Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Membangun Kepercayaan Diri Daerah

22 September 2014 | 22.9.14 WIB Last Updated 2014-09-22T15:55:24Z



Menjadi warga negara yang baik mudah terucap namun sulit dalam aplikasinya. Menjadi warga negara yang baik ada sejumlah hak dan kewajiban yang harus kita terima dan jalankan. Menjadi warga negara yang baik akan menumbuhkan sikap-sikap negarawan. Jiwa bernegara atau yang disebut negarawan tersebut bukan hanya milik pemangku kebijakan atau kalangan politisi saja, namun bersikap vertikal (tanggungjawab kita kepada Tuhan YME) dan horisontal (ke sesama masyarakat) bagi seluruh rakyat atau bersikap umum dan masif dalam satu kesatuan.

Sebagai warga yang berdomisili di suatu daerah, sikap negarawan dapat kita aplikasikan untuk membangun daerah dimana kita bermukim. Sikap kritis musti kita miliki semata atas dasar kecintaan kita pada daerah bukan demi kepentingan pribadi atau pada satu kelompok saja, tidak boleh di dasari rasa subjektif atau atas dasar suka dan tidak suka yang mengarah pada pribadi perorangan yang kebetulan menjabat sebagai pemangku kebijakan. Jika demikian, apapun yang dilakukan orang tersebut tak pernah elok di matanya jika dia sentimen, atau sebaliknya jika dia orang yang diuntungkan. Orang tipe demikian, bak pepatah, kuniang dek kunik, kambang dek minyak seumpama kajai (gelang karet).

Sikap mengkritisi harus dibarengi sumbangsih pemikiran yang benar-benar murni (pure) untuk memajukan daerah menurut pemikiran kita sebagai orang di luar sistem yang tidak terikat mancaragam aturan yang tentunya praktis menurut pandangan kita namun belum tentu demikian dari sudut pandang pemangku kebijakan yang bekerja menurut aturan undang-undang. Lalu jangan pula bersikap apatis, kemudian hanya pandai mencibir saja seumpama beruk pemanjat kelapa. Rasa memiliki daerah musti kita tuahkan. Peraturan daerah bisa dibuat atas kesepakatan kita bersama, apalagi kurangnya?

Kebenaran yang kita sampaikan baik lisan atau melalui berbagai sarana yang tersedia, jika itu benar, paling tidak akan menjadi bahan pertimbangan utama bagi pemangku kebijakan sebelum mereka terlanjur mengambil keputusan keliru atau bersifat lebih meluruskan bahasa halusnya. Dulu saya pernah mendengar kalimat elok dari berbagai tokoh masyarakat tentang perlunya Spirit Piaman untuk mengembalikan nama daerah sesuai sebutan asli lokal daripada menggunakan bahasa Indonesia yang membelotkan arti lokalnya, seperti nama desa Naras=Nareh, Manggung=Mangguang, dsb sebagai contoh kecil. Namun entah hal tersebut telah mereka sampaikan pada pemangku kebijakan atau belum saya juga tidak tahu, bersebab mereka adalah orang-orang yang memiliki akses langsung ke pemangku kebijakan daerah.

Orang Piaman yang dikenal selalu mengasah dialetika seharusnya melahirkan para pemikir-pemikir daerah produktif. Jangan hanya sekedar menguap di palanta saja bersikeras kareh-mareh arang tanpa ada langkah-langkah aplikatif.

Orang Piaman acap berkata merindukan kemajuan daerahnya dan berharap pemerintah melakukan berbagai upaya terobosan untuk menuju kesana. Hal itu bagus dan sangat memungkinkan diwujudkan di era otonomi daerah sekarang ini. Jika demikian sekarang sudah saatnya satu kesatuan utuh dihimpun untuk menuju ke arah sana agar kesamaan visi tersebut lekas terwujud ibarat lewat di jalur tol. Bebagai kesadaran harus ditumbuhkan bersama-sama se sadar-sadarnya seumpama contoh, jika suatu daerah ingin ekonominya maju, maka daerah tersebut harus ramai dikunjungi terlebih dahulu, setelahnya barulah regulator ekonomi akan berputar. Di daerah yang ramai dikunjungi, musti banyak hal menarik untuk disuguhkan, baik itu alamnya, budayanya, masakannya, keramahtamahan warganya yang saling tunjang-menunjang. Kita sebagai warga daerah semestinya memiliki kesadaran akan hal itu.

Setiap daerah haruslah memiliki keunikan sebagai ciri khas daerahnya. Keunikan bisa bersifat endemik, bisa juga building mark seumpama Jakarta dengan tugu Monasnya, Bukittinggi dengan Jam Gadangnya, dll. Kemudian agar terus menjadi daerah yang tidak membosankan untuk dikunjungi tiap-tiap daerah musti selau berinovasi dengan melakukan berbagai terobosan. Bicara Piaman, orang hanya mengenal Tabuik. Pesta budaya sekali setahun yang sekaligus menjadi ikon utama dan penyedot wisatawan untuk berkunjung. Setelahnya sepi, sebagaimana judul lagu "Piaman Tadanga Langang Batabuik Mangkonyo Rami".
 

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, satu persatu spot mulai dibangun di Kota Pariaman yang semoga kelak menjadi ikon baru. Pariaman yang dulunya benar-benar sepi jika tak ada tabuik, sekarang mulai menggeliat ramai meskipun belum bisa dikatakan selalu ramai jika dibandingkan daerah tujuan wisata ternama di tanah air. Kecendrungan positif dan jalan menuju terang mulai terlihat tak terpungkiri. Namun untuk membangun sebuah tradisi baru diperlukan tenaga ekstra karena sebagian dari masyarakat kita beranggapan daerah yang indah dan elok adalah perantauan. Mereka melihat kampung halaman sebagai daerah pelarian semata jika mereka gagal mengadu untung di rantau orang. Mereka selalu mengukur segala sesuatu dengan prinsip-prinsip semu, padahal jika dilihat secara jernih, di daerah seperti kota besar katakanlah Jakarta tingkat orang sangat miskinnya sangat jauh lebih banyak dibandingkan di daerah kita. Oleh karenanya mereka tidak sadar akan potensi daerahnya yang jika optimal mampu jadi ranah sekaligus rantau idaman bagi mereka.

Membangun pemahaman tradisi baru untuk sebuah perubahan bagi kalangan pragmatis kadang persoalan tersulit dibanding pembangunan fisik untuk menuju perubahan itu sendiri. Meskipun kalangan pragmatis terhitung minoritas yang tidak terlalu beresiko jika dilindas, akan tetapi semangat membangun di daerah sekecil Kota Pariaman ini alangkah baiknya berjalan dengan penuh kasih sayang dengan tetap mempertahankan ritme kecepatan.

Catatan Oyong Liza Piliang


×
Berita Terbaru Update