Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tak Salah Bunda Mengandung

22 Juli 2012 | 22.7.12 WIB Last Updated 2012-07-21T18:14:42Z



Bukan salah bunda mengandung, dilahirkan sebagai orang Minang, apa hendak dikata,
Alhamdulillah, wajah mirip orang Tionghoa, sehingga tahu rasanya ditodong.
Lho, kok?


Di pertengahan tahun tujuhpuluhan, ketika tinggal Tanjung Priuk dan
bekerja di sebuah outlet BUMN Farmasi di Jalan Asemka---sebuah kawasan
Pecinan pula---saya pulang agak malam. Begitu naik becak di Terminal Bus
menuju tempat tinggal saya di Kampung Bahari, seorang bertubuh kekar,
berkulit kehitaman dan berambut keriting menghampiri saya dan
menodongkan sebuah pisau.


Dalam bilangan detik, jam tangan Seiko 21 batu berwarna keemasan yang
saya kenakan, kacamata dan sebuah kantong plastik hitam berisi obat buat
anak kami kedua Anton yang ketika itu berusia tiga tahun berpindah tangan.
Dengan lunglai saya pulang dan setiba di rumah langsung melapor kepada
sang belahan jiwa: “Kur, tadi Uda kena todong di terminal bus (ketika
itu doi masih memanggil saya dengan sapaan Uda)”. “Ya, sudah lah,” ujar
saya pasrah.


Tetapi tidak dengan si doi. Dia melapor kepada Mang Musa suami bibiknya,
seorang “jawara” kelas kampung yang tinggal tidak jauh dari rumah kami.
Dan Mang Musa kemudian melapor ke Pak Zaikun, Ketua RW tempat dia
tinggal seorang Bintara Kostrad dan seorang tokoh yang disegani. Pak
Zaikun ini punya anak buah yang tinggal di kawasan di samping kiri
Setasiun KA Tanjung Priok yang disebut RT 13, yang dikenal sebagai
tempat tinggal para pencoleng, tikang todong dan sejenis. 



Dan tidak sukar baginya untuk menemukan si penodong melalui koordinatornya, dan
meminta---disertai ancaman tentunya---agar jam tangan dan kacamata yang
dia rampas dari saya dikembalikan.


Dua hari kemudian si penodong yang bertubuh kekar, berkulit kehitaman
dan berambut keriting itu menemui saya dengan terbongkok-bongkok, minta
maaf dan mengganti jam tangan saya dengan jam tangan merek Seiko yang
lebih mahal, karena jam saya sudah terlanjur dijual olehnya.


Saya kira om orang Cina,” jelasnya tanpa dosa, kenapa dia menodong saya
malam itu.


(Alamaak, rupabya di mata si penodong orang Tionghoa---Astaghfirullah Al
Adzim---sah-sah saja untuk ditodong)


Khawatir ketemu di bus kota atau di tempat lain dengan pemilik asli jam
tersebut---ya, tentu saja jam tangan pengganti yang diberikan si
penodong kepada saya tidak bukan boleh beli di toko---sehingga saya
bisa-bisa dituduh tukang todong, minimal tukasng tadah, jam tersebut
saya jual kepada si Kemo, sepupu Kur yang berjualan di Pasar Kampung
Bahari. Uangnya kemudian saya belikan lagi jam Seiko 21 batu berwarna
keemasan seperti jam saya semula.


Demikianlah pengalaman saya yang sangat unik: ditodong, yang sangat
mungkin tidak akan saya alami kalau saya tidak memiliki wajah mirip
orang Tionghoa.




catatan darwin bahar the indonesian freedom writers

×
Berita Terbaru Update