Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tong Kosong Kudeta Ratna Sarumpaet

28 Maret 2013 | 28.3.13 WIB Last Updated 2013-03-28T13:17:19Z
13642037121092668377

jumpa pers MKRI. Jika menggulingkan pemerintah adalah keniscayaan, apakah ini bukan kudeta? (foto : www. tribunnews.com)

“Menggulingkan SBY – Boediono adalah sebuah kenicayaan” begitu bunyi tulisan pada banner yang selalu terpasang di berbagai acara atau konpers yang digelar Ratna Sarumpaet, Adhie Massardi, dkk. Begitu pula tulisan pada banner yang terpasang di posko MKRI (Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia) yang selama 2-3 hari terakhir ini sering jadi sorotan media massa. Tulisan pada banner itu jelas menyiratkan tekad MKRI : menggulingkan SBY – Boediono dari kursi Kepresidenan dan menggantinya dengan “pemerintahan transisional” versi mereka. Lucunya, para ‘pendekar’ MKRI menolak keras jika gerakan mereka disebut kudeta. Lalu, kalau bukan kudeta, adakah istilah lain yang maknanya mengganti pemerintahan yang sah di tengah jalan dengan pemerintahan yang disukai/ditunjuk oleh kelompok tertentu yang ingin menggantikan?

Saya sama sekali BUKAN pendukung SBY, bahkan bisa dibilang sangat tak menyukai SBY. Sejak Pilpres 2004, saya tidak memilih SBY karena beberapa tulisan yang saya baca – termasuk cover story majalah Tempo ketika itu – yang menuliskan karakter SBY sebagai sosok yang gamang dan tulisan di sebuah koran besar yang menganalisa SBY sebagai figur yang cenderung suka berperan safety player. Kegamangan dan suka cari aman itu kemudian makin terbukti sepanjang periode pertama pemerintahan SBY. Hanya saja, SBY sangat beruntung waktu itu didampingi Wapres yang risk taker dan cepat mengambil keputusan. Untuk hal-hal yang tak populis, JK-lah yang mengambil alih mengumumkan atau mengambil putusan, sementara untuk hal-hal yang mendulang simpati publik, SBY baru maju sendiri. Sayangnya, tak banyak publik yang jeli memperhatikan ini.

Masyarakat mungkin baru kecewa ketika SBY memasuki periode kedua pemerintahannya, ketika pasangannya – Boediono – justru jadi kerikil dalam sepatu. Sejak awal legitimasi SBY yang terpilih melalui Pilpres cukup dengan 1 putaran dan meraih dukungan 60% suara ini sudah tergerus akibat mencuatnya issu bailout serampangan bank Century yang dicurigai bank tersebut sengaja dibobol dan dibangkrutkan, serta sebagian uangnya mengalir ke kantong pribadi para politisi dan konon katanya ke pundi-pundi Partai Demokrat demi dana Pemilu dan Pilpres. Sampai kini, beban pembuktian kasus Century itu masih menggantung.

Kalau soal SBY tak fokus mengurus negara dan kerap sibuk dengan kesenangannya sendiri – menyanyi dan mencipta lagu – sebenarnya bukan baru terjadi di periode ke dua. Kalau anda masih ingat, ketika terjadi bencana gempa besar di Jogja tahun 2006 lalu, SBY dan istri menginap di lokasi pengungsian tapi tak ada hal berarti yang dilakukan kecuali malamnya main gitar dan bernyanyi-nyanyi bersama Andi Mallarangeng, dll. Kalau soal SBY lebay dan lebih heboh mengurus pencitraan dirinya, kenapa masyarakat baru sadar setelah periode ke dua? Sebab pencitraan itu justru sudah konsisten jadi trade mark SBYsejak periode pertama jadi Presiden.

Jadi, seharusnya memang SBY tak layak untuk dipilih kembali pada Pilpres 2009. Tapi apa boleh buat, mayoritas rakyat yang berhak pilih telah memilihnya dan siapapun di Republik Indonesia ini, suka atau tidak, ikut memilih atau tidak, ya harus mengakui bahwa SBY – Boediono lah Presiden dan Wapres yang sah di negara ini. Mengesalkan memang. Lebih bikin frustasi lagi ketika kemudian keduanya bukannya menyadari harus bekerja ekstra keras, tetapi malah makin jauh dari harapan rakyat. SBY di 3 tahun pertama tetap saja sibuk dengan mencipta lagu dan merilis album lagu-lagu ciptaannya. Sementara di 2 tahun terakhir ini, lebih sibuk mengurusi partainya yang dilanda kemelut. Apalagi issunya KLB Partai Demokrat akan mengusung SBY menjadi Ketua Umum menggantikan Anas Urbaningrum. Makin auto pilot saja Republik ini, jangan berharap banyak dari Boediono.

Hanya saja, benarkah mengkudeta SBY adalah jalan keluar satu-satunya atau setidaknya yang terbaik? Benarkah kudeta akan menyelesaikan semua masalah krisis kepercayaan di negeri ini? Kalau iya, siapa yang punya legitimasi kuat untuk menggulingkan SBY dan menggantikannya? SBY ibarat Foke ketika masih memimpin DKI. Banyak yang sudah frustasi melihat persoalan Jakarta makin carut marut, meski Foke sudah 10 tahun memimpin Jakarta (sejak masih Wagub). Tapi, untuk mencari pengganti Foke yang diakui warga DKI hanyalah melalui cara yang legitimate pula : Pilgub langsung! Lewat Pilgub, terlihat jelas siapa yang didukung mayoritas warga DKI.

Kembali ke soal gerakan MKRI, menilik pemberitaan di Kompas.com, saya makin yakin bahwa ini agenda politik dari sekelompok orang yang bergabung membentuk sebuah organisasi yang entah apa bentuknya (parpol bukan, ormas bukan), namun membawa nama kedaulatan rakyat. Di Kompas.com disebutkan : Target MKRI menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa sebelum Pemilu 2014. Berbagai kasus dibawa-bawa untuk mendukung aksinya. Mereka berpandangan tak ada cara lain untuk memperbaiki selain menjatuhkan pemerintahan SBY-Boediono. Setelah jatuh, mereka akan membentuk pemerintahan transisi. Disebutkan, pemerintahan transisi akan dipimpin presidium berisi tiga tokoh yang mereka tunjuk. Nantinya, seluruh pemimpin kementerian/ lembaga, institusi penegak hukum, hingga militer diganti. Mereka juga ingin mengganti semua anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari tingkat pusat sampai daerah. Mereka akan menggelar pemilu yang dibuat oleh pemerintahan transisi.

MKRI tak mau menunggu Pemilu 2014, sebab dinilainya Pemerintahan dan parpol serta KPU tak layak menggelar Pemilu. MKRI tak mengakui perbaikan data daftar pemilih tetap (DPT) yang telah dilakukan. Entah darimana sumber informasinya, mereka menyebut Pemilu 2014 akan menggunakan DPT Pemilu 2009. Tapi lucunya, meski menyebut seluruh UU harus sesuai dengan UUD 1945, MKRI tak mengakui mekanisme memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diatur dalam Konstitusi. Padahal, di dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945 diatur mekanisme pergantian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ironis bukan?

Jika Pemerintahan yang ada sekarang dinilai tak punya otoritas moral, lalu apakah MKRI leboh punya legitimasi moral? Siapa sajakah rakyat yang telah memandatkan kedaulatannya pada orang-orang di MKRI? Mengklaim mampu mengerahkan 3000 – 4000 massa untuk berdemo bukan jaminan didukung oleh seluruh rakyat Indonesia yang 240-an juta lho! Rakyat Indonesia bukan cuma yang di Jakata dan sekitarnya saja. Nama Ratna Sarumpaet pun belum tentu dikenal rakyat.

Terlebih lagi, siapa sebenarnya 3 tokoh yang akan ditunjuk untuk menjalankan pemerintahan transisi? Kenapa tidak sejak awal 3 nama yang diusung itu “dijual” kepada publik untuk mendapat tanggapan masyarakat? Yakinkah 3 nama yang akan ditunjuk MKRI nanti benar-benar sosok yang didukung dan dikehendaki rakyat? Sekarang sudah bukan jamannya lagi membeli kucing dalam karung. Jadi calon legislatif saja harus memperkenalkan nama dan sosoknya di daerah pemilihannya. Apalagi mau menjadi pemimpin negara yang konstituennya 240 juta rakyat dan daerah pemilihannya 33 propinsi. Dikenal rakyat saja tidak cukup, apalagi belum dikenal.

Sebaiknya, jika Ratna Sarumpaet berkeinginan menjadi pemimpin negeri ini, ada 2 hal yang bisa dilakukannya sekaligus membuktikan dirinya benar-benar didukung rakyat. Cara pertama, Ratna bisa membuat parpol, supaya adil dengan parpol baru lainnya, Ratna harus membuktikan parpolnya mamu menggaet massa dan punya cabang di 33 propinsi dan 300-an lebih kabupaten/kota seluruh Indonesia. Bukan soal yang mudah dan butuh dana besar. Tapi ini jelas lebih legitimate ketimbang hanya main klaim aksi “kudeta”nya didukung rakyat di berbagai kota di Indonesia. Kalau Ratna jadi pimpinan parpol, ia bisa memerintahkan kader parpolnya di seluruh penjuru tanah air untuk melakukan aksi yang diinginkannya. Tentu saja jika benar-benar bisa mengumpulkan kader secara riil dan tak hanya mengandalkan fotocopy KTP yang bisa saja ganda.


Cara kedua, mungkin Ratna bisa bercermin dari Pak Faisal Basri. Pasca kegagalannya mencalonkan diri jadi Cagub DKI di tahun 2007 karena kecewa dengan parpol yang dianggap hanya memoroti calon, Faisal Basri menempuh upaya konstitusional dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi agar calon independen bisa dibolehkan ikut Pilgub DKI. Faisal memenangkan gugatan dan ia pun maju dalam Pilgub DKI 2012 sebagai calon independen. Meski syaratnya berat : harus membuktikan dukungan warga melalui KTP, setidaknya Faisal mampu lolos di tahap itu. Bahkan dalam Pilgub DKI putaran pertama, ia memposisikan dirinya di bawah Hidayat Nurwahid yang diusung PKS – partai yang menang Pemilu di DKI pada 2004 – masih di atas Alex Noerdin yang didukung penuh Ical sebagai Ketum Golkar.

Setelah tak lolos ke putaran kedua, Faisal Basri dengan lapang dada menerima hasil Pilgub bahkan sebelum penetapan resmi dari KPU. Faisal tetap menjaga independensinya dengan tidak menyatakan dukungannya pada siapapun pasangan yang didukung parpol. Tapi tidak juga “merusuh” dengan tidak menerima hasil penghitungan suara. Faisal basri adalah contoh calon pemimpin yang rela memperjuangkan jalan untuk bisa ikut masuk ke dalam kekuasaan, tapi juga rela legawa ketika kalah dukungan. Setidaknya Faisal tak merintis jalannya sendiri. Kini, siapapun bisa maju jadi Cagub independen. Meski dalam Pilgub DKI Faisal kalah, ia telah meretas jalan bagi calon independen lainnya.

Mungkin Ratna sudah terlambat untuk membentuk parpol, tapi belum terlambat untuk menggugat UU Plpres bukan? Tentu akan lebih membanggakan kalau pada Pilpres 2014 nanti ada Capres independen yang didukung rakyat dari 33 propinsi yang dibuktikan dengan dukungan riil. Hari ini, gerakan massa yang katanya akan digelar di istana, di ganti dengan aksi bagi-bagi sembako di depan kantor YLBHI. Tapi beberapa media memberitakan, YLBHI keberatan kantornya ditumpangi demo dan belum ada izin dari YLBHI. Bahkan issu pembagian sembako itu juga tidak dari awal dijelaskan teknis nya kepada masyarakat dan kriteria masyarakat yang jadi sasaran bantuan. Bahkan media menulis pembagian sembako itu sendiri mengecewakan masyarakat yang sudah berjubel sejak pagi

Ada warga yang antri membawa kupon, mengaku baru tadi pagi diberi kupon oleh orang yang tak dikenalnya. Warga yang lain menyatakan hal serupa : hanya diberi kupon dan disuruh datang kemari (kantor YLBHI). Tapi pengantri sembako itu menyatakan menolak jika disuruh ikut demo. Mereka hanya berharap sembako, tak lebih! By the way…, bagi-bagi sembako dalam jumlah besar dananya tak sedikit lho. Apakah calon pemegang pemerintahan transisi yang membiayai?
Komentar seputar tak bersedianya YLBHI ditempati demo MKRI

Akhirnya, gembar-gembor menggulingkan SBY – Boediono hanya jadi rame di media massa, hanya memanaskan kuping SBY yang memang tipis dan sensitif, hanya perang urat syaraf dan saling tuduh siapa yang lebih dulu menyebut issu kudeta. Lalu, apa hasilnya kalau sudah begini? Apakah gerakan Ratna dkk akan didukung? Melihat acara dibatalkan mendadak dan tak terlihat mobilisasi massa besar-besaran, jangan-jangan issu demo 3000 – 4000 orang itu juga hanya klaim semata.
Komentar semacam ini menunjukkan Ratna belum didukung masyarakat

Yang jelas, di media massa, komentar miring terhadap aksi Ratna dkk yang menamakan diri MKRI makin menunjukkan bahwa cara-cara inkonstitusional seperti itu tak laku di jual. Masyarakat hanya ingin hidupnya lebih tenang, bekerja lancar, tak terganggu aksi demo, tidak takut dan cemas melihat ribuan orang berkumpul dipanas-panasi orasi yang membakar dan berpotensi secara psikologis berubah jadi anarkhis. Semoga Mbak Ratna, Mas Adhi, dkk lebih bisa mengerti kehendak rakyat dan tidak membungkus kehendak sendiri atas nama rakyat. Saya juga rakyat, bayar pajak, punya KTP, tapi tak pernah merasa menyerahkan kedaulatan saya sebagai warga negara pada MKRI, kumpulan yang baru saya tahu namanya seminggu lalu dan sayangnya tak saya tahu benar siapa saja orang-orang di balik itu hingga kini. Selamat “nyapres” Mbak Ratna, buktikan anda didukung rakyat.

catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update