Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Membahas Ibas

8 November 2013 | 8.11.13 WIB Last Updated 2013-11-08T14:26:19Z
        Ibas hanya melongo mendengarkan bapaknya berorasi (foto : politik.news.viva.co.id)



Menjadi pesohor memang enak, tapi tentu beresiko privasinya terganggu. Public figure atau selebrita atau tokoh masyarakat, apapun istilahnya, seolah sudah jadi kesepakatan umum bahwa seluruh sisi kehidupan mereka berhak diketahui publik. Bukan hanya diberitakan untuk sekedar diketahui, bahkan lebih jauh untuk dikomentari, dipolemikkan bahkan kadang dihujat. Kadang, ranah privasi pesohor yang dicoba terobos media sudah terlalu jauh dan malah memperkeruh suasana. Semisal saat istri almarhum Uje, Pipik Dian Irawati, menyatakan kesedihannya melihat makam suaminya sudah ditinggikan, media kemudian mengkonfrontasikan berita itu secara berlawanan dengan pihak kakak serta Ibunda almarhum Uje. Maka, tergiringlah opini publik dan akhirnya terjadi pro-kontra, meski sebagian besar bersimpati pada Pipik. Untunglah kemudian Ibunda Uje sepulang dari tanah suci memberikan pernyataan yang intinya berbesar hati jika makam Uje akan dipugar dan dikembalikan ke bentuk semula.

Terkadang, proporsi “keusilan” media dan “nyinyir”nya masyarakat tak sebanding dengan tingkat popularitas sang pesohor yang jadi sumber berita. Ambil contoh kasus yang sedang menimpa Eddies Adelia. Siapakah dia? Artis top juga bukan, mungkin dulu pernah jadi pesinetron dan bintang iklan, tapi sekarang sudah tak terlalu populer. Kini, suaminya ditangkap polisi terkait kasus dugaan penipuan. Berhubung Eddies masuk kategori seleb, maka kasus yang sebenarnya banyak menimpa orang kebanyakan itu pun jadi besar. Eddies pun disorot dan diuber awak media. Padahal, dia belum tentu tahu sepak terjang suaminya di dunia bisnis, apalagi baru menikah belum genap setahun. Lagi pula, apa pentingnya – dan apa untungnya – bagi publik untuk menguber-uber Eddies? Bukankah suaminya sebagai terduga pelaku sudah ditangkap polisi?

Begitupun pesohor di dunia politik dan para pejabat publik. Bahwa mereka harus diawasi media dan rakyat berhak tahu sepak terjangnya, penulis sepakat. Tapi sepanjang itu berkaitan dengan kinerjanya, integritas moralnya, kredibilitasnya dan kapabilitasnya dalam mengemban tugas yang diamahkan kepada yang bersangkutan. Tapi jika itu menyangkut kehidupan pribadinya – selama tidak membawa jabatan yang melekat padanya – apalagi soal seleranya, rasanya mubazir dijadikan topik bahasan di media massa. Seperti yang ramai dibincangkan 2 hari ini soal kebiasaan Ibas mengenakan baju berlengan panjang. Pentingkah itu dibahas?


Ada nama Yudhoyono di belakang nama Ibas, itu yang membuat gunjingan tentangnya jadi lebih renyah untuk dikunyah. Ibas pribadi juga seorang politisi (Sekjen Partai Demokrat) yang juga menantu politisi senior (Ketua Umum PAN dan Menko Perekonomian). Ibas pernah menduduki jabatan publik sebagai legislator di Senayan, meski akhirnya mundur dengan alasan pribadi, sebelum masa bhaktinya tuntas. Jadi, kalau akan membahas Ibas sebaiknya dalam konteks apa? Anak SBY yang kebetulan sedang jadi Presiden? Atau menantu Hatta Radjasa yang kemungkinan bakal jadi kandidat Capres 2014? Atau sebagai Edhie Baskoro Yudhoyono yang politisi dan mantan anggota DPR RI? Ibas bukan lagi anak kecil, tindak tanduknya adalah tanggung jawab pribadinya. Jadi, kalau mau membahas Ibas, bahaslah dia sebagai “selebrita politik”, sebagai mantan penyelenggara negara yang mundur di tengah jalan. Bukan soal baju lengan panjang kesukaannya.

=================================

Edhie Baskoro Yudhoyono, pada pileg 2009 maju dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VII (Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Magetan). Kita tentu maklum kenapa Ibas yang sehari-hari tinggal di Jakarta – dan belum tentu setahun sekali menengok Pacitan – justru dijadikan wakil rakyat dari daerah tersebut. Ya, Pacitan adalah tanah kelahiran SBY, bapaknya Ibas. Wajar jika Pacitan menjadi lumbung suara dukungan bagi Ibas tanpa perlu bersusah payah melakukan kerja-kerja politik untuk meraih simpati dan kepercayaan masyarakat pemilih. Begitupun pada pileg 2014 nanti, Ibas kembali maju dari Dapil Jatim VII, Pacitan dan sekitarnya. Potensi raihan suara pendukung fanatik SBY terlalu sayang untuk disia-siakan. Hanya Ibas-lah pewaris sah nama Yudhoyono yang punya peluang untuk nyaleg. Masa iya Pak Beye atau Bu Ani mau nyaleg? Apalagi si sulung, Agus Harimurti Yudhoyono yang statusnya militer aktif. Jadi, pencalonan kembali Ibas dari Dapil Jatim VII adalah sebagai vote getter, agar suara potensial itu tak mubazir.

Lalu, apakah itu jadi masalah? Secara legal formal tentu tidak, Ibas memenuhi syarat sesuai UU Pemilu dan diloloskan oleh KPU, tak ada yang berhak menganulirnya. Tapi mari kita cermati kinerja dan etika Ibas selama dia jadi wakil rakyat. Bahkan bila perlu, mundur ke bekalang saat Ibas maju sebagai caleg pertama kali pada Pileg 2009 lalu. Sah-sah saja dan bahkan perlu publik mengkritisi hal ini, agar rakyat Pacitan yang akan memilih nantinya bukan sekedar memilih hanya karena nama Ibas disingkat EBY, mirip nama bapaknya : SBY. Baiklah kita mulai cermati langkah politik Ibas sejak mencalonkan diri jadi wakil rakyat pada Pileg 2014.


Saya tak ragu bahwa Ibas seorang yang berpendidikan formal tinggi. Ijazahnya bisa membuktikan itu. Tapi apakah otomatis Ibas punya capability menjadi legislator dan penyambung suara rakyat yang diwakilinya? Bagaimana kiprah Ibas dan upaya-upayanya mendekati konstituen guna mendulang suara pemilih? Saya masih tinggal di Surabaya saat hiruk pikuk persiapan Pileg 2009 sampai usai. Media lokal baik koran maupun saluran TV lokal, marak memberitakan kampanye para caleg turun ke Dapil. Apalagi kalau caleg tersebut tokoh yang cukup dikenal publik, misalnya caleg incumbent yang sudah sering muncul di TV, caleg dari kalangan artis dan foto model, caleg anak pejabat, dll. Nah, berita soal kampanye Ibas yang mengabarkan Ibas turun langsung ke Dapil dan berinteraksi dengan calon pemilih, bisa dikatakan tak pernah ada.

Sebuah buku karya Mas Wisnu Nugroho – wartawan Kompas yang selama masa kampanye Pileg sampai Pilpres bertugas meliput kegiatan Pak Beye dan Partai Demokrat – yang dirilis tahun 2010 berjudul PAK BEYE DAN POLITIKNYA lebih jelas memberikan gambaran betapa konyolnya kampanye Ibas di jawa Timur. Salah satu buku dari Tetralogi Sisi Lain SBY ini sejak awal sudah membuat penulis terbahak-bahak saat membaca Bab 1 tentang KAMPANYE, khususnya sub bab SURABAYA pada halaman 34–37. Baiklah penulis kutipkan saja secara utuh, agar anda juga ikut terbahak menikmati rangkaian kalimat Mas Wisnu Nugroho berikut :

“Karena berlokasi di Surabaya, Mas Ibas diberi tempat juga. Bukan berbicara tentunya, melainkan untuk tampil lebih ke muka. Di muka, Mas Ibas yang murah senyum menunjukkan cara memperagakan simbol partai yang dibina orang tuanya dengan jari-jarinya. Meskipun posternya telah ada, peragaan langsung tampaknya perlu juga. Rakyat terbukti terpikat dengannya meski tanpa suara. Apa yang diraih Mas Ibas dengan menjadi juara tidak hanya di dapilnya, tetapi juga di seluruh Indonesia tanpa bersuara bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja. Mungkin juga anda yang ingin nyaleg pada 2014 nantinya. Tentu saja modal lain tetap harus dipunya. Tidak perlu disebutkan modal lainnya. Anda sudah bisa menduga apa. Kalau tidak bisa menduga juga, saya beri satu saja : nama keluarga.” (hal. 35)

Gaya reportase Mas Wisnu yang kocak, membuat kalimat-kalimat sinisme – bahkan sarkasme – diatas lebih bisa mengocok perut. Jadi, kita semua paham bukan bahwa Ibas sang anak emas itu hanya mengekor Bapak dan Ibunya naik ke atas panggung super besar dan megah, bukannya berorasi, memperkenalkan diri serta visi dan misi yang akan dibawanya, program-program yang akan diperjuangkannya, tapi sekedar mengangkat 2 tangan dan merangkai 2 telunjuk plus 2 jempol jadi logo bintang mercy. Cukup dengan begitu saja sudah mendulang suara terbayak se-Indonesia raya merdeka! Sungguh ther-lha-luh!

Sebenarnya menyedihkan juga kondisi kesadaran pemilih di dapilnya si Ibas, karena mereka lebih tersihir memilih wakilnya hanya karena bekal nama Yudhoyono. Dan ini jadi tanggung jawab semua pihak yang ingin kehidupan berdemokrasi jadi lebih berkualitas, untuk membangun pemahaman partisipasi politik yang cerdas, memilih yang bijak melakukan pemberdayaan terhadap calon pemilih untuk tidak memilih hanya karena fanatisme asal usul dan keturunan sang calon. Penulis bahkan masih ingat, jelang hari H pencoblosan, saat memasuki masa tenang 3 hari, ada televisi yang memberitakan salah satu warga yang melaporkan dugaan tindakan politik uang oleh tim sukses Ibas. Anehnya, justru pelapor itu yang lebih dulu diproses di Kepolisian setempat dengan tuduhan pencemaran nama baik, ketimbang menindaklanjuti laporannya.


Masih seputar buku Mas Wisnu, pada halaman 109 ada foto bus kampanye super-besar bergambar Ibas dengan jari-jari tangan memperagakan simbol Demokrat dan bertuliskan nama lengkap Ibas. Bus yang diparkir di Surabaya itu ditulis “sumbangan teman-temannya”. Siapakah sponsor kampanye Ibas di Jatim? Apakah sudah sesuai aturan KPU nilai nominalnya? Sudahkan sumbangan itu dilaporkan? Sebab, masih di bab 1 pada sub bab “BUS SEPULUH PELANTANG” dikupas soal bus kampanye SBY dan Demokrat yang dijaga keseragamannya demi mempertahankan “cita rasa” kampanye yang sama oleh Fox Indonesia – lembaga “pencitraan” milik Trio Mallarangeng – dimana dekorasi bus dibuat mirip satu sama lain. Ukuran bus itu pun khusus, sangat panjang, sehingga perlu ada ijin khusus dari Departemen Perhubungan.

Dan…, bus milik Ibas yang konon katanya sumbangan teman-temannya itu, mirip sekali dengan bus kampanye SBY. Kebetulan tempat tinggal penulis dulu sekitar 500-an meter dari stadion Tambaksari, tempat dimana kampanye akbar SBY dan Demokrat – diikuti Ibas – dilaksanakan. Jadi penulis melihat sendiri kehebohan, kemeriahan sekaligus kemewahan kampanye itu dan puluhan bus yang memacetkan hampir seluruh ruas jalan Surabaya. Termasuk seragamnya spanduk/baliho yang menyelimuti badan bus-bus yang datang dari berbagai kota di seantero Jawa Timur. Nah, apakah ada pemisahan dana kampanye untuk Ibas pribadi dengan kampanye partai Demokrat yang melibatkan SBY sebagai jurkamnas Demokrat? Ataukah Ibas nebeng begitu saja? Ini tentu perlakuan tak adil bagi caleg Demokrat lainnya yang harus berjuang sendiri dan keluar biaya sendiri untuk menunjang kampanye mereka.

Usai Pileg, melengganglah Ibas menuju Senayan dengan perolehan suara terbanyak se-Indonesia. Kita nyaris tak pernah mendengar kiprah Ibas di Senayan. Anggota DPR lain malah lebih sering diliput media massa, karena kiprah mereka lebih terasa gaungnya. Ibas juga tak pernah tampil dalam acara-acara dialog atau talk show – baik on air maupun off air – yang dihadiri awak media dan pengamat serta masyarakat umum. Jadi, layak kita pertanyakan kemampuan Ibas berargumen dan perannya dalam proses legislasi, yang tentunya tidak butuh caleg yang hanya datang–duduk manis–diam dan ikut meramaikan voting saat sidang paripurna agar opsi yang diusung partainya menang.

14 Pebruari 2013, dengan alasan ingin fokus menjalankan tugas kesekjenan di Demokrat, serta alasan tambahan anaknya sedang sakit, Ibas mundur dari keanggotaan di DPR. Entah kebetulan atau tidak, pengunduran ini terjadi hanya selang 2 hari setelah media massa ramai memberitakan Ibas tertangkap kamera ngabur dari ruang sidang melalui pintu belakang dan ada petugas yang menyodorkan absen pada Ibas untuk ditandatangani, meski faktanya Ibas pulang sebelum sidang dimulai. Let’s see : amanah dan suara dari sekian banyak konstituen di dapilnya, dikalahkan begitu saja dengan urusan partai dan pribadi/keluarga. Sebagai peraih suara terbanyak se-Indonesia, etiskah perilaku politik Ibas itu? Keteladanan Ibas sebagai wakil rakyat yang baik dan rajin mengikuti sidang, perlu dipertanyakan. Salah satu tugas anggota DPR adalah ikut sidang, Apapun alasannya, kesampingkan urusan pribadi dan kelompok demi menjalankan fungsi sebagai wakil rakyat, bukannya ngabur di bawah kawalan ajudan.

Ironisnya, hanya selang 2 bulan setelah mundur, Ibas kembali nyaleg! Sebuah tindakan plin-plan! Alasannya : suara konstituen di Pacitan dan sekitarnya menghendaki Ibas maju. Lha, waktu mundur kemarin pertimbangan suara konstituen diselipkan dimana?! Bukankah waktu mundur tak sepatahpun kata bahwa Ibas mendengar suara konstituennya yang ingin dia tetap duduk di Senayan? Para pemilih memberikan suaranya pada Ibas tentu bukan untuk berhenti di tengah jalan. Itu namanya mempermainkan suara pemilih! Ibas hanya dijadikan vote getter bagi Demokrat yang sejak kasus Nazaruddin terus terpuruk. Dimana lagi Demokrat bisa berharap dukungan pada Demokrat akan tetap tinggi kalau bukan di tanah kelahiran SBY? Seperti penulis uraikan di atas : hanya Ibas-lah pewaris sah nama Yudhoyono yang punya peluang untuk nyaleg! Kalau politisi lain yang maju dari Dapil Pacitan dan sekitarnya, belum tentu raihan suaranya sebanyak Ibas.

Nah, para pemilih di Dapil VII Jawa Timur, masihkan akan pilih caleg yang hanya berbekal nama besar bapaknya? Sementara kapabilitas dan kompetensinya sebagai legislator masih perlu dipertanyakan. Juga konsistensinya untuk tetap memperjuangkan amanah pemilih. Issu macam inilah yang perlu disuguhkan pada publik calon pemilih, ketimbang rumpian soal baju lengan panjang Ibas. Selamat menjadi pemilih cerdas!


Catatan Ira Oemar, Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update