Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kesimpulan Studi Komparatif ke Dewan Pers: Tidak Ada Kartu Sakti Untuk Wartawan Pemeras

16 September 2015 | 16.9.15 WIB Last Updated 2015-09-16T14:35:23Z



Pemerintah Kabupaten Padangpariaman melalui Bagian Humas bersama wartawan melakukan studi komparatif ke Kantor Dewan Pers Republik Indonesia dan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di  Jl. Kebon Sirih No.32-34 Jakarta Pusat, Senin, (14/9) terkait peran wartawan dan Bagian Humas dalam rangka menyajikan informasi tentang Padangpariaman kepada publik secara luas. Ikut dalam rombongan tersebut Anggota DPRD Padangpariaman Alfa Edison.

Rombongan Pemkab Padangpariaman dipimpin oleh Asisten Bupati Ali Amran dan Staf Ahli Zahirman dengan Ketua Koordinasi rombongan Kabag Humas Hendra Aswara. Sedangkan rombongan wartawan dipimpin langsung oleh Ketua PWI Pariaman Ikhlas Bakri. Rombongan Pemkab Padangpariaman dan wartawan yang berjumlah 20 orang tersebut disambut oleh Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo beserta beberapa staf PNS Menkominfo yang diperbantukan di sekretariat Dewan Pers tersebut.

Menurut Yosef Adi Prasetyo, wartawan besar banyak berasal dari Sumatera Barat, kemudian juga pejuang kemerdekaan dan tokoh bangsa yang melekat dalam sejarah Republik Indonesia.

Yosef menceritakan, di zaman orde baru (rezim Soeharto) Dewan Pers berada di bawah Kementrian Penerangan. Bahkan kala itu, Dewan Pers digunakan rezim itu sebagai bantalan stempel untuk membredel media yang tidak disukai pemerintah.

"Sekarang Dewan Pers lembaga independen. 9 Anggotanya diangkat dan diberhentikan melalui Kepres (Keputusan Presiden). Dewan Pers adalah lembaga pelindung terhadap wartawan. Demi menjaga kebebasan pers, Dewan Pers telah menjalin Mou dengan Kepolisian Republik Indonesia agar wartawan yang menjalankan tugas dengan benar jangan disentuh," kata Yosef.

Menurut Yosef, dunia jurnalistik berhutang budi kepada mantan Presiden BJ Habibie. Meski Habibie hanya menjabat selama setahun, namun beliau melahirkan 250 Undang-Undang, termasuk UU pers. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen melalui Pasal 15 UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menyikapi perkembangan dunia pers terkini, Dewan Pers mengaku risau dengan kebebasan pers yang kebablasan. Menurutnya saat ini media memiliki keberpihakan dan terang-terangan, menjauh dari koridornya. Tidak tertutup kemungkinan terhadap media-media besar yang jadi acuan publik Indonesia.

Belum lagi perilaku oknum wartawan pemeras yang berlindung dibalik Undang-Undang Pers.

"Sekarang mendapatkan kartu pers sangat mudah, tinggal ke percetakan. Tukang parkir dan tukang koran sekarang punya kartu wartawan," kata Yosef.

Menyikapi fenomena tersebut, Dewan Pers melakukan berbagai langkah untuk menjaga pondasi UU Pers tetap kokoh agar jangan roboh akibat disalahgunakan. Dewan Pers diantaranya telah mengeluarkan peraturan badan hukum terhadap perusahaan pers. Badan hukum yang dilindungi dan bisa menjalin kontrak kerjasama dengan pemerintah dan instansi pemerintah lainnya hanya tiga badan hukum, yakni PT, Yayasan dan Koperasi. Luar dari itu tidak diperbolehkan dan dianggap temuan oleh BPK jika dana kontrak kerjasama, dan dana berlangganan dibayarkan ke perusahaan media tersebut oleh pemerintah daerah maupun instansi yang keuangannya dibiayai oleh negara. 


Kemudian, sebut dia, setiap perusahaan pers diwajibkan menggaji wartawannya paling rendah standar Upah Minimum Regional (UMR).

"Dewan Pers tidak akan memberikan perlindungan, namun juga tidak bisa menghentikan media tersebut. Tapi, jika mereka tersandung masalah hukum, Dewan Pers akan lepas tangan dan serahkan sepenuhnya kepada aparat hukum untuk jalankan (pidana atau perdata)," jabar Yosef.

Sedangkan untuk wartawan, Dewan Pers juga akan melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap wartawan gadungan yang tidak memiliki kapasitas sebagai jurnalis dengan melakukan ujian kompetensi terhadap wartawan. Untuk itu Dewan Pers telah menunjuk sejumlah lembaga pelaksana ujian kompetensi wartawan, meski diakui pelaksanaannya belum menjangkau seluruh daerah di Indonesia. Sertipikasi wartawan ada tiga tingkatan, yakni Muda, Madya dan Utama.

Sementara itu, anggota Dewan Pers dan Pengurus PWI Pusat Margiono mempertegas pula perihal etika wartawan. Kartu atau sertipikat kompetensi tidak bisa dijadikan kartu sakti bagi wartawan manapun yang melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik fatal seperti melakukan pemerasan kepada perorangan, pejabat, lembaga dan perusahaan.

"Kartu kompetensinya pasti dicabut, kita serahkan sepenuhnya kasus mereka untuk diproses hukumnya. Itu sudah kejadian terhadap oknum wartawan Kompas. Bahkan oknum tersebut tuntut balik Kompas, Dewan Pers dan PWI, namun dia kalah karena salah," ujar Margiono.

OLP
×
Berita Terbaru Update