Sejak pengumuman DCT (Daftar Calon Tetap) yang akan
berlaga di Pemilu Legislatif (Pileg) tanggal 9 april 2014 dirilis KPU,
nyaris tak ada ruang kosong di jalan raya, terutama jalan protokol, yang
terbebas dari spanduk, baliho, poster dan umbul-umbul partai politik
serta para calegnya. Satu sama lain nyaris serupa : ada nama, tanda
gambar/logo dan nomor urut parpol sang caleg; lalu nama lengkap sang
caleg dan nomor urutnya di dapil tersebut. Kalau pun ada tambahan tak
lain adalah slogan sang caleg atau parpolnya. Ada juga yang menambahkan foto ketua umum atau pemimpin parpol yang dijagokan jadi capres dari parpol tersebut.
Sekarang mari kita berhitung, ambil contoh kota
kecil seperti kediaman penulis. Kalau dalam satu Dapil (Daerah
Pemilihan) untuk DPRD tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari 2-3 kecamatan,
masing-masing parpol mengajukan 8 (delapan) orang caleg, maka jika ada
12 parpol yang akan bertarung (9 parpol yang saat ini ada di Senayan,
plus Nasdem, PBB dan PKPI) seluruhnya ada 8 x 12 caleg atau 96 Caleg!
Bayangkan, warga yang punya hak pilih dari 2-3 kecamatan harus mengenal
hampir 100 caleg, itu baru di tingkat caleg DPRD Kabupaten/Kota. Belum
lagi Caleg DPRD Provinsi dan DPR RI yang Dapilnya lebih luas meliputi
gabungan 2 atau lebih kabupaten dan kota.
Nah, kalau ada 100-an lebih Caleg berlaga
memperkenalkan dirinya, mensosialisasikan wajah dan namanya, sementara
cara-cara yang dipakai sama, bisakah warga membedakan antara caleg yang
satu dengan caleg lainnya? Apalagi Caleg DPRD Provinsi dan DPR RI
umumnya bukan warga setempat, melainkan kader partai dari lain daerah
yang “didistribusikan” untuk maju dari Dapil tersebut. Bisakah warga
calon pemilih dengan mudah mengenali sang caleg?
POPULARITAS VS ELEKTABILITAS ; TERKENAL VS DIKENAL
Paling beruntung seorang caleg yang berlatar belakang selebritas,
artis, anak pejabat tinggi (macam Ibas, misalnya). Sudah pasti punya
modal “populer” alias terkenal. Wajahnya sudah sering wira wiri di layar
kaca. Tak perlu pasang baliho dan spanduk banyak-banyak juga sudah
banyak yang tahu siapa dia. Tapi apakah populer sudah pasti jaminan
dipilih? Yang terkenal sudah pasti dikenal? Belum tentu! Orang akan
memilih yang dikenalnya. Karena itu, tebar pesona lewat ratusan spanduk
dan baliho super besar, tak jaminan “dikenal” calon pemilih. Caleg yang cerdas akan lebih memilih mengenalkan dirinya langsung kepada konstituen agar dikenali secara personal dan setelah saling mengenal, jika cocok di hati akan punya peluang dipilih.
DIFERENSIASI
Dalam dunia marketing, diferensiasi
itu sangat penting! Jika suatu produk tak ada bedanya dari yang lain,
bagaimana akan dikenali? Begitupun dalam memasarkan dirinya, seorang
Caleg yang memakai cara-cara sama, kemasan sama dengan puluhan bahkan
ratusan caleg lainnya, tentu akan sulit dikenali dan dibedakan dari
lainnya. Spanduk yang modelnya sama itu sudah dilakukan hampir semua caleg. Karenanya caleg harus pandai mensiasati dan membuat perbedaan yang berarti. Hanya saja, terkadang upaya membuat perbedaan itu justru jadi terlihat lucu atau malah gagal fokus pada diri sendiri atau gagal menunjukkan bahwa “I am is myself”. Berikut 3 contoh
spanduk yang mencoba berbeda namun pesannya justru tak mengena. Bahkan
penonton/pembaca spanduk – baiklah kita pakai istilah “komunikan” (penerima pesan dalam komunikasi) – bisa gagal paham dengan maksudnya.
1. BERDANDAN ALA HITLER
Entah apa yang ada di benak caleg dari partai
Demokrat ini sehingga dia memilih berdandan ala Hitler lengkap dengan
topinya yang terkesan dipaksakan. Bahkan jika dicermati fotonya dari dekat, terkesan topi itu hanya “nangkring” saja di kepala. Dalam atribut resmi Partai Demokrat, topi macam itu
memang tak pernah terlihat. Atribut lainnya memang asesories khas PD.
Posisi telunjuknya yang menuding pun mirip gaya Hitler. Kesan apa yang
hendak ditanamkan di benak calon pemilih? Bengis? Tegas? Atau
jangan-jangan publik malah mendapat kesan “ini orang tukang main perintah doang, gak mau turun ke bawah”. Ada kalimat : “APBD untuk rakyat..!”.
Kepada siapa dia memerintahkan itu? Sebab, caleg ini sesungguhnya sudah duduk di DPRD tapi dari parpol lain (sebelumnya dia dari partai kuning dan kini ganti baju ke partai biru mercy). Tanpa menuding dengan garang ala Hitler, kalau dia berhasil menggiring APBD semuanya murni untuk kepentingan rakyat, tentu konstituennya percaya bahwa dia punya komitmen untuk mengalokasikan APBD bagi kepentingan rakyat, tanpa harus berdandan ala Hitler segala.
Lalu ada lagi pesan moral : “Banyak-banyaklah berbuat baik, sebab kita tidak tau perbuatan baik mana yg menghantarkan kita ke syurga”.
Saya tak hendak membahas ejaannya yang kacau dan tak sesuai kaidah EYD.
Tapi apa sebenarnya yang dia maksudkan dengan “perbuatan baik” yang
dinukilnya dari hadis (lengkap dengan huruf Arab) itu? Sebab kalimat itu
tertera di bawah tulisan “Coblos No. #”. Apakah
berarti mencoblos nomor sekian (nomor urut sang caleg) adalah perbuatan
baik yang mungkin saja mengantarkan kita ke surga? Kalau bukan itu yang
dia maksudkan, lalu apa hubungannya antara pesan moral lewat hadis itu
dengan visi dan misi yang dibawa sang caleg? Bukankah Demokrat partai
nasionalis, bukan partai Islam? Kenapa harus berkampanye dengan membawa
hadis? Nah, inilah “pesan” membingungkan dari spanduk caleg yang nota
bene sudah jadi anggota DPRD ini. Gaya Hitlernya itu jadi ciri khas di
semua baliho bahkan mobil bergambar dirinya.
Akan lebih elok kalau sang caleg yang kebetulan berstatus incumbent,
menampilkan foto-fotonya yang egaliter, merakyat, kiprahnya selama ini
untuk konstituennya, kebersamaan berdialog dengan konstituen saat masa
reses, tunjukkan infrastruktur jalan atau proyek untuk rakyat apa saja
yang dibiayai APBD berkat inisiatif usulan darinya. Namun jika sang
caleg – meski incumbent – hanya menjadikan konstituen sebagai
ladang suara saat Pemilu dan tak dirawat selama 5 tahun, tak disambangi
setiap masa reses, maka jangan heran jika dia tak punya stok foto
semacam itu dan memilih berdandan ala Hitler sambil berteriak “APBD
untuk rakyat…!”
2. PASANG FOTO JOKOWI
Pada spanduk berukuran 0,5 x 3
meter ini terpampang 3 wajah, urut dari kiri : Jokowi, Megawati dan sang
caleg sendiri. Caleg ini bukan caleg DPR RI, apalagi Caleg DPRD DKI.
Dia hanyalah caleg DPRD Kota tempat penulis tinggal. Lalu apa
hubungannya memasang foto Jokowi? Sekedar ikut-ikutan spanduk beberapa
caleg PDIP lainnya di wilayah DKI? Memang di DKI sempat disoroti media
massa perihal marakya spanduk caleg PDIP yang memasang foto Jokowi,
bahkan kadang ditambah tulisan “pilih ini saja”, seolah Jokowi
menyarankan memilih caleg tersebut. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan
Jokowi, karena akan menimbulkan kecemburuan antar caleg PDIP. Nah, kalau
klaim yang sama dilakukan caleg PDIP dari daerah lain yang tak ada
hubungannya dengan Jokowi dan tak punya sejarah kedekatan psikologis
dengan Jokowi – seperti Solo, misalnya – apakah hal ini tak menimbulkan
makna bias? Artinya sang caleg hanya numpang ngetop dari Jokowi dan baju kotak-kotaknya. Mungkinkah sang caleg kurang percaya diri kalau dia tampil sendiri?
Di bawah foto Jokowi ada tulisan dengan huruf kapital “HEBAT”.
Siapakah yang hebat? Jokowi ataukah itu pernyataan Jokowi mengenai diri
sang caleg? Di bawah foto Megawati ada deretan tulisan “Humanis, Energik, Berani, Amanat, Tanggap”. Siapakah yang dimaksud punya sifat dan karakter seperti itu?Megawati-kah? Atau justru Megawati yang memuji sang caleg? Kalau
tulisan itu tak ditujukan pada Jokowi maupun Megawati, tapi juga bukan
testimoni Jokowi dan Megawati atas diri sang caleg, lalu apa maknanya?
Apakah berarti sang caleg sedang memuji dirinya sendiri?
Tidakkah itu terlalu berlebihan mengingat begitu banyaknya klaim namun
tak ada satupun foto yang menunjukkan kiprah sang caleg di tengah
masyarakat?
3. TERLALU “RAME” DAN GAGAL FOKUS
Satu lagi spanduk caleg yang ingin berbeda, namun justru membingungkan dan tidak eye catching.
Spanduk di atas dipasang di tembok persis di tikungan masuk ke sebuah
gang.Ukurannya hanya 0,5 x 1 meter, namun banyak sekali “muatan”
sehingga terkesan overload dan rame. Pada bagian kanan
atas terpampang 2 wajah pria dengan atribut yang sama : peci hitam dan
jas yang sama. Setiap wajah disertai keterangan dengan huruf tak terlalu
besar. Ada Muhaimin Iskandar sang Ketua Umum PKB, ada anggota DRPD PKB
dari kota tersebut dan Ketua Pemenangan Pemilu (sebuah jabatan internal
dari struktur partai di tingkat lokal) PKB di Kota itu. Untuk apa
sebanyak itu tokoh dicantumkan? Kenapa tak sekalian tampilkan Ketua PKB di organisasi tingkat Kota itu?
Sementara di bagian tengah atas ada huruf Arab berlafadzkan “Assalamu’alaikum warohmatullaahi wa barokatuh”. Bagian bawah tengah sampai mentok ke kanan dipenuhi kalimat klaim “PKB Partai yang tidak terlibat KASUS KORUPSI baik di tingkat Pusat maupun di Daerah. Kami BENCI KORUPSI”. Ini seolah penjabaran panjang dari slogan “Katakan TIDAK pada korupsi”. Foto sang caleg sendiri ada di sisi paling kiri. Spanduk
kecil ini terasa penuh sesak dengan beragam deretan huruf dan angka,
sehingga mata komunikan tak bisa fokus pada pesan utama yang hendak
disampaikan sang caleg.
Dalam teori “komposisi” di dunia fotografi – yang saya dapat ilmunya dari senior di Grup Kampret (Kompasianer Hobby Jepret) – letakkan obyek utama foto pada 1/3 bidang. Utamanya pada 1/3 bagian atas dan 1/3 bagian kanan. Ini sesuai dengan kecenderungan arah mata pemirsa. Itu sebabnya headline
sebuah koran kerap diletakkan di 1/3 bagian kanan atas. Nah, jika
diperhatikan spanduk caleg PKB di atas, 1/3 sisi kanan atas justru
didominasi oleh 3 wajah pria : Muhaimin Iskandar, dkk.
Jadi siapa yang sebenarnya hendak “dijual” oleh spanduk ini? Sebab ketiga wajah bergerombol di kanan atas tentu lebih menarik perhatian ketimbang sebuah wajah yang sendirian di pojok kiri. Belum lagi terlalu
banyaknya kalimat pesan dan slogan, membuat ajakan untuk mencoblos sang
caleg serta informasi mengenai diri sang caleg, “tenggelam” oleh hiruk
pikuknya tulisan yang berbeda-beda warna, ukuran dan jenis font-nya.
Ternyata penulis menemukan spanduk lain dari caleg
yang sama. Ukurannya sekitar 0,5 x 3 meter, dipasang memanjang di pagar
sebuah rumah. Karena pagarnya rendah, maka spanduk itu pun letaknya
rendah sehingga sejajar dengan keranjang sampah bahkan tertutup sapu
lidi. Spanduk panjang ini pun sama layout-nya. Karena spanduk
ini dipasang di sebelah kiri jalan, maka kendaraan yang melintas dekat
spanduk itu adalah yang berjalan dari arah kiri menuju ke kanan spanduk.
Sekali lagi, ketika pengguna jalan melintas, yang terlihat justru 3
wajah pria di sebelah kanan. Sebab mata secara otomatis melihat
obyek yang masih ada di depan mata saat pengendara/pejalan kaki
melintas, bukan pada apa yang sudah dilewati. Jadi, spanduk yang “rame” ini justru lost focus.
=============================================
Dari berpuluh-puluh spanduk caleg yang
bertebaran di kota tempat tinggal penulis, kebetulan 3 spanduk/baliho
caleg itu yang tampak berusaha tampil beda dibanding lainnya yang
relatif mirip layout-nya. Namun, sekedar/asal berbeda saja tidaklah cukup. Perbedaan yang memberi makna lebih tentunya. Jujur saja, saya jadi ilfeel
melihat caleg berpenampilan seperti Hitler. Bukankah Hitler sendiri
citranya tidak bagus? Begitupun caleg yang merasa perlu membawa beberapa
tokoh lain untuk dicantumkan di spanduknya, dan di-setting
seolah ada dukungan dari tokoh yang dibawanya. Akankah jika kelak
kepemimpinan partainya berubah atau tokoh yang dibawa-bawanya terkena
masalah dia tetap setia? Semestinya secara etika begitu, karena dia
sudah pernah numpang ngetop dengan memasang wajah sang tokoh.
Selain itu, pemasangan spanduk, baliho,
umbul-umbul sebagai media iklan luar ruang, sebenarnya tak luput dari
aturan dan pajak daerah. Lebaran lalu, penulis dan rekan seangkatan
mengadakan reuni SMA. Sebulan sebelumnya panitia sudah bekerja, termasuk
hendak memasang 2 buah baliho besar dan 3 spanduk yang akan dipasang di
titik yang dianggap strategis di kota eks sekolah kami. Seorang rekan
yang memiliki usaha EO (event organizer) dan seorang lain yang
bekerja sebagai marketing perusahaan rokok ternama, mengingatkan soal
perijinan serta biaya pemasangan baliho dan spanduk. Kebetulan salah
satu rekan penulis lainnya bekerja sebagai staf di KPUD setempat, yang
terbiasa mengurus perijinan pemasangan alat peraga. Kami pun menyerahkan
urusan perijinan dan pembiayaannya pada rekan tersebut dengan anggaran
dari panitia. Nah, bagaimana dengan para caleg?
Sudahkah mereka mematuhi
aturan Pemkab/Pemkot setempat soal perijinan spanduk dan baliho?
Sudahkah mereka membayar biaya retribusinya? Atau sekedar pasang sesuka
hati, tancapkan di pohon dengan paku besar, kelak saat tiba hari tenang
tak bertanggung jawab mencopot segala macam atribut peraga kampanye
dengan alasan itu dipasang oleh tim sukses dan pendukungnya? Semoga saja
caleg itu sadar, kalau belum jadi saja sudah melanggar, bagaimana kelak
kalau sudah jadi anggota legislatif yang bertugas merumuskan aturan dan
perundangan?
Bagaimana pun, itulah “wajah” spanduk promosi
para caleg. Bahasa marketingnya kadang tak jelas maksudnya. Bagaimana
dengan spanduk caleg di sekitar tempat tinggal anda? Setali tiga uang
ataukah lebih berkualitas? Selamat memilih caleg sesuai hati nurani
anda.
Catatan Ira Oemar