Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Panas Adem di Tubuh NasDem

25 Januari 2013 | 25.1.13 WIB Last Updated 2013-01-25T07:56:45Z

Sejak awal berdirinya ormas Nasdem, saya sudah pesimis pada organisasi ini. Organisasi kemasyarakatan ini mengusung issu gerakan perubahan dan restorasi menuju Indonesia baru. Bukan hanya issu / slogan yang digaungkan yang membuat pesimis, namun sejarah pembentukannya-lah yang membuat kita tak layak menyandangkan harapan terlalu banyak pada ormas ini.

Oktober 2009, jelang Munas Golkar di Riau, psywar, perang issu dan opini antara Surya Paloh vs Aburizal Bakrie memanas. Keduanya memanfaatkan stasiun televisi yang dimiliki untuk menaikkan citranya sekaligus menjatuhkan citra pesaingnya. Ical relatif lebih mudah dibidik melalui issu ganti rugi warga Sidoarjo korban lumpur Lapindo. Kebetulan saat itu kasus mafia pajak Gayus Tambunan belum terkuak. Lewat acara andalannya Kick Andy, Metro TV mengundang sejumlah korban lumpur Lapindo untuk bertestimoni. 

Sebaliknya, ibarat petinju, Ical hanya mencoba untuk bertahan dari pukulan lawannya tanpa bisa memukul balik. Menggunakan daya tarik acara AKI Malam dengan host Tina Talissa yang saat itu jadi idola, dilakukanlah telewawancara dengan 2 orang “perwakilan” korban lumpur Lapindo yang menyampaikan terima kasih atas “kebaikan hati” keluarga Bakrie yang telah memberikan ganti rugi dan perlakuan yang baik bagi korban lumpur. Meski sebenarnya 2 orang yang diwawancarai tidak benar-benar mewakili warga korban lumpur.

Akhir kata, entah karena kekuatan pengaruh politiknya atau karena kekuatan uangnya, Ical memenangkan perebutan kursi Ketua Umum Golkar periode 2009 – 2014, menggantikan Jusuf Kalla yang bulan itu juga harus lengser dari jabatan Wakil Presiden pasca kekalahannya dalam Pilpres.

Kemenangan Ical agaknya tak berlalu begitu saja. Sebab sejak itu Surya Paloh mulai menggalang dukungan untuk membentuk ormas yang diberi nama Nasional Demokrat (NASDEM). Awalnya Paloh berjanji ormas ini hanyalah sebuah gerakan moral yang menyerukan restorasi dan tidak akan menjadi partai politik. Bergabungnya sejumlah tokoh dengan nama besar membuat Nasdem kian berkibar dalam waktu singkat. Tak kurang Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Hj. Rustriningsih (Wagub Jateng) pun ikut bergabung dengan Nasdem.

Tenggelam dengan hiruk pikuk ekspansi ormas Nasdem, publik seolah dilenakan dengan slogan “restorasi” tanpa pernah mengerti restorasi macam apa yang sedang digagas Nasdem dan ditawarkan kepada bangsa ini sebagai sebuah pil mujarab untuk mengobati negeri yang sedang sakit ini. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “restorasi” berarti pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula (tt gedung bersejarah, kedudukan raja, negara); pemugaran. 

Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, yang terkenal adalah Restorasi Meiji di Jepang pada pertengahan abad ke-19, yang berpuncak pada pengembalian kekuasaan kepada Kaisar (tahun 1867) dan mengakhiri kekuasaan Keshogunan Tokugawa. Restorasi ini menyebabkan perubahan besar-besaran pada struktur politik dan kehidupan sosial masyarakat Jepang.

Lalu pengembalian atau pemulihan macam apa dan pada keadaan yang bagaimanakah yang dimaksudkan Nasdem? Keadaan semula seperti apa yang jadi tolok ukurnya? Tidakkah ini hanya sekedar barisan sakit hati yang mencoba merebut kekuasaan yang gagal diraih? Dalam sejarah Golkar pasca reformasi, kelompok sempalan yang kalah di internal partai, juga berakhir tragis di kancah politik nasional.
Gagal memenangkan pertarungan melawan Akbar Tanjung dalam Munas Luar Biasa Golkar tahun 1998, Jendral (Purn.) Edi Sudrajat membentuk Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pada awal 1999 yang diketuai olehnya sendiri dan Sekjennya Hayono Isman. Alhasil, PKP lebih mirip barisan sakit hati sempalan Golkar. Partai ini kalah telak dalam Pemilu 1999 sehingga harus berganti nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) agar tetap bisa ikut Pemilu 2004. Sayangnya, partai ini pun kandas pada Pemilu 2004.

Sejak awal ormas Nasdem akan bermetamorfosis menjadi partai politik, aroma ketidaksolidan sudah meruak. Bermula dari keluarnya Sri Sultan HB X. Padahal saat itu nama Sri Sultan sedang naik daun seiring menguatnya tuntutan disahkannya UU Keistimewaan Jogja. Tak sekalimatpun berita tentang hal ini yang keluar di Metro TV. Beruntung, saat itu TV One milik Ical pun tak tertarik untuk menggoreng issu keluarnya Sri Sultan dari Nasdem.

Jejak Sri Sultan pun akhirnya diikuti Hj. Rustriningsih, Wagub Jateng yang dalam ormas Nasdem menjabat sebagai Ketua Pengurus Wilayah Nasdem Jawa Tengah ini resmi mundur dari Nasdem diikuti juga inisiator daerah dan pengurus kabupaten kota. Rustri mengambil sikap ini karena , sejak awal dari sosialisasi Ormas ini di Semarang disampaikan bahwa Nasdem adalah organisasi kemasyarakatan untuk mengukuhkan diri sebagai organisasi terbuka lintas propinsi dan tidak teraviliasi dengan partai. Surya Paloh, saat itu menyatakan bahwa Nasdem adalah ormas yang sadar politik dan akan menjadi parpol bila dikehendaki anggotanya dan dipilih melalui referendum. Hal ini sudah dicantumkan di AD/ART dan dipertegas dalam Rapimnas bahwa Nasdem bukan parpol.

Namun dalam perkembangannya ada partai yang menggunakan nama, logo dan visi misinya sama dengan Ormas. Sehingga menimbulkan persoalan besar bagi anggota dan pengurus ormas yang sesuai undang-undang dilarang ikut politik seperti PNS dan tidak boleh beraviliasi dengan partai poltik. Inilah pengkhianatan pertama Surya Paloh pada komitmennya untuk tidak menjadikan Nasdem sebagai sebuah parpol tanpa melalui referendum.

Tapi Surya Paloh memang bukan Edi Sudrajat. Paloh tampaknya lebih punya “amunisi”, sehingga dibanding PKP, Nasdem lebih mampu menarik minat sejumlah tokoh dan masyarakat untuk bergabung. Keseriusan Paloh mewujudkan ambisinya dengan membesarkan Nasdem makin menampakkan hasilnya dengan bergabungnya Hary Tanoesoedibjo sebagai Ketua Dewan Pakar Nasdem. Dua raja media bergabung – Metro TV Grup dan MNC Grup – di satu sisi melawan ARB – Viva Grup – di sisi lain, membuat dunia pemberitaan seolah mengalami oligopoli sepanjang menyangkut kepentingan Golkar dan Ical atau kepentingan Nasdem dan Paloh.

Masuknya Hary Tanoe ke partai Nasdem jelas memberikan darah segar bagi partai Nasdem. Pegusaha muda berusia 47 tahun yang oleh Forbes dimasukkan dalam peringkat ke-29 dari 40 orang terkaya di Indonesia ini makin memperkokoh kemampuan finansial partai pemula yang baru seumur jagung. Di saat parpol lain yang telah mendudukkan wakil-wakilnya di parlemen dan kabinet dirundung issu mengisi pundi-pundi partainya melalui kongkalikong anggaran di DPR dan sejumlah kementrian, partai Nasdem yang masih bayi seolah tak mengenal kesulitan kuangan. Di saat partai lain harus pandai-pandai mengatur belanja iklan di media televisi dan hanya memilih moment tertentu saja untuk beriklan, Nasdem justru bebas membombardir pemirsa dengan serangan udara melalui Metro TV dan jaringan MNC TV.

Kini, hanya selang 4 hari sebelum dilaksanakannya Kongres Partai Nasdem yang pertama pada 25 Januari nanti, Sang Ketua Dewan Pakar menyatakan dirinya mundur dari Nasdem karena sudah beda visi. Hary Tanoe tak sendiri, ia bersama sekjen Partai Nasdem Ahmad Rofiq, sekjen Gerakan Pemuda Nasional Demokrat DPW DKI Jakarta Saiful Haq, serta Endang Tirtana, Wakil Ketua Internal DPP Partai Nasdem menggelar jumpa pers terkait pengunduran diri mereka dari Partai Nasdem. Meski Surya Paloh berusaha mengecilkan arti pengunduran diri HT dengan menyebutnya ingin berkonsentrasi di dunia bisnis karena hendak membeli TV milik Bakrie, tak urung mundurnya HT jadi pemberitaan yang cukuop menarik. Tentu saja TV One yang paling bersemangat memberitakan sejak beberapa hari sebelumnya, ketika ada demo dan perpecahan di tubuh Garda Pemuda Nasdem. Memang Hary Tanoe dikabarkan dekat dengan kelompok muda di Nasdem.

Ketua DPW Partai Nasdem Jawa Barat, Rustam Efendi pun ikut mengundurkan diri karena merasa sudah tak ada harapan lagi di Nasdem. Bisa jadi langkah Rustam akan diikuti “gerbong”nya. Dalam Pilgub Jabar, Nasdem ikut mendukung Cagub-Cawagub Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar.
Entah bagaimana nasib Nasdem kelak. Yang jelas, pengambilan nomor urut parpol peserta Pemilu 2014 baru seminggu sebelumnya (14/01/2013) dilaksanakan dan Nasdem mendapatkan nomor urut 1, musim kampanye sudah dimulai 10 hari sebelumnya (11/01/2013), tapi gempa besar sudah mengguncang Nasdem, satu-satunya parpol baru yang lolos verifikasi KPU. Kalau sebelum bertarung saja sudah pecah di dalam, bagaimana akan solid menggalang dukungan masyarakat>

Bagaimanapun juga, langkah Hary Tanoe cukup bijak. Ia memilih mundur sebelum Kongres, tidak merusuh dari dalam. Mengingat sudah makin dekatnya Pemilu 2014, tak mungkin lagi bagi HT membuat parpol baru, kecuali dia mau menunggu sampai 2019. Sebagai pengusaha yang baru masuk dunia poltik, tampaknya HT memang tidak memilih jalan politicky yang tricky. Kalau benar kata Paloh bahwa HT akan sedang berkonsentrasi ikut pelelangan TV One dan ANTV milik Bakrie, kalau nantinya kedua stasiun TV itu jatuh ke tangan HT, bukan tak mungkin hegemoni media TV dan portal berita akan dikuasai HT dan Nasdem bisa makin babak belur dihajar pemberitaan.

Tampaknya, Nasdem tak lain hanyalah Golkar dalam bungkus yang berbeda. Orang-orangnya pun banyak yang sempalan dari Golkar. Baju baru yang dipakaikan pada tubuh baru dengan jiwa yang sama saja dengan pendahulunya. Entah karena salah pilih nama, partai ini sejak awal panas-adem saja tubuhnya. Panas-adem kata orang Jawa “meriang”, tanda awal tak enak badan, masuk angin. Kini, ketika parpol lain baru pemanasan, Nasdem sudah keburu adem. Atau sebaliknya, Nasdem sudah panas duluan ketika yang lain masih adem ayem. Yang jelas, saya tertarik dengan sebutan Aliansi METRO, MEnguak Topeng RestOrasi. Tampaknya bukan sekedar sebuah kebetulan belaka kalau namanya sama dengan nama stasiun TV milik Surya Paloh. Tapi sudah saatnya kita menguak apa sebenarnya agenda SP di balik slogan restorasi. Jangan sampai kita hanya ikut menambah kegaduhan politik di Senayan pasca 2014, hanya karena terbius retorika basi.

Catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update