Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Biaya Kampanye Caleg Mahal Peluang Terpilih Sangat Kecil

1 April 2014 | 1.4.14 WIB Last Updated 2014-04-02T14:07:50Z
13958044892007644496
foto : ruangkabar.com

Senin jelang Subuh, saya sempat menontoni sessi terakhir acara Just Alvin yang diputar ulang Metro TV. Para tamu Alvin adalah 5 artis/seleb/pekerja entertainment yang maju sebagai caleg dari berbagai parpol. Pertanyaan Alvin yang menarik : “apa yang paling ditakuti kalau nanti sudah jadi (anggota DPR)?”. Sontak Sonny Tulung menjawab “KPK” yang disambut tawa rekan-rekannya, tapi sekaligus juga mengiyakan. Mereka menjawab takut jika nanti di”jebak” untuk terseret dalam kasus korupsi. Jawaban spontan Sonny Tulung itu seolah menguatkan persepsi bahwa lembaga legislatif adalah sarang korupsi. Bahkan seorang caleg pun khawatir dirinya terjebak. Lalu kenapa DPR/DPRD sedemikian lekatnya dengan issu korupsi? Banyak yang mengkaitkan dengan besarnya modal yang harus dikeluarkan seorang caleg untuk bisa terpilih.

BESARNYA BIAYA KAMPANYE

Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mendapatkan fakta berapa kisaran biaya rata-rata yang dikeluarkan seorang caleg DPR RI, yaitu Rp. 1,18 miliar! LPEM mengelompokkan biaya pencalegan untuk DPR RI menjadi 5 kategori :

1. kurang dari Rp.787 juta termasuk sedikit alias masih kurang
2. antara Rp. 787 juta s/d Rp. 1,18 miliar dinilai optimal
3. antara Rp. 1,18 miliar s/d Rp. 4,6 miliar dinilai masih wajar
4. antara Rp. 4,6 miliar s/d Rp. 9,3 miliar termasuk tidak wajar
5. lebih dari Rp9,3 miliar dianggap sudah tidak rasional

Perlu dicermati, angka Rp. 1,18 M dianggap optimal, namun berapa banyak caleg yang bisa secara cermat dan tepat sasaran mengalokasikan dananya untuk kampanye? Maka, angka sampai 4,6 miliar pun dianggap masih wajar. Itu baru biaya kampanye seorang caleg, belum kampanye partai politiknya. Sepertinya, dana untuk pengadaan logistik dan alat peraga kampanye termasuk yang mendominasi. Mari kita coba berhitung meski dengan sedikit asumsi.

Misalnya saya ambil contoh Kota Surabaya, yang terdiri dari 31 kecamatan dibagi menjadi 5 Dapil, artinya rata-rata 1 Dapil terdiri dari 5 kecamatan. Sedangkan 1 kecamatan rata-rata minimal terdiri dari 5 kelurahan. Jadi 1 caleg DPRD Kota harus mensosialisasikan dirinya di 25 kelurahan

Kalau para caleg beranggapan mensosialisasikan diri dengan pasang spanduk/baliho/poster, mari kita hitung biayanya. Kalau untuk bikin 1 spanduk saja perlu dana Rp. 200 ribu (cetak spanduk, beli kayu dan tali untuk pemasangan), maka di 1 kecamatan perlu dana Rp. 1 juta. Itu pun kalau hanya 1 spanduk saja di tiap kelurahan. Padahal 1 kelurahan luas cakupannya, minimal 2 spanduk, maka dana Rp. 10 juta rupiah habis hanya untuk pengadaan spanduk di 5 kecamatan. Kalau baliho besar perlu dana Rp. 500 ribu, maka jika 1 kelurahan hanya pasang 1 baliho, maka untuk 25 kelurahan di 5 kecamatan perlu dana Rp. 12,5 juta. Belum lagi poster-poster yang dalam radius 500 meter saja jumlahnya bisa berpuluh-puluh. Semua perhitungan di atas baru sebatas harga material alat peraga kampanye, belum ongkos pemasangan, dll. Belum lagi kalau mereka melakukan kegiatan di Dapil apalagi yang bersifat panggung terbuka.

Maka tak heran jika Lembaga Survei Link Associated (LSLA) Bengkulu memprediksi caleg DPRD Kabupaten/Kota menghabiskan biaya Rp. 200 hingga Rp. 400 juta. Untuk caleg DPRD Provinsi modal yang harus disiapkan Rp. 500 juta hingga Rp. 1 miliar (karena Dapilnya lebih luas, terdiri dari 2 atau lebih gabungan Kabupaten/Kota), sedangkan caleg untuk DPR RI lebih dari Rp. 1 miliar. Adapun kandidat calon DPD yang Dapilnya mencakup satu propinsi dan tidak didukung partai, dana kampanye sekurangnya mencapai Rp2 miliar. Itu semua adalah dana untuk keperluan kampanye pribadi masing-masing caleg, tidak termasuk yang disetorkan kepada partai politik yang mengusung, yang kemudian menjadi dana kampanye parpol yang dilaporkan ke KPU Pusat. Total dana kampanye parpol mencapai kisaran Rp. 2 triliun. Besaran dana kampanye masing-masing parpol bisa dilihat dari gambar berikut.

13958046561988469643
foto : diambil dari facebook yang sudah menyebutkan sumber gambar

PELUANG TERPILIH SANGAT KECIL

Sayangnya, dana sebesar itu sama sekali tak menjamin seorang caleg sudah pasti terpilih. Selain bersaing dengan caleg dari partai lain, dengan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, caleg harus juga bersaing dengan rekan separtainya di Dapil yang sama. Apalagi aturan membolehkan setiap parpol mengajukan caleg maksimal sebanyak 2x (dua kali) kuota kursi DPR/DPRD di Dapil tersebut. Misalkan dari 5 kecamatan itu kuota kursi DPRD yang diperebutkan hanya ada 5 kursi, maka setiap parpol bisa mengajukan caleg sampai 10 orang. Kalau ada 12 parpol, maka untuk memperebutkan 5 kursi saja, ada 60–120 caleg yang berlaga. Itu sebabnya dari 560 kursi DPR RI yang tersedia di Senayan, jumlah calegnya hampir 7000-an orang. Sebab 560 x 12 parpol saja jumlahnya sudah 6720 orang. Maka, bisa dipastikan caleg yang lolos ke Senayan hanya sekitar 8% saja, selebihnya akan segera menyandang gelar “caleg gagal”.

Itu baru di tingkat DPR RI, belum lagi puluhan ribu caleg DPRD dari 34 propinsi dan puluhan ribu caleg DPRD dari ratusan Kabupaten/Kota se-Indonesia. Artinya, ada berpuluh-puluh ribu caleg dari berbagai tingkatan yang akan gagal memenuhi impiannya menjadi legislator. Kalau caleg yang terpilih masuk Senayan saja hanya 8% dari total caleg DPR RI, maka caleg yang terpilih masuk DPRD Propinsi dan Kab./Kota bisa jadi hanya 5%-an saja dari total caleg DPRD. Sudahkah kecilnya peluang ini diperhitungkan dengan matang oleh seorang caleg sebelum berlaga?

Tak sedikit caleg yang tak tahu apa itu nilai BPP yang artinya jumlah suara yang harus berhasil dikumpulkannya untuk bisa lolos. Mungkin banyak pula caleg yang tak bisa menghitung probabilitas lolos tidaknya dirinya di suatu dapil dan sekaligus gagal membidik mana basis massa yang akan dijadikannya lumbung suara. Sebab tak jarang orang maju menjadi caleg tanpa melalui proses kaderisasi yang matang di partai politik bahkan tidak tahu prinsip dan sistem Pemilu. Saya kebetulan tahu beberapa orang yang sedari dulu tidak aktif di parpol, tapi menjelang pencalegan setahun yang lalu, tiba-tiba saja ikut mendaftar sebagai caleg DPRD. Yang seperti ini tak sedikit. Parpol pun seolah tak peduli dan menerima begitu saja siapapun yang mendaftar jadi caleg.

1395804805112292967
foto : article.wn.com

EKSES PENCALEGAN : MENANG JADI ARANG, KALAH JADI ABU

Pasca Pemilu 2009, ada sekitar 7000-an caleg gagal yang menderita gangguan jiwa mulai dari tingkatan yang ringan sampai yang berat (gila total). Belum lagi yang mencoba bunuh diri, baik ‘sukses’ maupun gagal karena sempat diselamatkan anggota keluarga. Tahun ini, biaya kampanye naik sekitar 4 kali lipat dibanding Pileg 2009, tentu akan lebih banyak lagi mantan caleg yang frustasi. Kebanyakan, setelah gagal nyaleg, assetnya sudah habis terjual, tabungan ludes, hutang menumpuk dan tak tahu dari mana akan menutup hutang itu. Tak jarang pula yang rumah tangganya terpaksa berakhir berantakan. Pegadaian cabang Bengkulu mengatakan bahwa telah terjadi lonjakan barang gadai berupa mobil dan emas, hingga 100% menjelang Pileg 2014. Kebanyakan barang gadai itu milik para caleg dan itu diprediksi akan terus meningkat sampai jelang hari H 9 April nanti. Tak sedikit caleg yang butuh dana tambahan untuk “operasi serangan fajar”.

Sementara caleg yang sukses melaju ke gedung DPR/DPRD, bukan berati terbebas dari masalah. Mau tak mau mereka pasti akan berhitung modal yang telah dikeluarkan. Apalagi kalau itu didapat dari berhutang atau menjual asset milik keluarga yang harus dikembalikan. Belum lagi “setoran” pada partai politik dan me-maintain tim sukses yang ditugaskan memelihara konstituen di Dapil. Kalau dihitung dana optimal seperti hasil survei LPEM UI di atas, maka Rp. 1,18 M jika dibagi 5 tahun (60 bulan), maka per bulannya = Rp. 20 jutaan. Benar bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR RI bisa mencapai 50–60an juta perbulan, tapi bukankah itu masih dipotong setoran untuk parpol dll yang sisanya bisa-bisa hanya tinggal 25–30 jutaan? Sulit dibayangkan kalau mereka harus “mengembalikan modal” sekaligus “menabung” untuk modal kampanye 5 tahun berikutnya. Maka, tak heran jika mereka mulai bermain proyek dan mengutak atik anggaran APBN. Juga memanfaatkan acara kunker ke luar negeri atau mencoba “memeras” BUMN dan Kementrian saat ada masalah yang dibahas dan memerlukan persetujuan DPR. Ujung-ujungnya, bagi yang apes, KPK akan menggelandangnya. Yang masih mujur, tinggal tunggu waktu saja kapan akan terpeleset.

Yang kalah jadi bangkrut, keluarga berantakan, akhirnya stress bahkan gila atau bunuh diri. Yang menang ikut terbawa arus korupsi dan kolusi yang berujung pada jeruji besi dan mempermalukan keluarga. Tak adakah upaya partai politik menyederhanakan Pemilu Legislatif? Bukankah sebenarnya kasihan jika caleg-caleg itu harus menghadapi resiko yang sama buruknya? Semestinya anggota DPR yang terpilih nanti berpikir untuk menyederhanakan Pemilu Legislatif, agar jika mereka akan kembali mencalonkan diri, tak perlu keluar modal banyak.

13958048971658616931
foto : www.republika.co.id

USULAN UNTUK MENDEKATKAN CALEG DENGAN KONSTITUEN

Mungkin ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyederhanakan Pileg, bukan hanya sekedar untuk penghematan biaya kampanye, namun juga efektivitas komunikasi timbal balik antara caleg dan konstituen pemilih.

1. Persempit Daerah Pemilihan dan kurangi kuota pencalonan setiap parpol.
(Hanya 1 kecamatan untuk caleg DPRD Kabupaten/Kota atau hanya 1 Kabupaten/Kota untuk caleg DPRD Propinsi dan caleg DPR RI)

Dengan model seperti sistem distrik, maka 1 kecamatan hanya memiliki 1 kuota kursi DPRD. Sehingga 1 parpol hanya mengajukan 1 caleg saja. Untuk Kecamatan yang jumlah penduduknya padat, bisa saja dipertimbangkan memiliki jatah 2 kursi wakil rakyat. Begitupun untuk Caleg DPRD Propinsi dan DPR RI, kuotanya hanya 1 kursi per kabupaten/kota kecuali kota besar.

Dengan hanya mengajukan 1 caleg saja, parpol mau tak mau akan berpikir keras dan menseleksi caleg yang akan dimajukannya, apakah memang memiliki rekam jejak yang bersih serta dapat diterima masyarakat setempat. Agar tak ada lagi caleg pesohor (artis/seleb/anak pejabat/keluarga petinggi parpol) yang sehari-hari tinggal di Jakarta dan tak punya hubungan emosional/ikatan batin sama sekali dengan suatu daerah, ditempatkan di daerah tertentu, kecuali dia memiliki kontribusi nyata untuk daerah yang akan diwakilinya itu.

Dari sisi caleg, tak perlu sikut-sikutan dengan kompetitor separtai serta tak terjadi friksi dan konflik internal partai menjelang pemilu.

Caleg juga harus kreatif, inovatif dan aktif mensosialisasikan program yang akan diperjuangkan. Dengan hanya terjun di 1 kecamatan, caleg diharapkan lebih optimal bisa “blusukan” dan dikenal calon pemilih.

Begitu pula untuk caleg DPRD Propinsi dan DPR RI, cukup hanya mewakili 1 kabupaten/kota saja, sehingga caleg lebih menguasai dan mengenal dapilnya, mengidentifikasikan kebutuhan dapilnya dan mengintegrasikan program pusat – propinsi – daerah.

2. Beri jeda cukup antara DCS dan DCT

Karena parpol hanya diberi jatah mencalonkan 1 wakil, maka parpol perlu selektif memilih bakal caleg yang akan dimajukan dari suatu dapil. Maka perlu dipertimbangkan ada jeda waktu yang cukup sejak pengajuan DCS (Daftar Calon Sementara) ke KPU/KPUD hingga penetapan DCT (Daftar Calon Tetap) oleh KPU/KPUD. Ini untuk memberi ruang dan waktu bagi masyarakat dan parpol mengevaluasi bakal calegnya.

Salah satu teman saya mengeluhkan, bapak X yang dulu menipu ibu mertua dan teman-teman ibu mertuanya, kini jadi caleg suatu parpol. Teman saya baru tahu ketika si caleg sudah pasang atribut kampanye, artinya sudah ditetapkan DCT. Harus dipahami sebagai sebuah realitas : banyak penipu berkeliaran di masyarakat dengan kedok arisan atau investasi abal-abal, tak pernah diajukan ke meja hijau karena korban-korbannya malas berurusan dengan hukum.

Atau bisa saja ada caleg mengaku bergelar sarjana dari perguruan tinggi Y padahal masyarakat setempat tak pernah tahu dia kuliah.

Nah, informasi semacam itu yang perlu jadi umpan balik bagi parpol dan KPU/KPUD. Masyarakat bisa langsung melapor ke parpol maupun ke KPU/KPUD.

Karena itu, perlu ada jarak antara pengajuan DCS hingga penetapan DCT, semisal 3–6 bulan. Selama DCS, caleg sudah diterjunkan ke dapil agar masyarakat tahu dan segera melapor. Selama ini pemeriksaan DCS ditetapkan jadi DCT hanya dari sisi kelengkapan administratif saja bukan?


3. Perpanjang durasi kampanye pengenalan diri caleg dengan aksi riil.

Agar caleg tak semata mengandalkan baliho/spanduk/poster/kalender untuk mengenalkan diri, maka beri kesempatan caleg untuk benar-benar terjun ke masyarakat dengan melakukan kerja-kerja sosial kemasyarakatan yang riil. Dengan cara ini, caleg “anak mami-papi” yang hanya mengandalkan kekayaan semata, tanpa pengalaman organisasi dan bermasyarakat, bisa tereliminasi. Caleg yang kuat dari segi modal finansial, selama ini cukup membayar tim sukses dan konsultan politik untuk “menggarap” dapilnya atau beli suara dari makelar suara.

Karena itu, perlu dipikirkan pencalegan sekitar 2 tahun sebelum Pemilu. Bukan seperti sekarang setahun sebelum Pemilu tapi hanya perang spanduk dan sejenisnya. Terjunkan caleg ke dapilnya agar teruji komitmennya. Caleg yang tak cukup tangguh akan gugur sendiri, caleg yang hanya mencari peruntungan materiil, akan menyerah sebelum waktunya.

Dengan sistem rekrutmen jauh-jauh hari sebelum Pemilu, parpol juga tak bisa seenaknya dengan instant merekrut artis/public figur/tokoh masyarakat lokal/pengusaha untuk dijadikan caleg dan dipasang sebagai pengumpan. Selama kurun waktu itu pula, bisa dimanfaatkan bersama oleh caleg dan parpol untuk bersama-sama mempersiapkan diri menjadi legislator, belajar politik praktis, dll.

1395804992735568944
foto : www.republika.co.id

Saya pernah mendengar berita VOA beberapa tahun lalu, seorang caleg wanita keturunan Palestina memenangkan pemilu di distriknya. Wajah dan namanya tidak populer, bahkan melafalkan namanya yang berbau Arab saja sudah susah bagi lidah Amerika. Tapi ia dengan tekun “blusukan”, mengetuk pintu rumah warga setiap hari, mengobrol dengan warga kota di distrik pemilihannya, mencari tahu apa yang mereka mau, mengajak berdiskusi apa yang bisa diperbuat untuk warga, dll. Inilah yang benar-benar wakil rakyat. Semalam menonton wawancara dengan seorang ibu koordinator pengerah massa dan seorang bapak makelar suara, saya prihatin karena ini Pemilu ke-4 dalam iklim reformasi, tapi ternyata demokrasi kita menggelinding ke tubir jurang democrazy yang barbar. Semuanya ditentukan oleh uang. Padahal, di negara yang demokrasinya baik, sudah tidak masanya lagi mengedepankan politik uang yang hanya mencetak koruptor-koruptor baru.

Itu semua hanya sekedar sebuah pemikiran yang muncul dari keprihatinan mendalam melihat tingginya biaya kampanye caleg perorangan serta ekses negatif yang ditimbulkan. Namun apakah parpol tertarik untuk mengakomodir, atau ada caleg yang berminat memperjuangkan revisi UU Pemilu kalau dia bisa masuk Senayan kelak? Entahlah…! Sebagai warga negara, saya hanya ingin berbagi pemikiran yang mungkin bisa berguna demi kemajuan demokrasi di negeri ini.

Catatan Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update