Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Membangun Kembali Jati Diri Indonesia

13 September 2012 | 13.9.12 WIB Last Updated 2012-09-14T16:33:45Z

Ada lelucon ringan: “Tidak Ada Restoran Padang di  Padang”. Ya, tentu saja tidak. Yang ada, misalnya, hanya Restoran “Pagi Sore” di  kota Padang, Restoran Datuk dan Sate  Mak Sukur—yang sempat dicicipi dan disukai Presiden kita sewaktu berkunjung ke Sumbar—di kota kelahiranku Padang Panjang atau Warung Nasi Kapau “Uni Lis” di Pasar Ateh, Bukit Tinggi.Jadi tidak ada yang namanya Restoran Padang “Pagi Sore”,  Sate Padang Mak Sukur dan seterusnya, dan seterusnya.
 
Saya tidak tahu apakah Prof Dr Syafei Maarif yang orang Padang (baca: Minang) pernah mendengar lelucon ini. Yang jelas ketika Buya Syafei, begitu beliau biasanya disapa, memimpin Komisi Organisasi pada Muktamar Muhammadiyah 44 di Jakarta tahun 2000 yang kemudian memilihnya menjadi Ketum Muhammadiyah, Komisi tersebut memutuskan untuk tetap mempertahankan Pancasila sebagai asas Muhammadiyah, namun sayang keputusan Komisi Organisasi ini dibatalkan oleh Rapat Pleno Muktamar yang kemudian menetapkan Islam sebagai asas organisasi.
Menurut hemat saya memang  agak berlebihan jika   Muhammadiyah menyatakan   menggunakan asas Islam, sebab namanya saja sudah   Muhammadiyah, yang   secara harafiah berarti “Pengikut Muhammad”. Dan   menjadi pengikut   Muhammad tidak mesti berhenti menjadi orang   Indonesia, di mana Pancasila   oleh “founding fathers” Republik ini sudah   ditetapkan sebagai platform   bersama bagi bangsa yang plural ini.
Panglima Sudirman yang  mantan guru sekolah   Muhammadiyah, dengan   paru-paru tinggal sebelah memimpin TNI bergerilya   dari hutan-ke hutan   melawan serdadu pendudukan Belanda guna   memperlihatkan kepada dunia,   bahwa Republik Indonesia tetap eksis walaupun   pucuk pimpinan tertinggi   negara Sukarno-Hatta ditahan dan dibuang ke   Bangka. Mungkin banyak yang   tidak tahu bahwa Proklamator, Penggali Pancasila    dan Bapak Bangsa Bung   Karno juga merupakan warga Muhammadiyah dan   memberi wasiat agar jika   beliau wafat beliau menginginkan jenasah beliau   ditutupi oleh bendera   Merah Putih dan bendera Muhammadiyah (!)
Begitu memimpin Muhammadiyah—bersama-sama KH   Hasyim Muzadi Ketua Umum   PB NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia   yang dengan tegas   menegaskan bahwa bentuk NKRI ini sudah   final—Buya Syafei aktif dan   banyak berkiprah dalam forum lintas agama bersama   pimpinan tertinggi   organisasi keagamaan lainnya dengan tidak kenal   lelah mengkampanyekan   pluralisme, kekitaan dan keindonesiaan. Dan   dengan lidah yang sama   tajamnya sama dengan penanya, diberbagai   kesempatan beliau sering   menyerang kelompok radikal Islam yang sektarian   dan suka melakukan   tindak kekerasan yang dinisbatkannya sebagai   “preman berjubah”. Dia juga   sangat toleran terhadap kelompok liberal baik di   luar maupun dalam   lingkungan Muhammadiyah, dan tidak pernah   ikut-ikutan menghujat Jemaah   Ahmadiyah.
Di bawah ini saya lampirkan salah satu tulisan   terbaru (14 Februari   2006) Buya Safei: “Membangun kembali Ke-kita-an   Indonesia”. Saya kutip   antara lain:      “Konsep kekitaan Indonesia adalah sebuah on-going   process, bukan sesuatu   yang final. Memang kita sudah punya Sumpah   Pemuda, Proklamasi 17 Agustus   1945, sebagai puncak-puncak capaian dari   Pergerakan Nasional, tetapi   semuanya itu belum cukup, bahkan bisa berantakan,   kalau kita lalai untuk   menjaga dan memeliharanya. Kelalaian inilah   menurut saya yang berlaku   selama ini sehingga apa yang disebut jati diri   bangsa itu belum mantap,   jika bukan masih oleng”
Saya pikir tulisan ini bagus untuk refleksi diri,   apakah kita di   Apakabar ini—yang sesuai dengan “values” atau   “mission statement”    dari milis ini yang kira-kira berbunyi:   “Membangun Indonesia yang   pluralis, rasional dan sekuler—perduli dengan   jati diri bangsa ini,   masih mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan   atribut utama    kebangsaan seperti “Sang Saka Merah Putih” atau   Lagu Kebangsaan   “Indonesia Raya” berikut pesan-pesan yang ada di   dalamnya.
Atau kita cuek saja terhadap bahaya distegrasi   yang mengamcam bangsa ini   yang disebabkan oleh egoisme dan hedonisme   pribadi dan kelompok yang   sangat berlebihan, upaya-upaya untuk merusak   desentralisasi/otonomi   daerah dengan  sukuisme/daerahisme yang   kebablasan, pengembangan   nasionalisme yang tidak peka kepada kemanusiaan,    sektariniasme dan   upaya-upaya untuk merusak demokrasi melalui   demokratisasi.
Kalau masih perduli, lalu gimana?
Wassalam, Darwin
====================================================================
Membangun kembali Ke-kita-an Indonesia
Ahmad Syafii Maarif
Republika
Selasa, 14 Februari 2006
Membangun kembali Ke-kita-an Indonesia
Pada 19 Januari 2006 Yayasan Jati Diri Bangsa   meminta saya untuk   menyampaikan pidato singkat, bertempat di aula   Askes Jakarta. Saya   diminta berbicara tentang upaya bagaimana   Indonesia tercinta ini tidak   terus meluncur ke arah ketidakpastian, baik   secara moral, maupun yang   menyangkut kesadaran berbangsa dan bernegara.   Melalui modifikasi di   sana-sini, apa yang saya sampaikan di depan para   undangan pada forum itu   merupakan isi pokok Resonansi kali ini.
Konsep kekitaan Indonesia adalah sebuah on-going   process, bukan sesuatu   yang final. Memang kita sudah punya Sumpah   Pemuda, Proklamasi 17 Agustus   1945, sebagai puncak-puncak capaian dari   Pergerakan Nasional, tetapi   semuanya itu belum cukup, bahkan bisa berantakan,   kalau kita lalai untuk   menjaga dan memeliharanya. Kelalaian inilah   menurut saya yang berlaku   selama ini sehingga apa yang disebut jati diri   bangsa itu belum mantap,   jika bukan masih oleng.
Dengan segala rasa hormat saya kepada Bung Karno   dan Pak Harto sebagai   presiden Indonesia pertama dan kedua yang telah   menakhodai republik ini   selama 53 tahun, keduanya juga telah melakukan   kesalahan-kesalahan yang   mendasar terhadap konstitusi kita dan   pelaksanaannya. Kedua Bapak Bangsa   ini telah membunuh demokrasi atas nama demokrasi.   Lebih tragis lagi   adalah nasib yang menimpa Pancasila yang memuat   nilai-nilai luhur dan   agung itu lebih banyak dijadikan retorika politik   untuk kekuasaan, bukan   untuk mencapai tujuan proklamasi berupa “tegaknya   keadilan sosial bagi   seluruh rakyat Indonesia”.
Sumber pokok dari segala kekacauan dan konflik   yang terus saja   berlangsung, dengan skala kecil atau besar,   adalah karena nasib keadilan   yang diperkosa dan diterlantarkan. Dengan   ungkapan lain, jika kita   memang sungguh-sungguh dan jujur untuk membangun   kembali “ke-kita-an   Indonesia”, maka seluruh gerak pembangunan kita   harus diarahkan kepada   upaya menegakkan keadilan ini. Ketidakpedulian   terhadap yang satu ini,   jangan berharap cita-cita untuk membangun   “kekitaan” akan menjadi hari   depan Indonesia.
Sejak 1998, bangsa ini yang diwakili oleh MPR   telah berupaya menata   kembali kehidupan bangsa ini melalui perubahan   konstitusi. Dengan segala   kelemahan di sana-sini, ada dua pilar utama yang   patut kita hargai.   Pertama, pembatasan masa jabatan presiden/wakil   presiden; kedua,   pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung   oleh rakyat. Sekarang   kita sedang berada dalam proses transisional yang   dinamis dan kreatif   dalam “menguji coba” kedua pilar konstitusi itu.
Kendala terbesar yang kita hadapi sekarang adalah   langkanya jumlah   negarawan yang punya visi jauh ke depan, bukan   mereka yang terpaku dan   terpukau oleh kepentingan jangka pendek untuk   diri dan kelompoknya. Yang   berkeliaran sekarang di panggung politik   Indonesia adalah jenis manusia   yang kedua ini. Bangsa ini kehilangan   keteladanan. Tokoh-tokoh sipil   yang dinilai punya wawasan kenegarawanan satu   persatu pergi menghadap   Allah untuk tidak kembali. Bangsa ini kata banyak   pendapat benar-benar   telah kehilangan keteladanan sampai ke tingkat   yang paling bawah.   Cobalah adakan penelitian sosial pada di akar   rumput, alangkah sukarnya   mencari sosok yang bisa diteladani oleh rakyat   banyak. Berapa banyaknya   kepala desa yang diminta mundur oleh rakyat   karena ketiadaan amanah dan   keteladanan. Proyek-proyek bantuan untuk desa   jarang yang tidak disunat   oleh aparat desanya. Jadi, dari pucuk sampai ke   pangkal aparat negara   banyak sekali yang bermasalah, umumnya menyangkut   masalah keuangan.   Posisi uang telah mengalahkan agama.
Itu belum lagi kita berbicara tentang masalah   pengangguran yang dari   hari ke hari semakin mengembung. Lapangan kerja,   alangkah sulitnya,   termasuk bagi mereka yang berpendidikan tinggi.   Kalau begitu, apakah ada   solusinya? Sebagai sebuah bangsa merdeka, kita   tidak boleh kehilangan   harapan untuk memperbaiki keadaan yang sudah   rusak ini. Sekalipun sangat   berat, salah satu bentuk solusi itu adanya   kesediaan kita untuk mengubah   secara fundamental sikap mental kita yang korup   dan semifeodal kepada   mental demokrasi yang autentik dan jujur dengan   tujuan tunggal:   menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat   Indonesia sebagaimana   yang dituntut secara tegas oleh Pancasila.
Tindakan pemerintah untuk memberantas korupsi   haruslah dilihat dalam  perspektif menegakkan keadilan ini, dan harus   didukung oleh seluruh   kekuatan bangsa. Inilah kanker sosial-ekonomi   yang melumpuhkan apa yang   kita bangun selama ini. Pemerintah tidak boleh   pandang bulu dalam   mengejar para koruptor itu. Cara Cina dengan   menggantung atau menghukum   mereka patut dicontoh setelah melalui proses   hukum yang adil, terbuka,   tanpa pilih kasih.
(Ahmad Syafii Maarif )
oleh Darwin Bahar
×
Berita Terbaru Update