Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mutasi Jelang Tabuik Kota Pariaman dan Stabilitas Birokrasi Ala Mukhlis Rahman

26 September 2012 | 26.9.12 WIB Last Updated 2012-09-26T12:51:21Z

Perihal Mutasi dan Stabilitas Birokrasi di Daerah...

Senin pagi (24/09/2012), saya membuka facebook setelah terakhir hari jumat saya terakhir Online karena kesibukan saya pindah kontrakan dan beres-beres pada Sabtu-Minggunya. Sebuah hal lumrah jika hidup di rantau orang dan belum memiliki rumah sendiri. Saya membaca berita melalui wall  RRI Kota Pariaman yang menyebutkan bahwa Walikota Pariaman Drs. Mukhlis Rahman, MM melantik 74 pejabat eselon II, III, IV, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah dilingkungan Pemerintah Kota Pariaman, Jumat (21/9/2012) di Balaikota Pariaman. Terfikir oleh saya entah sudah berapa kali terjadi mutasi dilingkungan Pemerintah Kota Pariaman sejak Kota Pariaman dipimpin oleh Walikota yang sekarang. Kapan pejabat di sini mempunyai waktu untuk melayani masyarakat kalau tiap sebentar terjadi mutasi dan pergantian pejabatnya..

Sejatinya Mutasi dilingkungan Birokrasi Pemerintah Daerah (baca PNS) adalah dalam rangka pengembangan dan pembinaan karier PNS di daerah. Namun pada kenyataannya seringkali mutasi pejabat struktural di daerah syarat dengan motif tertentu. Peran Kepala Daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah memang memberikan kewenangan untuk itu. Menurut ketentuan Pasal 130 ayat (2) Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah merupakan domain kepala daerah (Bupati/Walikota). Ini menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Istilah raja-raja kecil di daerah salah satunya dimaknai karena kepala daerah sering menyalahgunakan kewenangan ini.

Salah satu dampaknya adalah akan berpengaruh pada stabilitas birokrasi. Mutasi yang terlalu sering dilakukan akan menyebabkan terganggunya kinerja birokrasi. Para pejabat tidak lagi konsen tugasnya sebagai pejabat. Ia akan sibuk memikirkan jabatannya (terutama bagi mereka yang memang gila jabatan/takut kehilangan jabatan). Disamping itu hal ini dapat menyebabkan dis-harmonisasi birokrat karena persaingan jabatan dan bisa memecah-belah PNS. Ini akan berpengaruh terhadap suasana kerja dan kinerja birokrasi itu sendiri. PNS akan lebih loyal kepada Kepala Daerah dibandingkan menjalankan tugasnya melayani masyarakat. Budaya ABS (Asal Bapak Senang) akan berkembang. Energi akan terserap untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi. Pada akhirnya pelayanan terhadap masyarakat tidak optimal dan muaranya masyarakat juga yang akan dirugikan. Ini menjadi patologi birokrasi tersendiri sebagaimana yang diungkapkan oleh Webber, bahwa menekankan dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam menjalankan sistem birokrasi yakni jika kepala daerah dalam mengelola birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi tertentu.

Dalam sambutannya Walikota mengatakan bahwa “ketika jabatan dimaknai sebagai sebuah kekuasaan, maka jabatan itu sudah menjadi pedang, yang akan menebas siapa saja yang menentang dan bertentangan” (pariamankota.go.id). Mudah-mudahan Walikota sedang tidak menggunakan pedangnya. Selanjutnya Walikota juga mengatakan, “ketika sebuah jabatan diterjemahkan sebagai pemegang wewenang, maka kesewenang-wenangan menjadi sebuah kebiasaan”. Mudah-mudahan Walikota juga sedang tidak menggunakan wewenangnya untuk sewenang-wenang....Wallahu’allam bissawab.
 
catatan Rahmat Rio Yuherdi
×
Berita Terbaru Update