Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mempertaruhkan Nasib Demokrasi

2 Juli 2014 | 2.7.14 WIB Last Updated 2014-07-02T12:15:31Z
capres




Masa depan sistem demokrasi di Indonesia sangat tergantung pada hasil pemilihan presiden minggu depan. Khususnya bila agenda capres Prabowo Subianto dilaksanakan.  Opini yang tertulis di artikel ABC Australia ini relatif menandai adanya tanda-tanda cara-cara otoriter dalam praktek politik.

Dalam pandangan penulis artikel tersebut, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, agenda terselubung Prabowo untuk  menerapkan pemerintah yang otoriter semakin jelas terbaca, menjelang  Pilpres 9 Juli mendatang.

Pada pidato Kebudayaan pada hari Sabtu (28/6) di Taman Ismail Marzuki, Prabowo menunjukkan ketidak-setujuannya dengan sistem pemilu Indonesia dan mengindikasikan niatnya untuk mengubah sistem pemilihan.

Menurutnya, sistem pemilu yang kita gunakan sebenarnya merupakan terapan budaya Barat dan tidak sesuai dengan budaya politik di Indonesia.

“Padahal tidak cocok. Tapi sudah telanjur. Seperti pemilihan langsung, ini juga sudah telanjur,” kata Prabowo, seperti dikutip Kompas.com

Pembenahan sistem di Indonesia adalah proses yang sulit sampai  saat ini mengalami stagnasi atau  berhenti sampai saat ini.

Karena itu, bangsa ini memerlukan konsensus baru.  Pemimpin politik, cendekiawan, agama, budaya, bahkan buruh.  Prabowo dengan tegas menyerukan kembali pada kultur  leluhur.  “ Saya tidak ingin kejanggalan ini, membiarkan kita keluar dari nilai-nilai budaya nenek moyang kita.”

Dalam artikel Aspinall dan Mietnzer untuk ABC AU, kata-kata Prabowo tersebut seperti mendorong warga Indonesia untuk memilihnya pada pemilihan Juli nanti. Namun menutup kesempatan bagi upaya evaluasi terhadap kinerja Pemilu lima tahun kedepan.

Artikel Kompas juga menulis bahwa mantan jendral tersebut menginginkan adanya pertemuan besar dalam skala nasional, yang akan menentukan konsensus baru – sebuah hal yang tentunya bertentangan dengan situasi sekarang ini yang mengatasnamakan demokrasi.

Spirit  yang sedang dikembangkan Prabowo  lebih mengarah pada tindakan represif, otoriter,  menolak proses –proses demorkasi.  Karena  demokrasi dianggap tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia.

Pada tahun-tahun awal rezim Orde Baru dibawah Soeharto, institusi militer merencanakan konsensus yang berdasarkan sistem otoriter. Rezim ini juga meng-sahkan konsensus mereka dengan menekankan opini bahwa tradisi dan budaya Indonesia mengedepankan musyawarah dan mufakat – yang tentunya tidak demokratis.

Tidak aneh mendengar pernyataan Prabowo yang seperti menentang demokrasi, melihat bahwa dirinya merupakan murni merupakan produk dari otoritarianisme Orde Baru Presiden Soeharto, yang berkuasa dari tahun 1966 hingga 1998.

Bila ia memang berniat mengubah sistem pemilihan umum kembali menjadi pemilihan presiden via MPR (seperti proses yang dilakukan Soeharto), itu dapat membuka lebar kesempatan bagi manipulasi dan patronase politik.

Ini bukan pertama kalinya Prabowo mengkritik institusi demokrasi di Indonesia. Sebelumnya dalam debat capres pertama (9/6) ia juga pernah mengatakan bahw ia mengkritik demokrasi yang “destruktif” dan ingin membangun sebuah demokrasi baru yang “produktif”. Dalam sebuah reuni purnawirawan bulan lalu, ia juga mengatakan bahwa demokrasi telah “membuat kita capai”.
Bisa jadi, Prabowo berniat  merubah mekanisme yang dapat mengangkat dirinya menjadi pemimpin yaitu sistem pemilihan umum.

Melihat retorika Prabowo selama ini, bila ia benar dapat memiliki posisi presiden Indonesia, negara kita terancam untuk rewind dan kembali ke masa rezim otoriter yang mencegah adanya demokrasi.

 chandniv, tempokini.com
×
Berita Terbaru Update