Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Merah Putih di Zaman Anas Malik

17 Agustus 2017 | 17.8.17 WIB Last Updated 2017-08-17T13:52:16Z
Foto: Istimewa/internet
Di pelosok desa, hampir seluruh warga sibuk membenahi pagar rumahnya masing-masing. Bermodal pagar kayu dan beberapa kaleng cat, seketika pagar disulap jadi dua warna merah-putih. Bambu betung sebagai tonggak bendera juga dicat pucat. Sore harinya berkibarlah ribuan bendera merah putih di setiap halaman rumah. Esok paginya tanggal 17 Agustus.

Kenangan 30 tahun silam itu, masa Pariaman dan Padangpariaman plus Mentawai masih menyatu dalam kepemimpinan Bupati Anas Malik. Program K-3 teraplikasi penuh di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada kambing, kerbau, jawi dan ternak lainnya lepas sembarangan. Tidak ada kambing mengacak isi pagar tetangga pemilik mereka. Tidak ada ayam melancong ke dapur. Semua ternak dikandangkan.

Pengisahan di zaman Anas Malik itu dituturkan oleh wartawan senior Nasrun Jon hampir setiap bertemu saya. Ia merupakan pegawai Departemen Penerangan merangkap Staf Humas di masa Anas Malik menjabat Bupati Padangpariaman periode 1980 hingga 1990.

Perihal hari kemerdekaan di zaman Anas Malik, saya sendiri saksi sejarah. Rutinitas cat pagar, membuat gapura bambu bercat merah putih di persimpangan desa lengkap pula ornamen bambu runcingnya. Bahkan pemuda desa dengan bangganya berselempang kepala merah putih, macam gaya di film Rambo.

Ketika Anas Malik tidak menjabat lagi, ketika saya pulang ke kampung halaman di tahun 1994, pagar rumah yang indah di Desa Pasir Pauh (kini Pauh Barat) tiada lagi. Menjelang 17 Agustus, jangankan untuk mengecat gapura, mencari selembar bendera untuk dipasangkan di halaman rumah hampir tak bersua. Akhirnya ditemukan Ibu saya dalam sebuah koper di lipatan paling bawah. Bendera kumal itu berkibar juga akhirnya. Tahun itu merah putih terakhir Ibu yang wafat di Bukittinggi pada tahun 1995.

Kambing, jawi, kerbau, ayam, kembali ramai berbaur dengan penduduk. Halaman rumah dipenuhi kotoran kambing dan ayam. Jika pintu rumah terbuka, kambing dan ayam tiba pula di dapur. Tak jarang kambing dan ayam tertabrak mobil di depan rumah yang dilalu-lalangi oplet tambangan Pariaman-Sungai Limau-Kampung Dalam-Tiku.

Nuansa hari kemerdekaan benar-benar terasa di zaman itu. 17 Agustus disambut bak Hari Raya Idul Fitri. Acara panjat pinang pun dihimpun dari swadaya masyarakat. Tidak ada penghampangan jalan mencari dana seperti saat ini yang acap kita temui di jalan-jalan. Dalam satu kilometer terkadang terdapat dua portal, macet tidak jalan olehnya.

Mengutip pemberitaan yang pernah keluar di media massa, portal jalan meminta sumbangan di Sumatera Barat, pernah mendapat teguran dari Gubernur Gamawan Fauzi. Namun tindak lanjut persoalan itu tidak terdengar lagi hingga sekarang.

Semangat hari kemerdekaan merubah semangat swadaya masyarakat dengan maraknya portal-portal itu. Padahal jika mereka menghimpun dana dari sumbangan masyarakat saja, diyakini akan mencukupi untuk sekedar menghelat acara sekelas panjat pinang. (OLP)
×
Berita Terbaru Update