Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Media Adalah Bisnis Kepercayaan Publik Dan Fenomena Baru Dalam Dunia Informasi

2 Januari 2014 | 2.1.14 WIB Last Updated 2014-01-02T18:03:16Z




Aksi menimbulkan reaksi. Itu berlaku pada seluruh lini sektor kehidupan. Sebagai pengelola media ini, aksi menimbulkan reaksi sudah beberapa kali saya rasakan. Baik yang bersifat positif kadang juga negatif. Reaksi yang saya alami tentu tidak elok saya ceritakan disini. Keyakinan saya adalah akan selalu menulis hal yang menurut saya patut untuk diketahui publik. Baik itu ranah politik, sosial, news, dan serba-serbi bidang kehidupan lainnya. Saya hanya takut pada Tuhan dan berbuat salah. Saya tidak akan pernah merasa takut jika itu datangnya dari manusia.

Indra J Piliang dan Iwan Piliang hampir senada pernah mengatakan kepada saya tentang media leader opinion dan kontrol sosial sangat diperlukan untuk Pariaman.
Pers memiliki keadah jurnalisme diembannya. Ada hak warga sebagai muara keberpihakan kata Iwan Piliang.

Bicara media, Iwan Piliang dalam sebuah tulisannya yang 'ekstrim' dan Headline di Kompasiana bahkan menyoroti kooptasi media mainstream dipelbagai daerah di Indonesia. Iwan Piliang bahkan membuat reportase terkonfirmasi akan temuannya tersebut. Data yang dimiliki Iwan Piliang dinilai akurat tentang permainan media mainstream dengan beberapa Instansi Pemerintahan hingga kampus. Dia punya kalkulasi angka-angka yang mencengangkan. Ketika tulisan temuannya tersebut jadi pembicaraan hangat di twitter, beberapa tokoh pers Nasional angkat bicara, dan berterimakasih pada temuannya itu. Diantaranya bahkan berjanji akan merevisi sistem jaringan 'main mata' media mereka di daerah.

Iwan Piliang adalah mantan wartawan dan Ketua PWI Reformasi Pusat yang berani mengkritisi profesinya yang pernah dia lakoni sendiri dengan seporadis. Hal tersebut tentu perlu kita apresiasif dengan intropeksi diri. Jika media sudah berada di ranah demikian, tentu pilar ke-4 demokrasi sudah bukan penyangga yang baik lagi. Tulisan Iwan Piliang tersebut bisa dibaca dengan mengklik link ini==>>http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/11/06/sketsa-tsunami-jurnalisme-koran-jualan-isi-redaksi-607022.html

Di Pariaman, cukup banyak media cetak beredar, ada media harian juga mingguan dengan tema yang tentu saja tidak sama. Ada media yang memiliki oplah tinggi dan adapula media beroplah rendah. Media beroplah rendah biasanya mingguan dan tabloid. Segmen mereka pun berbeda. Media mingguan lebih fokus pada kasus-kasus proyek pemerintahan, sedangkan harian lebih luas lagi, ibarat toko swalayan serba ada, banyak rubrik, kolom opini, news, liputan kegiatan, hingga berita kriminal. Semuanya tentu dengan harapan tujuan semula, yaitu sebagai sosial kontrol, baik untuk pemerintahan, instansi vertikal, hingga fenomena sosial dan budaya kekinian.

Media adalah bisnis kepercayaan publik. Hidup matinya sebuah media bukan terletak pada banyaknya modal sipemiliknya, namun apresiasi publik pada media tersebut.


Media yang sudah mendapat trust publik, selama media itu masih mempertahankan hal tersebut, saya jamin akan tetap eksis. Kita bisa ambil contoh BBC, TIMES, WHASINGTON POST, NEWYORK TIMES untuk media Internasional. Mereka sungguh sangat lama eksis, bahkan The Whasington Post dinilai paling berperan atas lengsernya Presiden Amerika Rhicard Nixon dengan kasus The Water Gate.
Sedangkan Media cetak Nasional adalah harian Kompas dan TEMPO. Mereka eksis sesuai jalur mereka masing-masing berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan untuk TEMPO sudah beberapa kali dibredel dizaman pemerintahan Presiden Soeharto. Karena trust publik begitu tinggi pada TEMPO, media tersebut tetap menjadi leader opinion di Indonesia hingga sekarang ini. Majalah TEMPO, jika kita tidak berlangganan, sangat susah ditemukan di pasaran, bahkan tidak jarang diborong ketika masih dibandara oleh oknum yang tidak senang berita di media tersebut menyebarluas di daerahnya.

Fenomena bentrok kepentingan antara bisnis media dan fungsi sosial kontrol adalah bak buah simalakama. Hal itu pernah disampaikan oleh seorang wartawan kepada saya. Disaat dirinya ingin mengangkat isu sensitif, redaksi dan petinggi medianya tidak mempublikasikan. Ini adalah sebuah dilema memang. Media butuh keseimbangan untuk bertahan hidup, disisi lain hal tersebut bertentangan dengan hati nurani mereka yang bersifat kritis.

Dengan fenomena tersebut, tidak jarang wartawan kawakan tingkat nasional mencari alternatif media untuk bersuara. Menurut sahabat saya, umumnya pekerja pers yang kritis tersebut melakukan pemberontakan di ranah sosial media semacam twitter yang lagi booming sebagai alternatif penyebarluasan informasi. Agar identitas mereka tidak diketahui publik, biasanya mereka membuat akun anonim.

Disini saya berkesimpulan, dengan adanya wadah sosial media semacam twitter, facebook dan blogger, hingga youtube. Pilar-pilar 'penyangga demokrasi baru' bermunculan. Anonim yang memiliki data terkonfirmasi terkadang lebih dipercayai publik daripada media mainstream terbesar sekalipun sebagaimana konon hasil survey akun anonim @TrioMacan2000 Versus Detik.com (media online terbesar di Indonesia) baru-baru ini.

Catatan Oyong Liza Piliang
×
Berita Terbaru Update