Saya memotivasi kegiatan inisiatif warga Bangun
Gotong Royong Jakarta (Bangrojak). Kegiatan itu membangun menggerakkan
kembali semangat gotong royong warga membersihkan lingkungan. Got, kali, mengalir airnya. Pemukiman bersih. Mengingat kebersihan lingkungan menjernihkan hati.
Dalam bahasa saya ke Jokowi, Gubernur DKI, Jakarta kota
di mana ubi merambat, burung berkicau dan tupai melompat. Di kawasan
Menteng, Jakarta Pusat, sebagai salah satu kawasan pusat kota, setiap
pagi kini memang masih bisa dijumpai tupai melompat di pagi hari,
terutama di lingkungan di mana ada pohon kelapa berbuah.
Namun Jakarta tak semuanya Menteng. Maka di
kegiatan pertama kami melakukan Bangrojak, memilih kawasann hanya
sepelemparan batu dari kantor Walikota Jakarta Pusat. Tepatnya di daerah kawasan Kebun Jahe Kober, Tanah Abang l. Di pemukiman padat itu hujan 3 jam selalu terjadi banjir. Got acap mampet. Di
sebuah warung Padang, ketika kami pertama ber-Bangrojak, sampah
menumpuk. Kawasan gang-gang kecil, atap pemukiman padat menutup matahari
masuk. Sumpek. Di lingkungan seperti itu ada rumah 2 x 3 meter dihuni tiga kepala keluarga dan sang penghuni aplusan tidur. Gudang sepatu dan pernak-pernik di tempatkan di atas kepala di lorong gang.
Di lingkungan seperti itu, seumur hayat dikandung badan selama ini tak pernah ada Walikota mengunjungi lingkungan macam itu, Di
Jumat pagi kedua Bangrojak, Gubernur Jokowi datang. Kala itulah baru
Walikota terbirit-birit mengunjungi pemukiman padat itu. Sehingga rumah
keluarga yang tidur aplusan tadi dibedah, diperbaiki. Got dibuat mengalir. Dalam dua pekan aliran air yang semula seumur-umur dari kantor Walikota selalu ke pemukiman dibuatkan alur baru. Saluran air sudah lama mampat dikeruk menuju ke kali Abdul Muis, Jakarta Pusat. Adalah Anggiat Togatorop, Kasudin KebersihanJakarta Pusat sejak awal membantu dan selalu berada di lapangan di setiap ada kegiatan Bangrojak. Ia proaktif mebantu kegiatan.
Di Minggu ke-4 Bangrojak, Walikota sudah berani menerbar ikan ke kali Abdul Muis. Dan melalui inisiatif warga sejatinya baik teknologi maupun menggunakan bahan kimia ramah lingkungan, air kali dapat dibuat jernih. Namun
apa lacur di ruas jalan tak sampai sepanjang satu kilometer itu, limbah
bangunan kantor menterang, mulai dari Bank Indonesia, Indosat, Kantor Kementrian Polhukam, Peranan Wanita, Lingkungan Hidup, Menkominfo, Mahkmah Konstitusi, RRI, tidak pernah melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) mengolah limbah air kotornya, melakukan water treatment sebelum dibuang ke kali.
Akibatnya kalaupun Bangrojak mampu menjernihkan
air dengan kimia dan teknologi, air yang ngocor dari gedung-gedung
berwibawa melanggar Perda itu otomatis melanggar hukum itu, mebuat air bening kumuh kembali. Saya tanyakan kepada Walikota mengapa tidak menyurati kementrian terkait, para pelanggar hukum itu?
“Kami menyurati tak dianggap, Gubernur aja acap tak dugubris.”
Satu saja fakta empirik ini, bisa langsung mematahkan teori disampaikan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. Ia mengatakan Jokowi baru layak menjadi presiden pada 2019.
Menurut saya, jika Jokowi presiden 2014, di ruas tak sampai sekilometer di Jl. Abdul Muis, Jakarta Pusat, serta-merta sang Jokowi Presiden bisa memerintahkan menterinya:
“Saya perintahkan kalian mengolah air limbah sebelum membuang ke kali. Patuhi hukum, laksanakan Perda DKI.”
Saya yakin para menteri bermaluan, Takzim. Tak seperti hari ini.
Tentu akan banyak urusan penting lain, di mana Jokowi
sebagai presiden dapat mengubah keadaan yang selama ini pah-poh. Banyak
porto folio dirinya bekerja sebagai pelayan publik akan mendorong
membaiknya peradaban; pro rakyat, pro kebangsaan. Dan kesempatan itu, ya
2014, bukan 2019. Apalagi sudah selayaknya meraka berusia 50-an tahun tampil menjadi presiden, bukan mereka 60-an ke atas, tampil darah segar.
Hari ini di media sosial Twitter saya menulis
kultwit sepuluh butir, beberapa alasan mengapa Jokowi harus presiden
2014 di hastag #alasaniwanpiliangjokowipresiden sebagai berikut: ia masih mencium bau keringat rakyat kebanyakan, masih mau makan dengan orang biasa di samping comberan bau.
Di luar itu, Jokowi orang
yang mendengar. Ia senang menyimak kata-kata seperti yang saya ucapkan
kepadanya, seperti kalimat di atas: Jakarta Kota di mana Burung berkicau, Ubi Merambat dan Pohon Merambat. Bukan kata-kata slogan yang membosankan.
Saya juga sangat yakin bahwa Jokowi paham bahwa negeri ini di mana Nyiur melambai. Dia sangat paham, akan perlunya replanting pohon
kelapa, sehingga negeri ini tak ditipu lagi oleh produk minuman kimia
buatan Jepang, yang perusahaannya melakukan penggelapan pajak,
membohongi publik bahwa minuman dibuatnya sama seperti air kelapa.
Toh anak saya paling cantik, Aku Alessia, selalu bilang, “Owi Ciden.”: Jokowi Presiden.
Iwan Piliang , Citizen Reporter.