Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Satu Hijriah Bersama Jokowi & Satpam Minang

18 November 2012 | 18.11.12 WIB Last Updated 2012-11-18T05:39:15Z

SEORANG Satuan Pengamanan (Satpam) di kediaman dinas Gubernur DKI itu menyapa saya dalam bahasa Minang.

“Baa kaba Pak Iwan. Baa lai bisa juo mengecek caro awak?” (“Bagaimana kabar Pak Iwan, masih bisa juga berbahasa Minang?”)
Saya balas dengan langgam sedaerah. Sosok anak muda mengaku kelahiran Bukittinggi tahun 80-an itu berceloteh panjang. Termasuk ihwal bagaimana berjibun tamu datang ingin berjumpa Jokowi. “Wartawan terkadang subuh sudah menunggu. Pernah juga ada demonstrasi. Masak kediaman dinas didemo?”

Entah karena libur panjang, Kamis malam di sekitar pukul 20 itu tak ada wartawan atau tamu lain. Dari ruang tunggu tamu, saya perhatikan sebuah layar televisi menayangkan 10 kotak gambar, pancaran Closed Circuit Television (CCTV), beberapa ruas pojok di sekitar kediaman. Menatap ke halaman, rumput hijau menghampar. Nun di seberang jalan kehijauan kian membentang. Di sela pohon-pohon besar peninggalan kolonial Belanda, rerumputan bagaikan ambal tebal. Batang pohon di Taman Suropati merindang-panjang. Angin malam menggerakkan dedaunan seakan mengabarkan: tiada lagi taman seindah itu di Jakarta kini.

Sekitar setengah jam menanti, saya menemui Jokowi di ruang utama rumah dinas itu. Saya perhatikan tiga kelompok kursi dan sofa di ruangan itu. Dinding-dinding polos, tanpa satu pun hiasan lukisan. Sebuah pot bunga pun tak ada. Di dalam hati saya bertanya apakah tidak ada satupun lukisan atau benda seni inventaris Pemda DKI sehingga kediaman itu polos bak baju putih dikenakan Jokowi malam itu?

Entah menyadari akan pertanyaan hati saya, Jokowi antara lain menyampaikan keinginannnya. “Saya lagi mencari lokasi yang baik bagi seniman menuangkan lukisan di tembok, di mana warga dapat menikmati sambil berjalan kaki, di mana ya?”
Nanar saya sebentar.

Belum bisa saya bayangkan lokasi mana yang pas. Ada tembok, panjang, bisa dijadikan kanvas melukis seniman. Bisa dinikmati pejalan kaki. Jokowi bilang, di Solo lokasi itu ada.
“Saya hanya modali seniman masing-masing satu setengah juta, mereka lalu berkarya.”
Kami berceloteh ihwal Taman Ismail Marzuki (TIM) kini. Jokowi mengatakan untuk anggaran tahun ini ada sekitar Rp 100 miliar lebih membangun kawasan itu kembali. “Namun saya mau TIM dirombak total,” ujarnya.

Perubahan total dimaksudkannya, dikembalikan sebagai kawasan kebudayaan, tempat berbagai seniman mangkal, menuangkan karya masterpiece-nya. Lokasi itu tidak dominan bagi kepentingan komersial. Harus kental bobot kebudayaannya.
Memang jika Anda simak hari ini ke kawasan TIM di bilangan Cikini, Jakarta Pusat itu, suasana sudah bak kawasan mall, ada jaringan bioskop, deretan warung dan kedai mendominasi. Sulit Anda mencari karya patung, karya lukis maestro sedang terbentang.
Di dalam hati saya bergumam. Inilah jika selama ini pengelola pemerintahan daerah mengganggap kebudayaan basa-basi. Perihal yang dipikirkan Jokowi mereka anggap tidak penting. Kuat dugaan saya selama ini kepentingan utama disebut pembangunan itu hanya: gedung jangkung menjulang-julang, mal-mal berjejal-jejal, lalu Jakarta terkenal: kota berpuluh mal besar tidak memuliakan keinsanan.

Mal acap mengambil lahan jalan publik, parkirnya minim, sehingga menambah kemacetan di jalan umum sempit. Contoh signifikan gila, di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan, bisa-bisanya jalan umum seakan sengaja dibuat tembus ke basement sebuah mal. Dalam kenyataan yang ada kelompok usah property di DKI ada yang sudah menunggak pembangunan Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum) mencapai angka Rp 80 triliun. Perihal ini pernah dibahas di DPRD DKI era Foke, akan tetapi hanya bunyi sekali lalu sepi. Sebagai ibukota bangsa dan negara berkebudayaan mancaragam, tidak mencerminkan kedigdayaan kebudayaan yang ada.
“Dulu di Ancol juga banyak seniman pilihan.”
“Kini saya perhatikan ala kadarnya.”

Jokowi prihatin.
Di balik keprihatinannya, saya gembira.
Senang karena dua premis doa saya di Bundaran HI, di saat secara tak sengaja turut mendampinginya mendaftar sebagai calon Gubernur DKI usai dari KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), masih berwujud. Dua doa itu; pertama, jadikan Jokowi gubernur di DKI hanya selangkah didahulukan dari warganya. Jadikan ia gubernur memuliakan keinsanan, menempatkan intangible asset di atas kebendaan.

Di dua doa itu, hingga tahun baru Hijariah ini, di saat ia baru memangku jabatan gubernur sebulan, masih terasa kental teguh komitmennya. Dalam hal didahulukan selangkah dari warga, hari-hari tiada henti Jokowi bertemu dengan kalangan marjinal. Bahkan di hari libur pun ia bekerja. Kamis siang ia masih berkeliling ke lokasi tempat bekas kebakaran di kawasan Jakarta Barat, juga kawasan pemukiman apung di Jakarata Utara.

“Pekan lalu tengah malam saya mengunjungi sebuah Damkar.”
Damkar dimaksud adalah Dinas Pemadam Kebakaran.
“Di satu lokasi, dari tiga puluh empat petugas, cuma ada tujuh belas orang.”
“Saya tunggu mana sisanya? Eh lama menunggu tak kunjung ada.”
“Kalau sudah begitu terjawab bagi saya, terang saja rumah kebakar satu, berlanjut ke puluhan lainnya. Wong petugasnya?”

Kunjungan di malam hari ke kantung-kantung kumuh warga, ia rasakan lebih mendapatkan tempat di hati rakyat. Inilah implementasi sikap yang hanya didahulukan selangkah dari warga itu, agaknya.
PADA 25 Oktober lalu di ruang Pusat Penerangan (Puspen) TNI, Cilangkap. Siang itu sebagaimana saran saya ke ajudannya, Jokowi datang berbaju putih. Saya memang sebal dengan langgam pejabat berkeliling berbaju bergelayutan atribut “jengkol” kuningan di dada. Kesan-kesan feodal kok dipelihara.

Begitu Jokowi sampai di Puspen TNI itu, ia minta izin menunaikan shalat zuhur. Saya perhatikan sepatu kulit marunnya berkaret putih, Telapaknya tipis. Ketika Wakil kepala Puspen TNI, Brigjen Siratmo, menawarkan minum, Jokowi hanya tersenyum. Saya tanya apakah puasa, mengingat esoknya Idul Adha, Jokowi konsisten dengan senyumannya.
Judul acara hari itu, National Lecture Jokowi, Kepemimpinan Melayani Rakyat. Di spanduk wajahnya saya sandingkan dengan siluet muka Panglima Besar Soedirman.
Kendati judulnya national lecture Jokowi, sehari sebelum acara, saya ditelepon oleh sekretaris Kepala Dinas Kominfo DKI Jakarta.

“Pak Iwan kami mau mengabarkan kalau esok Pak Gubernur diwakili oleh Kepala Dinas Kominfo. Pak Kadis yang akan datang.”
Saya sampaikan kepada sang sektretaris, penelepon, apakah tidak membaca judul acara? Tidak ada nama Munap misalnya sebagai pemberi lecture. Sang sekretris tetap kekeh Kadisnya mewakili.

Tadi malamperihal itu itu saya konfirmasi langsung kepada Jokowi, apakah sang Kadis melaporkan ihwal rencananya mewakili?
“Tidak,” jawab Jokowi tegas.
Kami lalu tertawa.

Bagi saya memang lucu ya birokrasi Pemda DKI. Untuk urusan yang tak ada sangkut pautnya dengan perduitan, seorang Kadis berani demikian. Makanya wajarlah ketidak-karuan selama ini terjadi di Pemda DKI.

Dan acara di Cilangkap itu, di mana sosok sipil bicara, dan diselenggarapan oleh Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) itu berlangsung lancar. Unggahan video kuliah Jokowi di sebagian besar perwira menengah dan anggota PPWI itu di youtube.com dapat di simak dengan men-search: Puspen-PPWI, sudah dilihat lebih 20.000 orang.
“Itu baru pertama kali saya masuk ke Mabes TNI.”
“Mabes TNI kita tidak kalah dengan Pentagon.”

Pentagon adalah markas besar tentara, pertahanan, di Washington DC, Amerika Serikat.
Jokowi kagum akan luasnya area Mabes TNI, jalan masuk terasa gran, lebar, panjang.
Tidak banyak hal baru yang disampaikan Jokowi dalam kuliahnya hari itu. Secara jujur untuk DKI baru beberapa hari ia menjabat. Ia memaparkan perbedaan sebelum dan setelah ia menjadi walikota di Solo. Ada beberapa slide foto yang lucu ia tayangkan. Seperti mengganti kepala Satpol PP semula sosok pria berwajah seram menjadi ibu-ibu berkebaya berwajah kemayu. Hadirin ngakak.

Perihal itu bisa disimak di link youtube tadi.
Kini staf Humas Pemda DKI memang rajin mengundah kegiatan gubernur dan wakilnya ke youtube.com. Pekan lalu dapat disimak bagaimana sang wakil Ahok, dengan gagah-berani memarahi mereka yang di Dinas Pekerjaan Umum (PU). Ahok minta anggaran dipangkas 25%, kolusi tender ber-markup dihapus. Bahkan Ahok mengancam jika tak mau dia akan gunakan anggaran, di Wagub menjalankan proyek. Kalau tidak mau juga berubah, kasus-kasu lama akan dibongkar, ancam Ahok.

“Saya tidak takut. Kalau pun pistol sekalipun ditodongkan ke muka saya, dengan mata tanpa berkedip saya siap mati,” ujar Ahok, antara lain di video itu.
Maka bagi banyak kalangan keberadaan Jokowi-Ahok memang menjadi fenomenon. Hampir setiap hari ada saja berita dan liputan tentang mereka. Akan halnya ihwal langgam Ahok itu, tadi malam kepada saya Jokowi berkata. “Ojo keras-keras amat. Saya sudah bilang pada Ahok, kita ini cuma berdua. Ingat di sana ada puluhan ribu karyawan.”

Dan semakin hari semakin banyak saja orang yang ingin berdekat-dekat dengan Jokowi. Di saat saya hendak mengakhiri tulisan ini, di Metrotv, Jumat pagi ini, ada Soetiyoso, dan seorang pengamat muda, membahas kepemimpinan Jokowi. Keduanya seakan pakar-di-pakar. Menjadi tanya bagi saya kepada Soetiyoso, khususnya, ketika menjadi gubernur ente kemane aje?
Di tvone dua perkan lalu di acara Gestur saya sampaikan ke pemirsa bahwa pada 2014 akan tampil pemimpin baru yang dikendaki alam. Lantas di twitter banyak pihak bertanya, siapakah pemimpin baru itu?

Semalam pula Jokowi menyampaikan ketidak-yakinannya terjadi alih kepemimpinan di 2014. Saya sampaikan dugaan sangat kuat bahwa Megawati Soekarno Putri d an Jusuf Kalla tak akan maju mencapres.

“Jika mereka berdua demikian, menggerakkan kuat peralihan kepemimpinan. Tapi saya tak yakin,” tutur Jokowi.
Saya yakin, kata saya.

Dan pemimpin baru itu pastilah sosok-sosok berkarakter seperti Jokowi. Saya hari-hari sekarang misalnya acap berkunjung ke berbagai kota bersama Komarudin Watubun, wakil Ketua DPR Papua, juga salah satu pimpinan di PDIP. Sosok muda ini tak kalah sederhana dan tegas dibanding Jokowi. Camry, Mobil dinasnya di Papua, masih dibiarkan berplastik. Ke mana-mana di setiap kota ia tidak pernah minta disambut pengurus partainya. Bercelana jins, acap berkaos Jogger. Begitu pembawaannya.

“Islam rahmatan lilalamin,” kata-kata acap diucapkan Bung Komar.
“Bukan saja untuk manusia, tetapi tumbuhan, hewan, alam semesta,” ujarnya.
Mimiliki sahabat seperti Jokowi dan Komarudin saya kian paham arti tahun baru hijriah 1433 ini. Mereka memberikan harapan bagi membaiknya peradaban.
 

catatan Iwan Piliang
 

×
Berita Terbaru Update