Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Inyiak Rimbo Rao

19 Agustus 2016 | 19.8.16 WIB Last Updated 2016-08-24T13:48:01Z


Gubuk itu berlantai bambu. Tiangnya bambu bulat, dinding bambu anyam, beratap rumbia. Gubuknya berukuran 4x4 meter, dengan tinggi kolong 1 meter. Dia tinggal jauh di dalam pelosok hutan lebat di perbatasan Pasaman dan Sumatera Utara yang dilingkungi perbukitan dan sejumlah anak sungai. Tidak ada listrik masuk di kediaman paling terisolir itu. Rumah itu terletak di rimba belantara hutan Rao.

Soya, lelaki paruh baya, memiliki tekad kuat untuk bertemu penghuni gubuk itu setelah dia sering mendengar cerita dari mulut ke mulut tentang kesaktian kakek yang tinggal di tengah rimba raya tersebut. Ditemani karibnya Mangkuto, Soya menelusuri rimba belantara perawan berbekal informasi yang dia dapat.

"Kakek ini sangat sakti. Umurnya lebih seratus. Mulutnya tidak berlangit-langit," ujar Soya menguatkan mental Mangkuto beberapa hari sebelum keberangkatan mereka.

Dua sahabat itu membawa bekal kemauan keras disamping sejumlah perbekalan makanan di ransel mereka. Soya dan Mangkuto sudah berjalan lebih dari tiga jam sejak ditinggal pemandunya di tepi jalan tanah. Pemandu yang asli anak nagari setempat tak mau diajak serta, meskipun dibayar mahal. Soya mengayunkan parangnya merambah jalan. Dia terus saja menceritakan apa yang dia ketahui tentang kakek tersebut kepada Mangkuto. Tekad baja hilangkan letih dan kengerian menyibak hutan lebat itu. Bunyi primata sahut menyahut seakan tak ingin kehadiran dua sahabat itu di pemukimannya.

"Kakek itu suka gelap. Jika ada tamu, dia hidupkan lampu damar, setelah tamunya pergi dimatikan lagi. Dia hanya makan sekali saja pada bulan purnama. Dia menangkap babi hidup-hidup dan menyantapnya mentah-mentah," ujar Soya komat-komat.

Mangkuto meluluh bulat-bulat apa yang dikatakan kawannya tersebut. Soya bukan hanya sekedar kawan baginya, tapi juga seorang pahlawan. Mangkuto berhutang budi amat besar kepada Soya.

"Dulu eskapator dan sejumlah alat berat tak mau hidup ketika hendak membuka jalan menuju rumahnya. Makanya tidak ada jalan tanah menuju ke tempat itu," sambung Soya semangat.

Mentari mulai meninggi. Beribu langkah sudah ditapaki di hutan tak bertuan itu. Tiga bukit bukit mereka daki, dua lurah telah mereka turuni. Karib tersebut sejenak istirahat sambil makan siang di bawah rimbunnya beringin tua. Mereka duduk berhadap-hadapan di akar sebesar dua kali paha orang dewasa milik pohon itu.

"Dibalik telaga itu ada lagi bukit, tak jauh dari situ kakek tersebut tinggal," kata Soya seraya memantik sebatang rokok sehabis makan. Keringat di dahi dia tepikan dengan punggung telapak tangan. Dia kelihatan bersemangat.

Mangkuto sebenarnya orang yang suka bicara, tapi entah kenapa dalam empat jam perjalanan dia tak mengungkap kata sekalimat-pun selain "ya dan oo,,". Mangkuto baru kali itu menjelajahi hutan meski dalam beberapa kesempatan dia sering membual bahwa hobinya mendaki gunung. Pengetahuannya tentang gunung hanya dari cerita-cerita orang yang pernah mendakinya yang dia otakan kembali kepada orang lain. Sifat Mangkuto pantang kalah jika diajak bicara. Dia penah membual menyambung kembali dua jari tangannya yang putus akibat berkelahi, padahal bekas luka itu akibat terpakuk lading saat ibunya membelah nangka sewaktu ia masih kecil.

Di dalam hati Mangkuto ada rasa ngeri. Dia memikirkan yang tidak-tidak. Ya harimau, ular berbisa, anjing hutan dan segala hal yang menakutkan. Takutnya itu tak terpapar dari wajahnya. Dia mencoba berminyak air. Dia seorang pria yang selalu ingin diakui sebagai pemberani terutama di depan mata sahabatnya sendiri.

Sepuluh tahun belakangan, Soya adalah seorang saudagar kaya. Dia pengusaha garmen lintas negara. Soya juga dikenal dermawan. Baginya duit tidak berhitung. Teman-teman yang loyal kepadanya dia bantu secara materi termasuk Mangkuto. Mangkuto dia selamatkan saat rumah dan tempat usahanya mau disita bank karena gagal bayar. Tak sampai di situ, Soya juga modali kembali bisnis Mangkuto hingga dia mandiri lagi.

Soya sendiri jatuh diambang kemelaratan. Bisnisnya hancur dan terlilit hutang karena ditipu rekan bisnis luar negerinya. Seluruh aset Soya disita oleh bank. Istrinya dilarikan orang pula bersama dua anaknya. Dia benar-benar jatuh tapai. Kedatangan Soya ke tempat itu punya maksud. Dia ingin mengambil jalan pintas menuju kaya.

-----

Di dalam gubuk yang kelam, seorang kakek bungkuk sedang bersandar di kepala besar seekor harimau putih. Dia sedang bermalas-malasan dengan piaraannya itu. Dielus-elusnya kepala inyiak balang tersebut. Kakek itu tidak pernah keluar siang hari.

"Tidak kah engkau dengar pemuda putus asa menuju ke sini wahai anakku?" kakek berambut jarang panjang ubanan itu bicara tenang. Harimau itu mengaum pelan. Rahangnya dibuka vertikal. Sepasang taring panjang tujuh senti meter seolah bergetar.



Seketika Harimau putih itu melompat keluar menyibak semak belukar di hutan nan hijau itu.



                                                                                     bersambung.....................................


OLP
×
Berita Terbaru Update