Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Suksesi Senyap PKS

19 Agustus 2015 | 19.8.15 WIB Last Updated 2015-08-19T14:31:45Z
Pendiri Sang Gerilya Institute



Tanpa banyak mendapat sorotan pers, suksesi kepemimpinan dalam tubuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berlangsung rapi. Terpilih sebagai Ketua Majelis Syuro adalah Salim Segaf Aljufri, dan Wakil Ketua Majelis Syuro: Hidayat Nurwahid. Ketua Majelis Pertimbangan Pusat: Suharna Surapranata. Ketua Dewan Syariah: Surahman Hidayat. Presiden DPP: Sohibul Iman. Sekjen: Taufik Ridla. Bendahara Umum: Mahfuzh Abdurrahman. Sekretaris Majelis Syuro: Untung Wahono.

Lebih dari setengah dari nama-nama itu saya kenali sejak mahasiswa. Mereka berasal dari kalangan ikhwan kampus yang rajin membina mahasiswa, terutama di kampus-kampus negeri. Mayoritas adalah kelompok ikhwan otentik yang terbiasa dengan pergulatan pemikiran di kampus. Isu-isu Islam internasional sering dibahas, sembari bersikap apolitis terhadap isu-isu dalam negeri. Kehadiran mereka sekarang boleh dikatakan bertemu ikan dengan air. Ketika situasi politik nasional terlihat begitu politis, dengan politisasi di mana-mana, tokoh-tokoh itu bisa mengambil jarak yang tepat, tanpa harus kehilangan semangat intelektual guna melakukan pembinaan. 

Senyapnya suksesi dalam tubuh PKS terasa berkebalikan dengan panggung besar yang tersedia bagi dua organisasi keislaman, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan Mathla’ul Anwar di Banten. Kehadiran banyak pejabat negara dalam panggung tiga organisasi keislaman itu, menyita perhatian pers nasional. Isu politik dan politisasi turut hadir dalam acara salah satu organisasi. PKS seakan mengambil posisi deferensiasi, justru politisasi tak terbaca pers, sekalipun suksesi berlangsung di tubuh sebuah partai politik. Partai politik tanpa politisasi? Sungguh tidak mudah, bukan? 

PKS adalah partai yang fenomenal sejak berdiri. Walau naik turun dari jumlah kursi di DPR RI, PKS mengalami kenaikan yang konstan sejak bernama Partai Keadilan pada pemilu 1999. Andai, ya, andai tidak ada kasus hukum yang menimpa Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, barangkali PKS mendapatkan kursi yang jauh lebih banyak dari sekarang. Ketangguhan kader-kader PKS ditunjukkan dalam Pilpres 2014, yakni menjadi kader militan bagi Prabowo-Hatta. Hasil berbeda, lagi-lagi, bisa saja terjadi, seandainya PKS bukan bagian dari koalisi parpol yang mengusung Prabowo-Hatta.

PKS termasuk pandai dalam menegosiasikan militansi kader. Apalagi, dibandingkan dengan kader-kader partai lain, kader-kader PKS terkesan lebih terdidik. Basis kader PKS memang berasal dari kalangan Islam kampus, terutama yang kuliah di kampus-kampus “sekular”. Di luar itu adalah kalangan muslim perkotaan yang berasal dari kalangan menengah muslim akibat keberhasilan ekonomi Orde Baru. Jenjang pendidikan yang ditempuh juga rata-rata ilmu eksakta dan ilmu-ilmu alam. Dari sanalah paradigma terbentuk, terutama dalam kaitannya dengan keillahian yang langsung ditunjukkan dalam ilmu-ilmu alam. 

Khazanah pemikiran Islam menunjukkan bahwa sarjana-sarjana eksakta dan ilmu-ilmu alamlah yang tercatat sebagai sosok ilmuwan muslim yang disegani. Terkecuali Ibnu Khaldun, seorang sejarawan yang juga menjadi politisi dan pejabat di zamannya. Barangkali, khazanah ini yang hadir dalam tubuh politisi PKS, dengan sama sekali tak menyatakan penolakan terhadap demokrasi ultra-liberal, tetapi tetap menempa diri sebagai muslim berpendidikan yang cinta ilmu pengetahuan (dan teknologi). Padahal -- belajar dari sejarah Ibnu Khaldun yang tercatat sebagai penulis terpanjang dalam sejarah ilmuwan muslim -- kepolitisian Khaldun selalu saja dijadikan sarana untuk mengkritisi pikiran-pikirannya. 

Sehingga, ada dua hal yang bisa dianalisa terhadap suksesi senyap PKS ini:

Pertama, kehadiran tokoh-tokoh otentik dan genuine dalam tampuk kepemimpinan PKS adalah murni untuk mengembalikan politik Islam ke ranah awal. Apa itu? Tentu sesuai doktrin awal PKS sendiri, yakni dalam skala besar adalah mengawal abad kebangkitan Islam. Misi politik tidak mesti adalah pertarungan jangka pendek dalam ranah kekuasaan, melainkan guna meletakkan nilai-nilai yang bisa bertahan dalam jangka panjang. 

Artinya, PKS melakukan koreksi terhadap jalan politik kekuasaan yang selama ini terjadi. Justru di jalan itulah terjadi sejumlah penyelewengan kekuasaan yang bahkan melibatkan politisi PKS pada tampuk tertinggi. Kekuasaan memang manis, sehingga siapapun bisa tergelincir dalam lelaku politik yang Machiavelis. Putaran arus pragmatisme politik demi kekuasaan semata bisa membutakan diri, sehingga terjebak dalam rutinitas yang tak lagi berjarak dengan jebakan-jebakan kekuasaan itu sendiri. 

Kedua, kehadiran tokoh-tokoh itu adalah cara PKS untuk menunjukkan diri sebagai partai yang semakin kehabisan kader-kader terbaiknya. The last and the least. Yang terakhir dan yang paling terakhir adalah memajukan kader-kader inti yang selama ini menjadi simbol dan ruh pergerakan, bahkan sebelum menjadi partai politik. 

Pilihan ini sekaligus membuka kepada publik tentang tak ada lagi pilihan yang lain. Walau menyatakan diri sebagai partai politik yang tak kehabisan kader, kembalinya sosok seperti Hidayat Nurwahid justru menunjukkan itu. Hubungan dengan komunitas Islam internasional, terutama di Timur Tengah, juga ditunjukkan dengan keterpilihan Salim Segaf Aljufri sebagai Ketua Majelis Syuro. PKS seolah menyembunyikan proses suksesinya, tetapi sekaligus membuka situasi internal yang sulit akibat perkembangan keadaan.

Apapun, kedua analisa itu saling berhubungan. Pilkada menunjukkan bahwa PKS sama sekali tak memiliki basis ideologis yang kuat, ketika berkoalisi dengan seluruh partai politik lain dalam pengajuan pasangan calon. Di beberapa daerah, PKS bahkan tak melawan kehadiran calon tunggal ataupun “calon dinasti”. Yang lebih jauh lagi, PKS bahkan tak berkeberatan untuk mengusung mantan narapidana sebagai calon kepala daerah.

Tentu, kondisi itu adalah pilihan kepemimpinan PKS sebelumnya. Barangkali akibat keadaan itu juga, suksesi senyap PKS disebut juga sebagai “kudeta diam” oleh sebagian kalangan. Ada evaluasi, ada koreksi. Yang lebih-lebih lagi, ada upaya serius untuk kembali ke asal, tanpa mendeklarasikan diri secara bersiponggang... 

Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update