Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Cerpen: Rumah Seribu Pintu

25 Maret 2014 | 25.3.14 WIB Last Updated 2014-03-25T14:58:06Z




(Dalam film Titanic, pemeran Rose Calvert tua –Gloria Stuart — mengatakan: "Hati perempuan memiliki seribu pintu.." Lalu dia membuang the heart of the Ocean, kalung berlian berwarna biru, ke laut..)

RUMAH itu berpintu seribu, tertutup rapat oleh semak-semak. Berbenteng batu-batu karang dan balok-balok kayu. Tidak ada yang tahu, pada pintu mana orang-orang bisa masuk kedalamnya. Semakin keras ia diketuk, semakin hening suara didalam. 

Tapi, masing-masing pintu akan membuka sendiri, kalau rumah itu ingin ada orang yang masuk. Namun, juga tidak ada yang bisa menebak, pada musim apa pintu-pintu itu membuka sendiri. Pernah ada yang menanti setiap musim kura-kura betina bergegas mencari liang di pekarangan yang penuh pasir itu, lalu menimbun telor-telornya. Tetap saja pintu-pintu itu tak bersuara. 

Konon, ada seorang putri di dalam rumah itu. Putri yang dibuang. Bukan oleh silsilah dan tali darah, tetapi oleh sikapnya sendiri. 

Bagi yang pernah tahu, putri itu sembunyi berpedoman mimpi. Putri yang percaya pada rasi bintang, meteor jatuh dan ekor komet di malam-malam buta. 

*** 

SIANG itu guntur dan halilintar membelah langit. Padahal masih di bulan April. Pohon-pohon tumbang. Halimun bergerak, menyambar dan mencabut apa saja yang dilalui. Sudah lama halimun itu tidak datang. 

Kalau ia hadir, satu pertemuan sedang disiapkan, tanpa perjamuan. 

Binatang-binatang terliar dan terbinalpun takut pada halimun itu. Mereka bersembunyi pada liang-liang. Yang tergelap. Yang terdalam. Menyuruk bersama pasangan masing-masing.

Pada horison yang jauh, seorang kelana berjalan sendirian. Ia sedang mencari kudanya, berteman seekor rajawali. Mendung bergayut. Awan menggigil. Langit beku. 


“Tuan, masuklah. Selamilah. Datanglah.” 

Sang kelana mendengar panggilan yang berbisik. Tidak ada siapa-siapa. Ia menatap pada rumah itu, ketika satu pintu terbuka. Wangi kesturi menyeruak, menghapus segala lelah.

Sang kelana tertegun. Rajawali hinggap di bahunya. Ia tak siap untuk duduk dan berdiam diri. Langkahnya selalu ditaburi beling dan beliung, hingga ia harus berjalan tergesa untuk menghindari goresan. 


“Tuan, masuklah. Ada secangkir teh dan buah kiwi. Tuan pasti letih.” 

Suara itu lagi. Sang kelana menyerah. Ia melangkah, hati-hati. Pikirannya berkecamuk dan kacau. Tanpa kuda, bagaimana bisa ia meneruskan perjalanan? Tapi ia percaya, suara-suara itu datang dari lubuk hati. Ia tak kuasa menolak. 

Dalam ruang di balik pintu, ia lihat putri itu. Serasa beribu tahun ia pernah mengenalnya. Ia tak tahu pasti, bagaimana bisa putri itu ada, tiba-tiba, tanpa ia sadari. 

Alis mata putri itu menatapnya. Anggun. Tidak ada kesan jumawa. Alis itu berbaris rapi di atas matanya, meruncing kearah pinggir. Alis mata yang siap menikam jantung lelaki yang serakah.
Sang kelana tidak tahu harus berkata apa. Di perjalanan, ia memang mengumpulkan banyak kata. Namun, kali ini, kata-kata itu juga beku. Ia sering bertemu ratu dan raja, tetapi tidak tatapan seorang putri. Pikirannya tumpul. Tenggorokannya mati. 

Ia nyalakan rokoknya, tanpa minta izin. Rokok yang terbuat dari daun enau dan tembakau hutan itu menyiramkan bau asri. Membawa setiap orang yang menciumnya berilusinasi. 

“Tuan sedang mencari kuda tuan, bukan?” 

Putri itu tahu akan segala. Sang kelana hanya diam. Ia merasa tercekik. Ia seperti diawasi.
Tapi, ia juga tak bisa berdusta, sejak pertama. Suara yang keluar dari bibir ranum itu membuatnya percaya. 

Lelaki itu bersuara setengah berbisik. Dikeluarkannya segala sedak di kerongkongan. Dihamparkannya semua kisah tentang dirinya, serta perjalanannya. Diletakkannya semua kisah itu di atas meja. Ia ingin, putri itu akan membaca kembali kisah-kisah itu, tanpa ia harus menjelaskan berkali-kali. Sebuah kisah, sebagaimana selembar kitab, tidak perlu harus dikawal kedalam pikiran dan hati orang-orang. 

“Rajawali itu dulu hanya telur yang menetas tanpa induk. Ia ditemukan oleh kudaku pada liang seekor ular. Kudaku meringkik kencang, hingga ular itu tak berani mendesis. Racunnya tertelan sendiri. Aku membawanya, sampai kini,” ujar sang kelana. 

Rajawali yang ia tunjuk mengibaskan kedua sayap dekat perapian. Seakan setuju. 

“Tuan butuh teh lagi, kan?” 

Tanpa menunggu, sang putri mengambil cangkir teh, bertepatan dengan lelaki itu. Kelana merasa malu. Ia tak ingin dilayani dengan cara teramat terhormat itu. 

Aliran listrik terpancar, ketika kedua tangan itu saling menyentuh. Lelaki itu tersengat. Ada nyala api memancar membakar kekelaman. Sang putri tidak menunjukkan reaksi. Meski, lama ia tak pernah disentuh oleh lelaki. 

Mereka bertatapan. Senyum simpul tertukar. Hawa hangat saling tindih. Kehampaan hilang. Ada ruang yang terisi. 

“Mari kita cari kudamu..” 

Putri itu tidak lagi memanggilnya tuan. Ia senang. Itu nada perintah yang sangat halus.
Kelana berdiri. Ia buka satu pintu. Rajawali langsung mendahului. Kelana terpana, ketika pintu yang dibuka tidak menyingkap semak belukar, batu karang, lereng terjal dan debur ombak. Yang tampak adalah jalanan ramai sebuah kota. Sungguh, Kelana itu takut pada kota. Ia terlalu lama hidup dengan kesunyian, desir angin, gemericik air dan desau ombak. 


“Kelana, tunggu…” 

Putri meraih pundak lelaki itu. Kelana menurunkan tangan itu, lalu menggenggamnya.
Hampir saja sang Putri terjatuh, ketika sebutir kerikil terinjak kakinya. Kelana yang siap meraih pinggang sang putri menjadi serba salah, ketika putri bangkit dan berjalan teratur menuju jalanan.

Tak mereka sadari, cincin yang melingkari jari manis Putri menggelinding, masuk ke selokan, ketika hampir terjatuh itu. Keduanya hanya mendengar nyaring suara hati masing-masing.

Kelana melangkah seperti terseret. Mukanya tersipu. Matanya nanar melihat sekeliling. Ia sadar, lelaki dusun seperti dirinya terlalu mudah dikenali di kota yang penuh rasa ingin tahu ini. 


*** 

MEREKA menghentikan sebuah bendi. Ada kusir dan kuda, tetapi bukan kudanya. Berdua mereka duduk di bangku belakang. Rajawali bertengger pada terpal kusam di atas kepala keduanya. 

“Kelilingi kota ini, Pak. Datangi semua kuda!” 

Putri itu memang putri. Nada bicaranya adalah titah. 

Mendung yang menggantung menumpahkan isi. Air hujan datang seperti menari. Tempias masuk, menyentuh kulit bening sang putri dan jubah kumal sang kelana. Rajawali juga berteduh di sebelah sang kusir. 

Hujan pada sore itu memaksa keduanya saling merapat. Seperti aur dengan tebing, keduanya saling bersandar. Ketika minyak bertemu sumbu, ketika mesiu berjumpa api, udara meledak. Terang datang di dalam bendi itu. 

Mereka berpagutan. 

Berjam-jam, berhari-hari dan berminggu-minggu, bendi itu berputar pada seluruh pelosok kota. Tanpa putus asa. Tapi, kuda itu tetap tidak menunjukkan derapnya.  

“Pak, kembali!” 

Bendi itu memutar ke rumah seribu pintu. Putri menuntun Kelana pada pintu berwarna merah. 

“Aku suka warna merah,” ujar Putri. 

Kelana terperanjat. Ia ingat masa lalunya. Semua warna baginya merah. Kitab yang ia bawa dan pelajari juga berwarna merah. Merahnya merah. Kini, ia berbaju hitam. Sejak terang hilang di bumi ini, Kelana menghindari warna merah. 

“Hitam menyerap cahaya. Merah membakar jiwa,” gumam Kelana, nyaris tak terdengar.
Di balik pintu itu, Putri menyajikan lagi buah kiwi dan secangkir teh. Sekuntum mawar merah terhidang pada sebuah wadah berisi air bening. Kelana melepaskan jubah hitamnya. Ia mencuci muka. Air hujan selalu mengandung belerang, sejak gunung-gunung meletus dan lanun tsunami membawa jelaga di negeri ini. 

“Istirahatlah. Kisahkan lagi kisah-kisahmu,” ujar Putri, sambil mengelap muka Kelana dengan handuk hangat. Bunyi tetesan hujan melentingkan nada biola dengan dawai angin. Mereka berpelukan. 

Kelana tahu, Putri butuh kisah-kisah itu. Tentang kepedihan seorang pengembara. Tentang lelaki yang merindukan ibunya. Tentang ayah yang mengajarkan anaknya mendaki lereng gunung tinggi mengeja dunia. Tentang suami yang beristrikan cahaya pelangi. Juga kisah para Nabi yang lahir dalam usia tua. 

Seprai merah pada peraduan itu menjadi kusut oleh kisah-kisah sang Kelana. Mata berbinar Putri menerangi setiap kisah yang paling kelam sekalipun. Baju keduanyapun kusut, tetapi tetap terkancing erat. Kelana berkisah, Putri kadang mendesah memaknai kisah-kisah itu. 

“Putri, sudah malam. Bunda memberikan jam malam kepadaku,” ujar Kelana. 

“Ya, aku tahu, dari siluetmu di tepi sungai itu. Kamu harus pergi, kan?” 

Kelana tak menjawab. Ia hanya beranjak. Berkemas. Mengenakan lagi jubah hitamnya. Setiap jam malam tiba, Kelana selalu saja mendatangi pantai, menerjangi ombak, menatapi kelam dan kerlip bintang, membayangkan ibunya menadahkan tangan ke angkasa di seberang samudera sana, membangunkan ribuan malaekat yang terbang mengelilingi anak-anaknya. 

Kelana membuka lagi satu pintu. Putri meraih pinggang lelaki itu, melingkari dengan kedua tangannya, menyandarkan dukanya pada punggung Kelana. 

“Datanglah, kembalilah, besok. Kau tahu, ini rumahmu,” bisiknya. Satu kecupan menyentuh punggung tangan lelaki itu. 

*** 

KELANA pergi, bersama rajawali. Ia telusuri jejak-jejak malam. Ia endus setiap tapak seekor kuda tanpa pelana. Ia datangi setiap sabana dan perigi. Ia masuki lorong-lorong tanpa cahaya. Ia renangi kanal-kanal dalam. Ia takut, kudanya tersapu halimun, terbawa arus. Maka, pada pintu-pintu air penuh sampah, ia punguti dan selami. Tapi, tidak ada tanda-tanda kudanya ada. 

Kelana menangis. Ia jarang menangis, kecuali untuk Bundanya. 

“Bunda, tanpa kuda, aku bisa apa? Ibu yang memberikan kuda itu, sejak aku baru belajar merangkak. Ibu yang memerintahkannya menemaniku, sepanjang jalan. Dimana ada aku, disana kuda itu hadir. Ibu, kemana kucari kuda itu?” 

Ia takut pada bundanya, cahayanya, pelanginya. Ibu bisa mendatangkan petir kapan saja, mengutuknya, menjadi batu. Ia tak ingin dianggap durhaka, kalau sampai menghilangkan kuda itu. Ia tak mampu melihat selarik kabut hinggap di mata ibunya yang buta itu. Kalau ibunya sampai menangis, ia akan hancurkan setiap karang yang menghadang. Ia akan hanguskan seluruh butir air, hingga airmata ibunya tidak pernah lagi mengalir. 

“Bunda tidak boleh menangis. Biar kukeringkan samudera untuk ibu!” teriaknya, berkali-kali.
Rajawali terbang tinggi menggapai bintang, ketika tahu Kelana itu mendamba bundanya. Mata rajawali setajam silet mengawasi setiap bahaya yang mengancam tuannya.
Kelana tertidur, pada sebuah batu. Ia begitu lelah. 

*** 

Satu kecupan hangat di kening dan bibir membangunkan lelaki itu. 

“Sudah pagi, Kelana. Kamu belum sarapan..” 

“Darimana Putri tahu, aku tidur disini?” 

“Degup jantungmu yang membawaku kesini. Aroma daun enau dan tembakau hutan menjadi penunjuk jalan.” 

Putri datang bersama kusir bendi, sepagi ini. Tentu, ia kurang tidur. Kembali, keduanya duduk beralaskan jerami, mengelilingi kota. Kota yang kusam itu kian temaram. Manusia-manusia yang ada berjalan seperti robot, laksana mesin, menuju sekrup kehidupan masing-masing, tak hirau pada lingkungan. Sebuah kota selalu terlihat bagai pusara bagi manusia di mata Kelana. 

Setiap jalan dipasangi portal. Bunyi sirene di waktu siang dan malam memecah gendang telinga. Kota ini menyesatkan setiap orang yang tidak punya tujuan. 

Tidak terdengar lagi ada ringkik kuda pada setiap lorong kota. Pohon-pohonpun meranggas, tumbang satu-satu. Asap kendaraan telah membunuhnya. Pemimpin yang menyerupai serdadu menjadikan pohon-pohon itu sebagai sasaran-sasaran peluru. 

Dengan alis mata, Putri memberi isyarat kepada kusir bendi. Kembali dan kembali lagi mereka ke rumah itu, menuju pintu berwarna putih. 

“Warna putih ini berasal dari selendang para malekat. Kamu tahu, aku melihatmu dari pintu ini. Kamu bisa melihat gelap yang terpekat, terang yang benderang. Gelap dan terang itu bisa membutakan matamu. Jubah hitammu pada siang yang diselimuti mendung itu memantulkan jiwa resahmu. Lihatlah ke segala penjuru. Mungkin kau temukan semua yang kau cari, di sini,” kata Putri itu, sambil mengecup lagi tangan sang Kelana. 

“Putri, jangan kecup tangan hamba. Tangan ini penuh lumpur dan jelaga..” 

“Tidak, kau adalah raja. Aku tahu sejak semula.” 

Kelana tercekat. Ia tak siap dengan semua kehormatan ini. Ia bisa mati diberlakukan seperti ini. Sebab, ia adalah kelana jelata. Tidak akan pernah ada mahkota di kepalanya. 

“Dari pintu ini, kau bisa temukan kudamu. Lihatlah. Tataplah. Bukalah. Masukilah..” ujar Putri itu, seperti berharap. 

Kelana tersihir. Ia buka semua pintu, sampai seribu. Ia tak temukan kudanya. Ia hanya melihat putri itu ada pada setiap pintu. Satu putri, seribu jumlahnya. Putri yang menanti. Putri yang menunggu. Bukan, ia bukan Putri yang memburu. 

“Putri, tak kulihat kudaku.” 

Kelana tafakur. Untuk pertama kalinya ia merasa putus asa. Ia ingin membalikkan dunia, juga rumah itu. Tanpa sengaja, ia raba gagang pedang di pinggang dengan gigi gemeretuk. 

“Sabarlah. Kau menatap terlalu jauh. Kau mencari di tempat yang salah. Tataplah aku. Percayalah. Hanya dengan nurani kamu bisa melihat kudamu..” 

Kelana terkesima. Ia pejamkan matanya. Ia tuntun segala gerak dengan nafas jiwa. Pelan, dengan mata tanpa mata, ia dengar nyanyian rajawali. Ia dengarkan ringkik kuda. Juga, gelak tawa anak-anak. Ia berjalan, dengan mata terpejam, menuju suara-suara itu. 

“Kesinilah, masuklah. Kami menunggumu. Sudah lama. Bertahun-tahun yang lalu..”

Ia buka matanya, ketika suara Putri terdengar lagi. Seekor kuda putih datang mengibaskan ekornya. Rajawali bertengger pada tangan seorang gadis kecil. Seorang putra duduk di atas kuda tanpa pelana itu. 


“Ayah, kesini. Kami rindu. Mengapa ayah sering pergi?” 

Sang gadis kecil, menyapa. Bersama anak kura-kura. 

Di belakang rumah seribu pintu itu, terhampar padang rumput sabana, beserta bunga-bunga mawar merah. Putri duduk disana, pada sebuah ayunan, ditemani kitab-kitab perjalanan. 

“Mereka anak-anakmu, Kelana. Kudamu yang menemukan, sebagaimana dulu ia menemukan rajawali. Sejak itu, ia tidak pernah mau beranjak, berhenti berpergian lagi denganmu. Putri itu, istrimu..” 

“Bundaaaaaaa…!” 

Kelana terpekik. Bundanya ada disana, bersama tongkat pemberiannya. 

“Selamat datang, Kelana..” 

“Putri, siapa namamu?” 

“Ariadne. Kamu?” 

“Thesus..” 

Mendung tak lagi ada. Halimun sudah lama pergi. 

Bandara Ngurah Rai-Talib III, 25-26 November 2007. 

Dari Wikipedia:

Dalam mitologi Yunani, Minotaurus (bahasa Yunani: Μινόταυρος, Minótauros) adalah monster berbentuk manusia yang berkepala sapi. Wujudnya ini adalah akibat dari kutukan Minos, Raja Kreta. Karena banteng yang harus dia berikan kepada Dewa Poseidon, ia sembunyikan.


Sehingga Poseidon menjatuhkan kutukan kepada istri Minos.Istri Minos dibuat jatuh cinta kepada banteng tersebut.Dengan meminta bantuan dari Daedalus,untuk dibuatkan tiruan banteng betina.Dia kemudian masuk ke dalam banteng tiruan, untuk bercinta dengan banteng tersebut.Maka dia mengandung bayi dari hubungannya dari banteng tersebut,yaitu Minotaurus.Monster ini tinggal di tengah labirin yang rumit yang dirancang oleh arsitek Daedalus untuk menyimpan sang Minotaurus. 

Setiap tahun, penduduk Athena mengirim tujuh pemuda dan tujuh gadis sebagai korban supaya tidak diserang oleh Minotaurus. Monster ini akhirnya dibunuh oleh Thesus, pahlawan Yunani yang menyamar menjadi salah satu korban. Sebelumnya, Thesus jatuh cinta pada Ariadne, putri Raja Kreta, yang memberinya pedang dan segulung benang. Thesus menggunakan benang itu untuk menyelusuri kembali jejaknya supaya bisa keluar dari dalam labirin yang rumit.

Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update