Sumber Foto : Antarafoto.com
Sekarang masyarakat di sepanjang Kota Padang dan Kabupaten
Padang Pariaman sedang menghadapi musim layang-layang. Mulai dari kalangan
anak-anak, remaja dan sampai pada yang tua lagi sedang demam layang-layang.
Berbagai bentuk dan variasi layang-layang yang ditampilkan, mulai dari layang
papau, layang maco, layang sugirai, layang sikapak dan layang-layang jantan
badanguang.
Permainan layang-layang tersebut dilakukan di berbagai
tempat, mulai di sawah, di lapangan terbuka, pokoknya lokasi yang memungkinkan
mereka untuk manjoak an (maanjungan), untuk memulai menaikkan layang-layang.
Permainan layang-layang disebut juga dengan permainan
tradisional anak nagari. Tentu ada sejarah atau yang melatarbelakangi munculnya
permainan ini di awal kemunculannya, bahkan sampai dijadikan sebagai salah satu
permainan anak nagari. Biasanya setiap permainan anak nagari dibuat dan
dikontruksikan oleh pendahulu kita, ada tujuan dan nilai filosofinya.
Apapun itu yang pasti dalam pembuatan layang-layang itu ada nilai estetikanya, seni pembuatan dan nilai kreatifitasnya sehingga menghasilkan bentuk yang indah dengan warna dan gambar yang unik. Ada berbentuk pesawat, palang merah, palang hitam, silempang, burung dan lain sebagainya.
Permainan layang-layang bisa bermakna politis, karena kata
orang lapau, salah satu yang menyebabkan manusia lupa dan lalai dengan waktu
adalah ketika layang-layang sedang tegak tali, di samping ketika ota
(pembicaraan) sedang didengarkan orang dan pancingan dicatuih (digigit) ikan.
Begitu juga dengan politik, yang memberikan harapan dan mimpi yang akan bisa
merubah status seseorang, dari yang biasa saja bisa beribah menjadi luar biasa,
apalagi sekarang kita berada pada tahun politik. Kita bisa saja menafsirkannya,
sesuai dengan sudut padang kita. Politik layang-layang ada positifnya dan ada
juga negatifnya.
Politisi
pada tahun politik ini sama halnya dengan layang-layang pada musim
layang-layang. Partai politik sebagai produsen politisi mengusung calon yang
akan bisa memenangi hati rakyat, dengan berbagai cara dan pendekatan yang
dilakukan. Mulai dengan pemajangan baliho di berbagai tempat strategis, seperti
baliho permanen, spanduk dipajang di batang pohon, tonggak listrik dan lain
sebagainya sebagai media promosi dengan penampilan yang juga beragam. Seperti
memakai peci atau kupiah, pakai baju jas, baju koko dengan selamirinya, dan ada
juga dengan memakai atribut atau jaket partainya. Ekspresi yang ditampilkan
juga beragam sesuai dengan keinginan si calon didefinisikan seperti apa. Ada
dengan ekspresi tertawa, dengan harapan agar dipersepsikan sebagai orang yang
fresh, bahkan ada juga dengan tampilan tersenyum. Semua itu dilakukan
agar menjadi faktor penarik minat masyarakat untuk memilihnya. Dalam teori
political marketing disebut dengan istilah positioning.
Menarik
memang untuk didiskusikan kaitan lomba layang-layang dengan pemilihan umum.
Pemilihan umum adalah sebuah sarana demokrasi untuk memilih wakil rakyat dan
pemimpin. Sedangkan lomba layang-layang adalah ajang pertandingan memilih
layang-layang yang terbaik, mulai dari aspek ketinggian, keindahan gerakannya,
keindahan bentuk rupa dan gambar serta warnanya. Artinya layang-layang yang
terbaik dan ditetapkan sebagai pemenang tidak sekedar tinggi saja, tetapi juga
keindahan gerakan/ goyangannya bersama dengan keindahan bentuk rupa dan
warnanya. Ada beberapa indikator yang menjadi penilaian bagi tim penilai atau
pemilih layang-layang terbaik, antara satu indikator dengan indikator lainnya
mempunyai kaitan. Semua indikator itu harus terpenuhi dan dimiliki oleh
layang-layang tersebut secara utuh dan komprehensif.
Lomba layang-layang kalau dikait-kaitkan dengan politik, ternyata bisa juga dan ada relevansinya. Bahwa pemilihan umum juga merupakan ajang kompetisi, setiap calon di alam demokrasi diberi kesempatan untuk mensosialisasikan diri dan menonjolkan yang terbaik dari masing-masing calon dalam bentuk promotion. Seperti pada masa kampanye masing-masing calon memajang diri dengan fashion dan penampilan yang dianggap menarik oleh masyarakat seperti halnya layang-layang yang dibuat seindah dan semenarik mungkin, baik dalam bentuk warna, tagline, tema dan gambar.
Suatu hal
yang harus menjadi perhatian bagi politisi kaitannya dengan lomba layang-layang
adalah, bahwa layang-layang itu akan bisa naik kalau sudah terpenuhi beberapa
unsur berikut ini. Pertama, harus ada orang yang menarik benang layang-layang.
Kedua ada orang yang membantu menganjungkan (menjuak an) layang-layang. Ketiga,
untuk bisa layang-layang naik tinggi harus ada benang yang panjang dan kuat.
Keempat, stock benang harus tersedia dalam bentuk puntaran. Kelima, angin harus
stabil dan cuaca kondunsif.
Poin
pertama dalam konteks politik dari unsur di atas adalah peran partai politik.
Partai politik mempunyai peranan yang sangat strategis untuk mengajukan calon
wakil rakyat yang berkualitas, mempunyai kapasitas dan integritas. Tentu tidak
sekedar menaikan dan mencalonkan saja. Partai politik sudah harus punya
sistem rekrutmen kader yang terukur untuk menjaring dan menyeleksi kader yang
akan diajukan dalam kompetisi demokrasi melalui pemilihan umum. Seyogyanya
partai politik tidak sekedar usung calon, memilih secara karbitan tanpa
melewati proses pengkaderan apalagi kalau hanya mengedepan uang yang dimiliki
si calon.
Biasanya
pemilik layang-layang sebelum membawa dan mengikutsertakan layang-layangnya
dalam pertandingan, sudah memastikan bahwa layang-layang yang akan berlaga itu
sudah teruji, ada succes story dan sudah dipersiapkan sebelumnya. Contohnya
sudah beberapa kali dinaikan melalui uji coba, menilai apakah enggaknya
(goyangannya) sudah seimbang?, apakah tali terajunya sudah terpasang dengan
baik?, apakah tidak ada yang gedek (berat sebelah)?,apakah layang-layang itu
bisa mengangkat benangnya dalam bentuk tegak tali?. Semuanya menjadi perhatian
sebagai ajang seleksi terhadap track record atau rekam jejak prestasi yang
bersangkutan, apakah layang-layang tersebut layak untuk diikutkan lomba.
Termasuk juga ukuran kelasnya? Apa layak untuk tingkat tali 2, tali 3 atau tali
4.
Partai
politik juga harus mempunyai tahapan seleksi dan menilai dulu apakah bakal
calon tersebut berkualitas secara intelektual, matang secara emosional, kuat
secara spritual, teguh secara moral, peduli dan empati secara sosial dan boleh
juga dimasukan mapan secara finansial. Mapan secara finansial tidaklah menjadi
wajib, namun bisa diposisikan sebagai sunnat. Kemudian menilai untuk dicalonkan
pada tingkat mana? Apa untuk DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Poin
kedua, bahwa layang-layang tidak bisa naik dengan sendirinya tanpa dukungan dan
bantuan dari orang yang menjoak an (menganjungkan). Dalam hal politik bisa juga
dikatakan bahwa seorang calon tidak akan bisa melakukan proses dan tahapan
politik secara sendirian. Si calon akan dan pasti membutuhkan orang lain dalam
bentuk tim sukses, relawan, perpanjangan tangan atau bisa juga disebut dengan
istilah kaki tangan. Merekalah sebagai ujung tombak yang akan mengkomunikasikan
diri si calon beserta dengan visi, misi, ide, gagasan dan program. Mereka
seharusnya wajib diberikan pembekalan dalam bentuk training. Sebab bagaimanapun
juga tim sukses sebagai perpanjangan tangan dari si calon dan bisa juga menjadi
cerminan sosok kepribadian calon itu sendiri. Meskipun tidak ada kaitan
kepribadian antara si calon dengan tim sukses.
Tim sukses
hahikatnya adalah sebagai janang. Dalam istilah minang mengungkapkan bahwa,
"saketek-ketek biduak ba nahkodo, saketek-ketek alek ba janang".
Janang bertugas menyusun tempat duduk, menempatkan sesuatu pada tempatnya, kok
patuik ke atas, terkebawahkan, hal itu harus dimintakan maaf dan kerelaan, atau
kok patuik ta kabaruh terkeataskan, hal itu adalah dimaksud dan disengaja, kok
terhampirkan ipar dengan bisan, patut di kanan ditempatkan di kiri atau
sebaliknya yang di kiri diletakan di kanan. Maka janang dalam artian tim sukses
yang akan menyajikan, mengkomunikasikan dan menatiangkan si calon kepada
khalayak ramai. Kalau janang salah dan tidak baik, maka rusaklah alek, kalau
nahkodo tidak becus, maka tenggelamlah biduak. Prilaku, tatakrama dan pola
komunikasi tim sukses haruslah dibangun secara baik. Sebab kecenderungan terjadi
di lapangan "lebih angek tadah daripada cawan". Artinya tim sukses
berpotensi lebih tinggi tendensi emosi dan amarahnya dibandingan dengan
si calon.
Seperti
halnya layang-layang, kalau yang menjoak an atau yang menganjungkan
layang-layang tersebut secara terbalik, seperti kepalanya ke bawah dan ekornya
ke atas, tentu layang-layang akan menukik ke bumi atau jatuh ke bawah, bahkan
berakibat fatal, layang-layang jadi robek, tulangnya patah dan tidak akan bisa
dinaikan lagi. Artinya setiap calon juga perlu menyeleksi dan memperhatikan tim
suksesnya. Sebab tim sukses juga berfungsi sebagai corong dan agen kampanye si
calon. Jika salah tim sukses mengkomunikasikan dan mengkampanyekan gagasan atau
ide si calon dikomunikasikan secara terbalik, tentu akan merugikan si calon
bahkan berakibat fatal dan bisa-bisa didiskualifikasi.
Ekstrimnya
lagi adalah ada oknum tim sukses yang lebih mengutamakan kesuksesan dirinya.
Mengeksploitasi si calon dengan usulan-usulan kegiatan serimonial dan meraup
keuntungan dari kegiatan tersebut. Lebih parah lagi ada tim sukses yang
menyusup dan mencuri informasi dan strategi yang sedang dan akan dilakukan,
kemudian menperjualbelikannya atau melacurkannya kepada calon yang berkantong
lebih tebal lagi. "Habis manis sempah dibuang" begitu kira-kira
prilakunya.
Di samping itu dalam masa perlombaan layang-layang yang bersamaan dengan tahun politik suasana kebatinannya hampir mirip. Apalagi pada masa kampanye, berbagai intriks, strategi dan propoganda yang dilakukan. Kondisi ini pada lomba layang-layang berpotensi bersaur benangnya, karena layang-layang sudah tinggi dan benang sudah semakin panjang diloro atau dilepaskan. Orang yang benangnya kuat, panjang dan tajam berpotensi mengalahkan benang yang lemah, singkat dan tidak tajam. Kecenderungan persauran benang itu terjadi ketika sudah semakin dekat waktu penilaian. Persauran itu kadang memang dilakukan secara sengaja oleh kompetitornya dengan tujuan bisa lebih dominan dan leluasa mendapatkan kemenangan. Akibat dari persauran benang itu bersifat spekulatif, bisa menguntungkan bagi yang sengaja menyaurkan atau sebaliknya sampai kepada kegagalan fatal berupa putusnya benang dan layang-layangnya hilang dan sulit untuk menemukannya.
Dalam
politik masa ini merupakan masa kampanye, suasana semakin panas, menegangkan
dan penuh intrik. Masa ini berpotensi konflik, perkelahian, pertikaian melalui
black campaign yang dilakukan oknum untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Untuk
menghindari dan meminimalisir potensi persauran ini, seyogya harus ada komitmen
bersama antar peserta secara gentlemen dalam bentuk regulasi yang biasa
dibungkus dengan istilah "pemilu badunsanak" penuh kebersamaan,
kekeluargaan dan persaudaraan atau deklarasi "siap menang dan siap
kalah", yang menang tidak menjadi sombong dan congkak, dan yang kalah
tidak boleh berkecil hati dan emosi, kemudian mencari-cari kesalahan. Politisi
dalam merebut simpati rakyat harus fair play kemudian berjiwa besar,
berhati lapang dan menerima hasil pilihan rakyat, sebab yang menang sebenarnya
adalah rakyat. Orang minang tidak menyukai "rumah sudah tokok
babunyi",sudah ada keputusan, masih menggugat. Dengan mengerahkan massa
untuk melakukan aksi demonstrasi yang berpotensi anarkhis dan menelan kerugian
sosial yang besar. Padahal media salurannya sudah disediakan negara melalui
bawaslu, PTUN dan sampai ke MK.
Poin
keempat tentang stock benang di puntaran kaitannya dengan politik adalah dana
kampanye. Soal penggunaan dana kampanye memang perlu diatur, sebab kalau tidak
diatur, maka dalam persaingan bebas di era demokrasi dan reformasi ini yang
berpeluang memenangkan pertandingan dan pemilihan adalah kapitalis, orang
berduit dan berdompet tebal. Orang yang mempunyai stock benang yang banyak di
puntarannya yang unggul, apalagi masyarakat kita sebagian masih miskin dan
kemiskinan itu menjadi trend topik kampanye kaum berduit.
Kerawanan
kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi lahan yang subur bagi politisi
karbitan berduit untuk meraup simpatik dengan uang atau disebut money politic.
Istilah serangan fajar sudah selalu sering kita dengar dan sudah masuk dalam
kamus politik, kondisi ini juga punya korelasi dengan prilaku pragmatis
masyarakat. Banyak sekali pertanyaan tentang korelasi pragmatis masyarakat
dengan prilaku hedonis dan elitisnya pemimpin dan wakil rakyat. Apakah sikap
pragmatis masyarakat itu sebab atau akibat? Begitu juga dengan prilaku pemimpin
atau wakil rakyat yang semakin hedonis dan elitis itu juga sebab atau akibat?.
Tergantung sudut pandang orang yang menilainya.
Mata
kadang menjadi silau dan tidak objektif jika dikaitkan dengan uang. Hitam bisa
berubah jadi kuning dan kuning bisa berubah jadi hitam, seperti gurauan orang
piaman "kalau mamaknya berduit banyak dan berdompet tebal, walaupun
berkulit hitam, maka sang mamak cenderung dipanggil dengan sebutan “mak uniang”.
Begitu sebaliknya jika mamak tidak berduit atau berdompet tipis, meskipun
berkulit kuning, dipanggil saja dengan sebutan “mak itam”. Intonasi
memanggilnya juga berbeda, kalau kepada mamak yang berduit "lunak gigi
daripada lidah", kalau kepada mamak yang tidak berduit atau berdompet
tipis "tetap lunak lidah daripada gigi".
Masyarakat
harus ditumbuhkan kesadaran kritisnya melalui sikap ketauladanan si calon.
Walaupun beberapa NGO pencinta demokrasi selalu mengkampanyekan "ambil
duit mereka, tapi jangan pilih mereka", namun tidak banyak pengaruh juga
dalam memberikan effek jera kepada politisi nakal.
Bahkan
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di Indonesia dalam
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulamanya pada bulan september tahun 2012
mengeluarkan fatwa haram sedeqah, infak dan zakat politik, karena ada muatan
risywah (suap alias sogok). Risywah adalah haram, orang yang memberi dan
menerima suap atau sogok hukumnya sama yaitu haram. Fatwa haram terhadap infaq,
sedeqah dan zakat bermuatan politis, agar orang yang menerimanya punya
keterkaitan pilihan politik merupakan wujud keprihatinan para ulama terhadap
permasalahan suap, sogok, korupsi yang sudah bergulindan di tengah-tengah
masyarakat.
Pengaturan
dana kampanye adalah hal yang baik, kalau seandainya kampanye tidak dibiayai
negara untuk meminimalisir praktek money politic. Pituah orang minang
mengisyarakatkan "dek ameh kameh, dek pitih manjadi". Dengan uang
orang bisa mendapatkan segala-galanya, "pintak buliah, karandak balaku,
mukasuik sampai, di ama pacah". Harapan kita dalam hal pemilu, suara itu
"mahalnya tidak bisa dibeli, murahnya tidak bisa diminta" tetapi
masyarakat menentukan pilihannya sesuai dengan hati nurani dan keinginannya
sesuai dengan prinsip pemilu"langsung, umum, bebas dan rahasia".
Poin
kelima dalam lomba layang-layang bahwa angin harus stabil dan cuaca kondunsif.
Kaitannya dengan pemilu adalah pelaksanaan kampanye harus berjalan secara
damai, aman, tertib, kondunsif dan stabil serta penuh kekeluargaan. KPU
kabupaten/kota di sumatera barat sudah mencanangkan "Pemilu
Badunsanak" bahkan salah satu dari isi lagu KPU Sumbar adalah
"Hidupkan atau Patarang lampu awak, jangan dipadamkan alias dipudurkan
lampu orang".
Artinya
dalam pelaksanaan kampanye ada etika dan kode etik penyelenggaraan kampanye,
tidak dibenarkan black campaign, hasutan, atau memberikan imingan dan janji
palsu yang mengelabui rakyat, kemudian meninabobokan masyarakat dengan pipisan
kosong. Banyak materi kampanye yang disampaikan kurang mendidik, tidak
memberdayakan masyarakat serta tidak menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.
Harapan
kita adalah menjadikan pemilihan umum sebagai media atau sarana untuk seleksi
pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas secara intelektual, emosional,
moral, sosial dan spritual. Para politisi juga perlu belajar dan mengambil
pelajaran dari politik layang-layang pada aspek positifnya dan meninggalkan
aspek negatifnya. Masyarakat kita dorong semakin cerdas dalam menentukan
pilihan. Satu Suara Menentukan Masa Depan L:ima Tahun. Semoga.
Oleh : Rahmat Tk Sulaiman, S.Sos,
S.Ag, MM
Ketua Presidium MD KAHMI Kab. Padang
Pariaman/ Kota Pariaman