Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Lelaki bermata Dedemit

25 September 2014 | 25.9.14 WIB Last Updated 2014-09-25T13:35:25Z



(Alam selalu punya misteri. Kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan. Pujian, hinaan, juga benci, cinta. Tidak ada yang aneh. Semua menjadi biasa, apabila ditatap dalam mata hati).
 
Pada bulir padi itu ada keringat dan air mata para dewi. Bulir yang dibuahi dengan cinta, harapan, larik-larik doa dan tanda-tanda cuaca yang terpendar dari kerlip bintang.
Perempuan itu tahu, sebutir bulir itu akan menganyam lagi tikar hidup anak-anaknya. Ia merawat bulir itu sama dengan ia menggembala anak-anaknya. 

Ah, andai lelaki itu tidak menghilang, maka ia akan lebih mudah menjalani hidup. Lelaki yang ia kira mencintainya. Lelaki yang sudah menanamkan bulir cinta pada tanah rahimnya, lebih dari sekali. 

*** 

Malam itu, ia datang menuju dangau. Tanpa dayang-dayang yang selalu menemaninya. Ia selalu punya alasan untuk menghilang, tanpa dayang-dayang. Sebagai putri, ia berhak melakukan itu.

Dari kerlip mata, lelaki yang berpapasan di surau tadi membisikkan isyarat: temui aku di dangau itu.
Mereka berdua tahu, dangau itu tidak berpenghuni, jauh dari pemukiman penduduk, apalagi dari surau dan lapau. Dangau itu dikelilingi telaga dangkal, hingga kecepak kaki siapapun akan segera memberi tanda untuk waspada. Ia buka terompah kayunya, mengangkat kebayanya, sambil melilitkan selendang berenda di lehernya, memasuki telaga itu. 

Jangkrik malam dan cericit tikus hutan memberi irama pada langkahnya.

Ia berani datang ke dangau itu atas dasar suka. Bukan, bukan cinta, karena kata itu terlalu banyak dilumuri nafsu. Ia hanya suka, energi yang dimunculkan oleh alam, dibawa masuk menelusuri pori-porinya, berselancar pada alirah darahnya, mempercepat laju degup jantungnya.

Ia jarang suka kepada orang-orang, apalagi lelaki. Para lelaki di kampungnya hanyalah kumpulan para betina yang lebih banyak bergosip, daripada bersikap. Lelaki yang berbusa mulutnya, berbau alkohol, nikotin dan air soda. Lelaki yang belum pantas disebut lelaki, tetapi kebetulan saja berkumis atau berjakun. 

Namun, satu lelaki ini menarik keingintahuannya. Lelaki yang nyaman membakar diri pada terik panas matahari. Lelaki berpunggungkan bukit, berurat belukar dan berdada lembah. Lelaki bermata panah. Beralis sembilu. 

Ya, ia takut memandang mata lelaki itu, sejak semula. 

“Disana ada dedemit,” kata Bundanya, ketika ia tanyakan tentang makna mata lelaki itu.
Bunda selalu benar. Tapi ia adalah perempuan yang ingin seperti bundanya, bukan pelaksana perintah atau saran bundanya. Ia lebih ingin menatap dedemit itu, sendiri, seperti bunda yang bisa melihatnya.

Komat-kamit, ia membaca ayat-ayat Qursi yang diajarkan oleh ustadnya. Ia masuki dangau itu, dengan kaki bergetar. Ia tahu, dedemit takut pada lengking suara perempuan. Ia akan berteriak sekuatnya, kalau memang ada dedemit di dangau itu. 

Tapi ia terpana. Di dangau itu hanya ada keharuman. Keharuman lelaki, seperti ayahnya.

Tidak, lebih harum dari ayahnya. Yang ada, ia hanya ingin ada dalam kehangatan pelukan lelaki itu, perlindungan lelaki itu, bahkan dari dedemit yang ada di mata lelaki itu. 

Ia serahkan dirinya, pada malam itu. Juga malam-malam selanjutnya. Pada banyak dangau, tepian sungai, padang-padang ilalang, ceruk-ceruk bukit, lubang-lubang goa perlindungan para peladang. Ia tak tahu, apakah ia benar-benar hanya ingin berlindung dari dedemit di mata lelaki itu, atau ia terlalu takut pada malam-malam yang mengumbar sepi. Barangkali, ia takut pada cerita tentang banyak drakula di malam purnama yang bersembunyi pada siang hari, nun di atas bukit sana, melirik pada leher jenjang setiap perempuan. Entahlah, ia hanya ingin lelaki itu. 

Sejak malam itu, ia adalah pencinta. Ia menyerahkan diri pada cinta. Ia tidak pernah berpikir apakah lelaki itu mencintainya. Ia tidak pernah bertanya. Ia tahu, rangkulan lelaki itu adalah cinta. Ia tidak pernah mau tahu apakah ada rasa cinta dalam jiwa lelaki itu. Ia hanya ingin menyatu. Satu.

Ada bekas yang tertinggal di tubuhnya. 

“Bukan bekas, tetapi berkah. Angin yang meniupnya kesana,” ucap lelaki itu, sebelum pergi dan tak kembali. 


*** 

Seekor pianggang ia lihat ada pada bulir padi itu. Pianggang adalah musuh para petani. Kalau ia bunuh seekor pianggang itu, bau sangit dari lendirnya akan mengundang ribuan dan jutaan pianggang lain. Kalau ia tangkap, pianggang itu tetap bisa mengundang pianggang-pianggang lain untuk membebaskannya. 

Terpaksa ia gali tanah dibawah rumpun padi itu. Ia tidak mau pianggang itu terbang atau terusik. Pelan, tanpa gesekan, ia pindahkan rumpun padi itu dengan dekapannya. Ia seberangi sungai yang sedang banjir itu. Ia pastikan, rumpun padi itu tertanam pada lumpur pinggir seberang sungai itu. 

“Ratuuuuuuuuuu!” 

Ia mendengar teriakan. Oh, tidak. Itu suara yang dikenalnya. Panggilan yang ia tak sukai.
Hanya karena yang mengucapkan dia, ia jadi terbiasa. 

Ia tak ingin menoleh. Ia konsentrasi menjejakkan kaki pada batu-batu sungai. Arus makin kuat. Ia paham cara menyeberangi sungai itu, dengan berjinjit, seperti tarian balet yang ia lihat di layar televisi tetangganya. Tidak boleh kaki menghunjam terlalu keras, karena arus air akan membongkarnya. 

Ia melangkah, cepat dan teratur, kaki kiri mengikuti kaki kanan. Bergantian. Berdekatan. Mempertahankan keseimbangan pada irama kedua kaki. Apabila tenaga bertumpu pada satu kaki saja, ia pasti hanyut. 

“Ratuuuuuu!” 

Suara itu kembali hadir, lebih keras. Ia tercekat. Rumpun padi di tangannya agak bergoyang. Pianggang pada bulir padi terlihat menggerakkan sungutnya. 

“Tidurlah.. Tidurlah..,” bisiknya, pada pianggang itu, sambil memejamkan mata. Ia tahu, kalau pianggang itu terjaga dan terbang, maka ia akan membawa teman-temannya, kembali ke sawahnya, memamahnya, tidak menyisakan sebutir-padipun untuk anak-anaknya. 

“Ratu! Hamba selalu disisimu! Hamba pergi, karena hamba bukan pangeran…!” 

Begitu dekat suara itu, seperti keluar dari jiwa dan telinganya sendiri. Konsentrasinya buyar.
Ia menoleh. 

Ia lihat dedemit pada mata lelaki yang menggunakan sampan itu. Ia begitu takut bisa melihatnya dengan jelas. Sesuatu yang lama ingin ia lihat, sekalipun tidak pernah ia harapkan dedemit itu benar-benar ada. 

Lelaki itu kini berambut putih, sama seperti dia. Waktu telah membilasnya, juga menciptakan kerut pada seluruh tubuhnya. 

“Maafkan aku, Bunda!” jeritnya. 

Pusaran arus sungai menelan tubuh reot itu. Rumpun padi masih tergenggam di tangannya. Pianggang terbang menjelajah langit. 

Dedemit di mata lelaki itu juga terbang, secepat lelaki itu menyelam ke air. Dedemit, selalu takut pada air, disamping pada suara perempuan. 

Sungai berair keruh itu mendekap erat kedua tubuh tua dan ringkih itu… 

Indra Jaya Piliang

Surau: Masjid kecil milik suku.
Lapau: warung.
Terompah: sendal.
Pianggang: hama serangga.
×
Berita Terbaru Update