Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pariwisata Budaya, Membudayakan Pariwisata

20 Mei 2016 | 20.5.16 WIB Last Updated 2016-05-20T04:35:19Z




Pariwisata dan budaya adalah dua elemen tidak terpisah bak sisi mata uang. Pariwisata dan budaya adalah perkawinan abadi atau monogami.

Menjual pariwisata tanpa budaya adalah sesuatu yang sulit terwujud. Orang ingin ke Paris, Roma, Jepang, Bali karena ingin melihat kebudayaan setempat, baik dari sisi arsitektur, kesenian tradisional, religiun, kearifan lokal di samping keindahan alam.

Untuk Kota Pariaman sendiri begitu banyak potensi budaya dan kearifan lokal. Meski Pariaman bagian dari Minangkabau, spesifikasi sebagai masyarakat pesisir dan topografi ditambah sejarah yang melatar belakangi, punya keunikan tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain selingkaran alam Minangkabau.

Potensi-potensi itu sekarang muncul kembali ke permukaan setelah sekian lama terkubur oleh pengaruh budaya luar. Masyarakat menyadari budaya mereka adalah sebuah kekayaan. Mereka berfikir buat apa meniru budaya global yang bukan jati diri mereka. Orang-orang bergaya ke barat-baratan mulai dipandang kolot, sok modis dan KMS (ka ma salamoko).

Sekarang di Jawa orang zamannya memakai blankon, bukan pamer rambut metal dangdut, belakang gondrong depan cepak, atau talmet, belakang gondrong depan Adi Bing Slmet (depan berponi).

Di Pariaman, anak-anak mulai bermain patok lele, cabur, semba lakon, gasiang. Itu permainan seru yang diwariskan turun temurun oleh leluhur rang Piaman.

Olahraga beladiri mereka kembali ke silat. Silat atau silek banyak alirannya, sebut saja silek harimau, ulu ambek, kumango, silek tuo, silek sunua, dan aliran lainnya. Pesilat asli bisa menangkap pisau dengan giginya, bisa membunuh sekali pukul. Silek Piaman adalah silek baradaik, semakin tinggi ilmu sileknya makin rendahlah hatinya. Gabungan filosi dan beladiri.

Suatu ketika ada seorang teman dari Riau satu sekolahan dengan saya dulunya di Pekanbaru. Dia teman karib dari SD hingga SMP. Datanglah dia ke Pariaman lebaran tahun 2015. Kekaguman dia adalah adanya stasiun kereta api aktif peninggalan Belanda di Pariaman menghadap pantai Gandoriah pula.

"Coba kawan cari stasiun kereta api mana di Indonesia yang menghadap pantai?," tanya dia waktu itu.

Dari pertanyaannya saja sudah membuat saya bangga. Langsung kembang lobang hidung saya. Sesaat kemudian saya ceritakan sejarah awal mula kereta api di Pariaman dibangun.
 

Saya ceritakan kereta api ganefo dulunya yang selalu minum di stasiun Pariaman meski saya sendiri belum pernah menyaksikannya. Perihal kereta api minum, Walikota Mukhlis paling banyak tahu. Menyaksikan kereta api minum salah satu tontonan menarik baginya semasa kecil. Penuturan itu dia ceritakan dengan perasaan mendalam di hadapan publik suatu ketika.

Sang karib, saya bawa ke makam Syekh Burhanuddin, melihat beberapa benteng peninggalan Jepang di Pariaman, mengunjungi makam panjang dan sumur tua di Pulau Angsoduo. Selebihnya berwisata kuliner. Dua hari dia di Pariaman saya inapkan di sebuah hotel yang saya nilai paling bersih. Bersama istri dan dua anaknya dia kembali ke Riau membawa salah satu momen terbaik dalam hidupnya.

Itulah kebudayaan yang selalu tidak lepas dengan sejarah. Kehausan akan sejarah akibat manusia zaman kini sudah jengah dengan alam modern. Orang berwisata berburu ke Afrika menyaksikan kehidupan alam liar di Padang Khalahari. Menyaksikan perkasanya singa dan ceetah sebagai makhluk tercepat di darat dalam berburu.

Orang mulai mengunjungi gua-gua pra sejarah di pedalaman Amazon menyaksikan painting manusia purba di dinding gua. Mereka mulai menggali budaya nenek moyang dengan ilmu sejarah.

Di Kota Pariaman, nilai-nilai budaya belum tergerus zaman terlalu dalam. Sangat mudah dibangkitkan. Pariaman adalah sebuah kota yang memiliki jati diri karena sejarah panjangnya sebagai kota tua maritim. Di sini ada kuburan Belanda dan kuburan Cina yang benar-benar orang Belanda dan Cina dimakamkan di sana. Ada banyak sejarah dan budaya mewarnai perjalan Pariaman dari abad ke abad.

Itulah dia wisata dan budaya. Pariaman memiliki keduanya.

Oyong Liza Piliang

×
Berita Terbaru Update