga survei.
Demi gengsi parpol itulah, maka semua parpol akan all out
mengerahkan sumber daya dan sumber dana untuk membuat kampanye meriah.
Artis yang sedang naik daun disewa, pedangdut wanita yang mahir
bergoyang di-booking selama musim kampanye, tokoh-tokoh elite
partai yang menduduki jabatan publik dikerahkan turun gunung ke lapangan
kampanye, meski taruhannya harus meninggalkan tugas dan kewajibannya
sehari-hari. Yang tak kalah prestisius adalah lapangan yang dipilih
untuk jadi arena kampanye. Di Jakarta, Gelora Bung Karno Senayan jadi
simbol ajang kampanye paling bergengsi. Parpol yang bisa memenuhi
stadion GBK seolah jadi jawara kampanye. Di Surabaya, stadion 10
Nopember Tambaksari selalu jadi ajang pembuktian kekuatan parpol di Jawa
Timur. Begitu pun di berbagai kota besar lainnya, selalu ada lapangan
termegah dan terbesar yang dianggap sebagai aktualisasi kekuatan massa
parpol.
Sedihnya, demi memenuhi lapangan agar kampanye
tak tampak sepi, massa bayaran pun dikerahkan. Bahkan anak-anak di bawah
umur disilakan masuk arena kampanye. Tak jarang mereka masih berusia
balita bahkan batita, harus berpanas-panas mendengarkan hiruk-pikuk
orasi dan gegap gempita tepuk tangan, serta dentuman musik dari panggung
dengan sound system berkekuatan tinggi. Peraturan KPU nomor 15
tahun 2003 pun hanya jadi macan kertas. Bahkan Bawaslu seakan tak
berdaya menindak pelanggaran adanya anak-anak di arena kampanye.
Pelanggaran yang dilakukan semua parpol, tanpa kecuali.
Kalau alasannya untuk pendidikan politik sejak
dini, saya justru khawatir di benak anak-anak itu tertanam pemahaman
bahwa kampanye itu identik dengan banyaknya massa yang berkumpul,
bertepuk tangan untuk orator di panggung lalu meneriakkan slogan yang
sama dan bernyanyi sambil berjoget bersama. Kalau pendidikan politik
macam ini yang ditanamkan pada anak sejak dini, saya khawatir sampai
berapa dekade ke depan sekalipun, konsep kampanye di Indonesia tak
berubah sedari jaman Orla, Orba, Orde Reformasi dan entah orde apa
nanti. Jika model kampanye seperti ini yang diajarkan pada anak sejak
dini, sulit bagi Indonesia untuk beranjak ke model kampanye cerdas.

4 caleg ini mencuri start dengan memasang lebih dulu sebelum tanggal yang dibolehkan (foto : www.tribunnews.com)
KAMPANYE TERBUKA DI JEPANG: TANPA MASSA, ATRIBUT DAN TIM SUKSES
Ketika Perdana Menteri Jepang Jun-ichiro Koizumi
membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu pada tahun 2005, saya
berkesempatan menyaksikan suasana kampanye di Jepang. Suatu cara
kampanye terbuka yang jauh berbeda dengan di Indonesia. Tanpa pengerahan
massa, tanpa panggung dan podium apalagi joget-joget, juga tanpa
pembagian atribut partai.
Caleg yang akan berlaga di suatu distrik
pemilihan, datang ke tempat berkumpulnya warga. Bagi masyarakat Jepang,
tempat paling ramai dan sudah pasti dipadati warga adalah stasiun kereta
api. Waktu yang paling ramai adalah rush hour pagi, yaitu
pukul 7–9 pagi. Apalagi di prefektur Tokyo yang tiap pagi dan petang
jutaan orang lalu lalang memadati stasiun kereta. Sebab pada hari kerja
diperkirakan ada 2,5 juta jiwa yang rutin pergi-pulang (kayou, kayoimasu)
ke Tokyo dari kota-kota di pinggirannya. Sebaliknya kalau akhir pekan,
Tokyo relatif lebih sepi, sehingga kampanye di hari libur nyaris tidak
ada. Hari libur akhir pekan adalah hari bersama keluarga. Beda dengan di
Indonesia yang hari libur justru dipakai untuk kampanye akbar.
Tak terkecuali di stasiun kereta Oyamadai – stasiun kereta di daerah tempat apartemen saya – di distrik khusus/ward Setagaya (Setagaya-ku, setingkat Kotamadya). Awalnya saya heran melihat seorang lelaki muda yang membawa megaphone bercuap-cuap
di dekat pintu masuk stasiun. Hari masih pagi, tapi semua orang
berjalan dengan langkah tergesa kecuali saya. Ratusan orang yang hilir
mudik bergegas, tak seorang pun tertarik untuk mendengarkan lelaki itu.
Meski tak ada yang mendengarkan, dia tetap berorasi dengan intonasi yang
tidak berapi-api, tanpa nada meledak-ledak. Sesekali ia mengucap salam
pada orang yang lewat di dekatnya.
Saya yang berjalan santai, sejenak
memperhatikan pria berpenampilan rapi dengan lembaran kertas di tangan.
Melihat saya memperhatikannya, pria itu tersenyum lalu berjalan ke arah
saya, menghentikan sejenak ocehannya, mengangguk sambil membungkukkan
badan memberi salam. Saya pun membalas salamnya, masih belum tahu apa
yang dilakukannya, sampai ia menyodorkan selembar kertas yang dilipat
dua, mirip lembaran buletin Jumat yang lumrah dibagikan di beberapa
masjid di Indonesia. Sekilas melirik “brosur” itu, tahulah saya kalau
dia seorang caleg yang sedang berkampanye.

Di stasiun kecil Oyamadai yang hanya dilewati
satu rute kereta inilah saya sering melihat caleg berkampanye (foto :
www.commons.wikimedia.org)
Sejak hari itu, saya terbiasa melihatnya berdiri di dekat pintu masuk stasiun, hanya ditemani sebuah megaphone
dan sebuah kardus tempatnya meletakkan brosur dan segala keperluannya.
Tidak setiap hari memang, mungkin 2 kali seminggu. Sebuah kain
dililitkan di badannya, mirip selempang ajang kontes putri-putrian.
Mungkin itu bertuliskan nama atau identitas pencalegannya. Lengannya
juga dililit seutas kain, sepertinya lambang parpolnya. Semua
serbasederhana, tak ada atribut meriah yang didesain khusus. Si caleg
mempromosikan program kerja dan agenda politiknya. Soal siapa dirinya,
sudah dituliskan lengkap di brosur yang dibagikan pada orang yang tampak
tertarik menyimak. Kalau orang tak tertarik, dia tak akan memberikan
brosur itu. Isi brosurnya tentang curriculum vitae si caleg,
pengalaman organisasinya, pencapaian yang pernah diraihnya, serta visi
dan misinya. Pria muda yang berkampanye di dekat pintu masuk stasiun
Oyamadai itu masih berumur 32 tahun, caleg dari partainya Koizumi, LDP.
Untuk mendukung program reformasinya, LDP saat itu mengangkat
caleg-caleg wajah baru yang diisi orang-orang muda.
Selain caleg pria itu, sekali waktu ketika saya
pulang lebih awal dan masih agak sore tiba di Oyamadai, saya melihat
caleg lain. Wanita yang saya taksir usianya pertengahan 40-an tahun itu
berdiri di tepi jalan di seberang supermarket. Sore menjelang petang
sepanjang jalanan Happy Road Oyamadai itu memang cukup ramai
kaum ibu yang berjalan-jalan bersama anak mereka, wanita pekerja yang
pulang kerja sambil mampir berbelanja, wanita paruh baya yang
berjalan-jalan bersama anjing mereka, toko roti yang dipenuhi pembeli
atau pedagang buah kaki lima. Mungkin caleg wanita itu memang membidik
pemilih wanita. Dia cuap-cuap di tepi trotoar ditemani 1-2
relawan yang menyapa pejalan kaki dan menawarkan brosur caleg pada yang
mau menerimanya. Sama seperti caleg pria yang berkampanye di stasiun,
caleg wanita dan relawannya inipun tak memakai atribut kampanye khusus.
Hanya kain dililitkan di lengan.

Di sepanjang jalan ini kadang sore hari jadi tempat caleg berkampanye (foto : www.flickr.com)
Kali lain, saya bertemu dengan sebuah mobil yang berjalan pelan, di atas kapnya ada pengeras suara. Mobil wagon itu diselubungi sebuah spanduk kecil. Beberapa orang didalamnya mengenakan selempang dan kain di lengan. Saya langsung “ngeh”
ini rombongan kampanye. Saya dan 2 teman melihat dari seberang jalan.
Mereka melambai-lambaikan tangan menyapa kami. Pelantang di kap mobil
menyuarakan orasi caleg yang duduk di dalam mobil. Hanya satu rombongan
kecil itu saja, sebuah mobil wagon, tanpa disertai iring-iringan apalagi
konvoi kendaraan.
Suasana jalanan dan perumahan juga tidak
dikotori spanduk, baliho, poster dan stiker yang dipasang di mana-mana.
Di Jepang, papan kampanye hanya dipasang di beberapa sudut kota yang
sudah ditentukan. Satu papan besar terbuat dari tripleks ditempeli
beberapa poster caleg. Periode pemasangannya juga sudah ditentukan dari
tanggal sekian sampai tanggal sekian, tidak boleh ada yang mencuri
start. Sebenarnya, peraturan KPU nomor 15/2013 juga mengatur hal seperti
ini. Di situ diatur yang berhak memasang spanduk bukan caleg, tetapi
partai politik. Di satu wilayah/zonasi tertentu (misalnya di tiap
kelurahan) setiap partai politik hanya diberi jatah memasang 1 spanduk
berisi seluruh calegnya di dapil tersebut. Sehingga pemasangan spanduk
terkendali, tidak mengotori tembok dan jalanan, tiang listrik, pepohonan
dan fasilitas umum lainnya. Kalau saja hal ini dipatuhi, setiap
kelurahan hanya akan ada 12 spanduk parpol yang masing-masing berisi
semua calegnya.
=====================================
Begitulah model kampanye di Jepang. Irit biaya,
tak perlu sewa lapangan dan membangun panggung, tak perlu mengerahkan
massa apalagi menyewa massa bayaran, tak perlu memasang aneka atribut
dan umbul-umbul serta ribuan bendera. Caleg hanya perlu berorasi tentang
program kerja dan kebijakan politik yang ditawarkan untuk distrik
tersebut. Kalau orang tertarik, bisa mendekat dan berdialog langsung
dengan sang caleg. Setiap caleg harus percaya diri menyampaikan apa yang
akan jadi agenda perjuangannya jika terpilih.

Gerbang Happy Road Oyamadai (foto : www.interwhao.co.jp)
Bukan seperti di Indonesia, tokoh-tokoh nasional
atau pejabat publik (menteri dan kepala daerah) didaulat untuk jadi
jurkam. Semakin populer seorang tokoh, diharapkan mampu memancing
hadirnya massa ke arena kampanye. Bahkan seorang ketua umum parpol pun
terpaksa harus berkeliling Indonesia sebagai jurkamnas, karena
caleg-caleg yang ada belum tentu mampu mengkomunikasikan program kerja
partainya. Orasi pun tak lebih dari ajakan untuk memilih atau
meneriakkan slogan partai. Tak terjadi komunikasi dialogis antara caleg
dengan calon pemilih. Bahkan kini politik transaksional makin menjadi.
Belajar dari partai politik yang mentransaksikan suara pemilihnya
menjadi jatah kursi di pemerintahan atau jatah proyek, kini rakyat pun
semakin pintar memalak para caleg. Kalau diajak memilih, pertanyaan
populer akhir-akhir ini : “NPWP?!” (Nomer Piro Wani Piro = nomor berapa berani berapa). Sungguh miris, karena demokrasi telah melenceng menjadi democrazy.
Kapan ya kampanye di Indonesia bisa bertransformasi jadi kampanye yang cerdas dan mencerdaskan?
Ira Oemar