Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Sedikit Diskusi tentang UU Desa

20 Maret 2014 | 20.3.14 WIB Last Updated 2014-03-21T14:12:57Z




Presiden Republik Indonesia sudah menandatangani pengesahan Undang-Undang (UU) nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sempat ada gejolak di Sumatera Barat ketika UU ini disusun, bahkan setelah disahkan. UU ini dianggap bertabrakan dengan prinsip “kembali ke nagari” yang ada di Sumatera Barat. Padahal, kalau UU Nomor 6 tahun 2014 ini dibaca dengan baik, masalah itu sudah teratasi. Sebab, desa dalam pengertian UU ini adalah desa atau desa adat atau yang disebut dengan nama lain. Artinya, nagari tetap mendapatkan tempat untuk hidup dan berkembang, sesuai dengan asal usulnya. 

Nagari adalah bagian dari desa adat atau bisa jadi dijadikan sebagai desa resmi. 

Nagari mendapatkan keistimewaan dalam UUD 1945, karena tercantum dalam bagian penjelasan. Hanya saja, sejak UUD 1945 diamandemen, bagian penjelasan itu dihapuskan. Nama nagari tidak ada lagi dalam naskah penjelasan. Di dalam bagian penjelasan UU Desa ini, nama nagari kembali masuk. Nagari memang menjadi kajian yang menarik dari sisi hukum, organisasi, sampai perangkatnya. Banyak buku yang ditulis menyangkut nagari ini, baik buku ilmiah yang ditulis di bangku perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, maupun buku yang bersifat roman, tambo ataupun kisah. 

Masalahnya, apa strategi yang tepat bagi Sumatera Barat dalam menghadapi UU Desa ini? Bagaimanapun, sebagai UU, tentulah wajib dilaksanakan. Secara hukum UU berlaku pada saat ditetapkan. UU juga dianggap sudah diketahui dengan sendirinya oleh seluruh warga negara, ketika dimasukkan ke dalam Lembaran Negara. Sosialisasi yang intensif diperlukan di seluruh Sumbar, agar UU Desa ini bisa dilaksanakan tepat waktu, tanpa ada pertanyaan yang mengganjal. 

Bab XV Ketentuan Peralihan dalam UU Desa menyebutkan bahwa pemerintah daerah (kabupaten atau kota) menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya paling lama satu tahun sejak tanggal 15 Januari 2014. Artinya, desa dan desa adat itu sudah menjadi Perda sebelum tanggal 15 Januari 2015 nanti. Lalu, paling lama tanggal 15 Januari 2016 (dua tahun lagi), pemerintah daerah bersama pemerintah desa melakukan inventarisasi aset-aset desa. Di luar itu, Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU ini juga paling lambat disahkan dua tahun lagi. 

Yang juga menarik, pemilihan kepala desa (termasuk kepala desa adat), dilakukan serentak di wilayah kabupaten atau kota. Tentunya pemilihan itu dilakukan setelah seluruh masa jabatan kepala desa (wali nagari) sekarang selesai. Artinya akan ada masalah di kemudian hari, yakni kepala desa atau wali nagari yang dipilih setelah UU ini disahkan. Akan terjadi kekosongan dalam jabatan kepala desa atau wali nagari, menunggu pelaksanaan pemilihan kepala desa atau wali nagari yang serentak itu. Untuk itu, Peraturan Pemerintah perlu memberi ketegasan, agar jangan sampai ada kepala desa yang terlalu singkat masa jabatannya atau terlalu lama lowong. 

*** 

Pemerintah Sumatera Barat perlu memberikan tolok ukur yang tepat dan pasti, guna mengantisipasi pelaksanaan UU Desa ini. Apalagi kalau itu menyangkut keuangan desa. Diskusi perlu digelar, apakah model desa atau nagari lebih merugikan atau menguntungkan, dari sisi penerimaan keuangan. Sekalipun tidak ada penghapusan sama sekali terhadap nagari dan seluruh perangkatnya, tetap saja memicu masalah, apabila negara memberikan dana desa secara seragam. Jauh lebih banyak uang yang diterima, apabila desa lebih banyak, daripada lebih sedikit. 

Apalagi UU ini juga mengatur soal pembentukan atau penghapusan atau penggabungan desa. Apakah tepat pembentukan itu dengan cara memecah nagari menjadi beberapa nagari, atau menjadikan jorong sebagai desa dengan tetap mempertahankan nagari? Dalam soal penggabungan, apakah yang digabungkan adalah desa-desa resmi menjadi nagari di perkotaan, ataukah menghilangkan sama sekali jejak nagari di perkotaan? Upaya mendiskusikan hal ini memerlukan pemikiran yang serius, sebelum UU ini menjadi persoalan di kemudian hari. 

UU ini juga membolehkan perubahan desa menjadi kelurahan, ataupun sebaliknya. Desa dan kelurahan juga bisa diubah menjadi desa adat, atau sebaliknya. Yang paling utama adalah kesepakatan seluruh perangkat desa, lewat musyawarah. UU ini juga mengatur adanya semacam parlemen desa, terdiri dari 5 sampai 9 orang, tergantung dari jumlah penduduk dan perwakilan wilayah. Parlemen desa itu disebut sebagai Badan Permusyawaratan Desa. Proses pemilihannya hanya disebut “demokratis”, bisa lewat pemilihan langsung, bisa secara musyawarah. 

Apabila desa sebelumnya menjadi kumpulan dari sejumlah jorong atau korong, bisa jadi wakil-wakil dari Badan Permusyawaratan Desa berasal dari wali korong atau wali jorong yang bersangkutan. Jejak lamanya masih bisa dilacak. Namun, bagi desa yang sudah diisi oleh penduduk dari luar, termasuk kalangan transmigran, bisa jadi perwakilannya bersifat perkumpulan etnis yang berkepentingan dengan desa tersebut. Beberapa daerah di Sumbar sama sekali sudah dihuni oleh etnis non-Minang, sebagai bentuk dari keindonesiaan. Jangan sampai justru parlemen desa ini menjadi ajang perselisihan, hanya akibat diisi oleh kalangan yang merasa mayoritas saja.

*** 

Persiapan yang baik adalah setengah dari langkah menuju keberhasilan. Apalagi kalau keberhasilan itu guna kepentingan Sumatera Barat sebagai bagian dari Republik Indonesia yang diakui kekhasan sistem pemerintahannya sejak Indonesia merdeka. Tentu bukan langkah yang elok, apabila sistem bernagari dihilangkan. Sebaliknya, akan merugikan dari sisi apapun – termasuk sumber keuangan -- ketika sistem yang berdasarkan undang-undang juga ditolak dengan alasan adat-istiadat semata. Bagaimanapun, negara bekerja dalam sebuah sistem yang mengandung keseragaman, sekaligus juga tanpa menghilangkan keberagaman. 

Belum lagi sejumlah pelatihan yang harus dijalankan, untuk menyambut pemberlakuan UU ini. Manajemen keuangan desa adalah bagian terpenting dari pelatihan itu. Banyak anggapan yang negatif, betapa masyarakat desa tidak atau belum memahami masalah keuangan. Penggelontoran uang dalam jumlah banyak bisa melahirkan tersangka-tersangka penyelewengan keuangan desa di masa datang. Anggapan itu penting diantisipasi melalui pelatihan. Kalau perlu, anggota masyarakat yang potensial menjadi pimpinan lembaga-lembaga desa dilibatkan secara penuh.

Desa akan menjadi satuan terkecil dari proses pemerintahan. Walau tidak dalam status sebagai pegawai negeri sipil, desa memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Sumber-sumber pendapatannya bisa dari mana saja. Yang jelas, keuangan itu akan diaudit secara berkala, apabila sumber keuangannya berasal dari negara atau pungutan resmi lainnya. Dari sini, pimpinan lembaga desa benar-benar menempati posisi sebagai pihak yang sudah dianggap memiliki kemampuan dalam manajemen keuangan. 

Tenaga-tenaga perbantuan tentu bisa juga dibentuk, guna meningkatkan kapasitas para pimpinan desa. Para mahasiswa atau sarjana yang ada di desa bersangkutan, misalnya, bisa dilibatkan sebagai tenaga sukarela. Bisa saja mereka mendapatkan bantuan dari para dermawan, tetapi jangan dalam bentuk gaji. Sifatnya hanya mendorong agar kelembagaan baru yang ada dalam UU bisa berjalan. Kualitas para penyelenggara pemerintahan desa juga meningkat, jangan sampai malah mendorong kepada praktek-praktek yang menjerumuskan mereka. 

Kita tentu berharap, masalah ini dipertimbangkan dan diperbincangkan secara luas oleh para pemangku kepentingan di Sumatera Barat. Jangan sampai berlaku adagium yang selama ini berlaku: musajik nan dibuek, gereja nan salasai. Lain yang dituju, lain yang dihasilkan. 

Catatan Indra J Piliang
×
Berita Terbaru Update