Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Lebaran Menambah Deritanya

27 Juni 2015 | 27.6.15 WIB Last Updated 2015-06-26T19:43:27Z




Tak terasa bulan ramadhan terus berjalan. Hari raya idul fitri pun menanti. Hari raya atau yang disebut lebaran adalah hari kemenangan bagi umat muslim setelah sebulan penuh berpuasa. Tradisi menyambut lebaran mancaragam pula modelnya di negara berpenduduk muslim dunia. Ada yang dengan hanya sekedar hari bersilaturahmi saja adapula menjadikan hari lebaran sebagai puncak dari sekian hari dalam setahun untuk dirayakan. Tradisi mudik atau pulang kampung saat lebaran untuk mengunjungi sanak saudara sudah menjadi tradisi di negara kita. Tradisi meriah yang melahirkan beribu kosakata bagi media televisi saat meliput suasana mudik lebaran secara live dan realtime.

Hari lebaran seyogyanyalah saling berbagi kebahagiaan. Saling membantu, berbagi rejeki dan berbagi kasih antar sesama.

Nun di sana seorang ibu paruh baya terlihat risau. Itik-itiknya dia halau di sawah habis panen. Sawah tersebut airnya setinggi betis orang dewasa. Sawah yang sebentar lagi ditanami padi penuh luluk mungkin berlintah. Kulit tuanya memiliki garis tegas. Begitu banyak penderitaan hidup menggurat di wajahnya. Suaminya hampir sepuluh tahun tidak lagi bekerja. Penyakit dalam yang diderita suaminya sangat tidak memungkinkan baginya membanting tulang. Dia hanya beristirahat di rumah sembari memberi makan ayam dan itik-itik di kandang belakang rumahnya. Sang ibu paruh baya tadi adalah tulang punggung keluarga. Dia memiliki tujuh orang anak. Tiga anak perempuannya sudah sepatutnya dicarikan pendamping hidup yang tentunya bukan perkara mudah bagi orang Pariaman. Empat anaknya lagi bersekolah pula.

Itik-itik air yang suka berkelompok dia halau. Ranting kayu sepanjang lengan dewasa dia kibaskan ke arah utara. Para itik sepertinya dihalau pulang kandang. Dengan berbaris teratur gerombolan itik bagaikan tentara serentak menuju pulang. Matahari sore menurunkan suhunya. Sebentar lagi beduk berbuka. Sang ibu harus secepatnya tiba di rumah. Sandal jepit murahnya berluluk hingga betisnya. Agaknya kering sendiri sesampai ibu tersebut mencapai teras rumahnya.

Bagi ibu ini, hari raya adalah puncak siksa bagi dirinya. Untuk sekedar makan keluarga saja adalah beban berat bagi hidupnya. Dia terlihat jelas sungguh tidak bahagia. Dia tidak mau memikirkan yang tidak mampu dia jangkau. Baju-baju baru untuk ketujuh anaknya hanya mampu dia angankan, apalagi ditambah pula membuat kue lebaran yang jumlahnya beragam-ragam. Toples-toples tatanan kue lusuhnya berdebu terletak begitu saja di lemari pajang satu-satu miliknya. Sisi-sisi lemari cerminnya sudah retak. Tegaknyapun miring ke kiri.

Keluarga penuh derita jelang lebaran seperti ini ada di mana-mana jika kita perhatikan dengan seksama. Mereka punya versi yang berbeda-beda. Berlain pula jenis penanggungannya.

Nasib manusia di muka bumi tentulah tidak sama. Ada yang bernasib mujur adapula dirundung malang. Orang yang peka lagi dermawan adalah penjaga keseimbangan adilnya Tuhan di muka bumi. Orang kikir tak berempati yang hanya peduli pada diri sendiri menodai keseimbangan alam yang telah memiliki regulasi sempurna.

Hari raya memang menjanjikan kebahagiaan. Apalagi bagi kalangan berpunya. Segala sesuatu sudah tersedia. Jelang lebaran semuanya harus terlihat sempurna. Cat rumah, mobil apalagi pakaian sudah terbayang bagaimana model dan rupa.

Warna kehidupan faktanya memang kontras seolah cendrung memiliki keberpihakan.

Penjual sate itu gerobaknya lusuh. Warna catnya sangat pudar mengguratkan kayu yang mulai lapuk. Kedua rodanya sudah licin dengan jari-jari berkarat. Pria enampuluhan berambut klimis itu mendorong gerobaknya di teriknya mentari bulan puasa. Sandal jepit yang dia kenakan sudah tipis aus dimakan aspal. Celana dan baju yang dia kenakan terlihat lusuh meski tetap licin disetrika. Dia seolah bergegas menuju pasar. Ketupat-ketupat bergelantungan berayun kesana kemari diguncang oleh roda-roda yang tak simetris lagi bagaikan roda kehidupan yang dia jalani.

Pemandangan seperti ini ada dipelupuk mata kita sehari-hari namun kita seolah memicingkannya. Kita seakan sengaja mengabaikannya. Empati yang tergerus dan terus tergerus di zaman serba matrealistis.

Catatan Oyong Liza Piliang.

×
Berita Terbaru Update