Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Orang-Orang Kaya Bermental Miskin di Negeri Ini...

3 Juli 2012 | 3.7.12 WIB Last Updated 2012-07-03T02:18:27Z
13334225601845466893
Petugas bersiap mengisi bahan bakar minyak (BBM) subsidi ke bajaj di SPBU di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (26/3/2012)./Admin (KOMPAS/Priyombodo)

Jagad pemberitaan di media online dan elektronik diramaikan pemberitaan soal mobil-mobil mewah yang ramai-ramai berpindah ke Premium karena harga Pertamax naik dari Rp. 10.400,- menjadi Rp. 10.850,- . Ada Alphard, Lexus, dan sebuah sedan mewah berplat nomor merah, tertangkap kamera sedang mengisi BBM dengan nozzle warna kuning alias Premium.

Beberapa petugas SPBU yang diwawancarai mengaku mereka sudah berupaya mengingatkan pemakai mobil mewah agar jangan mengisi mobilnya dengan premium. Tapi si pemakai mobil selalu menjawab mereka “tidak mampu” membeli pertamax karena harganya yang terus naik mengikuti harga minyak di pasar dunia. Itu sebabnya mereka beralih ke premium, BBM bersubsidi.
Dalam acara Kabar Utama di TV One,  seorang penelpon bernama Pak Ali, dari Pasar Minggu. Ia mengaku mobilnya Mitsubishi Pajero, memakai solar bersubsidi. Alasannya : bukankah bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dipaki untuk kesejahteraan rakyat. Bukan hanya rakyat kecil saja, dia pun berhak menikmati BBM bersubsidi.

Di akhir acara, host acara membacakan sebuah sms dari seseorang yang saya lupa namanya. Dia mengaku punya 2 buah motor dan 2 buah mobil, APV dan satu lagi saya lupa, yang jelas jenis mobil keluarga yang bukan mobil mewah. Ia mengaku selama ini selalu mengisi mobilnya dengan Pertamax Plus. Tapi belakangan ketika harga Pertamax Plus terus melambung, ia terpaksa beralih ke Pertamax. Pengirim sms menyatakan : sebenarnya pilihan pembelian BBM bukan tergantung pada semewah apa mobilnya, semua itu tergantung pada kesadaran pemiliknya dan itikadnya untuk tidak memakai apa yang seharusnya menjadi hak orang lain. Luar biasa sekali orang ini!

1333473629988980219
Alphard minum Premium (www.republik.co.id)

Betul, meski seseorang punya 5 mobil mewah sekalipun, jika paradigma berpikirnya seperti Bapak Ali, yang beranggapan dirinya bagian dari rakyat yang juga berhak menikmati subsidi, maka orang-orang seperti ini tak akan merasa bersalah memakai BBM bersubsidi. Seperti ditulis seorang pengirim twitter : “semua orang juga pengen ngirit”

Membeli sebuah mobil mewah, tentu sudah disadari resikonya akan mahal di biaya pemeliharaan dan perawatan. Mesin mobilnya butuh BBM ber-oktan tinggi, ban mobil, kaca spion, aksesories mobil, suku cadang dan biaya service-nya pun mahal. Karena itu mobil mewah hanya terjangkau harganya bagi kantong orang-orang yang sudah makmur. Mobil adalah kebutuhan tertier, orang baru berpikir membeli mobil kalau kebutuhan primer dan sekundernya sudah terpenuhi. Kalau kebutuhan tertiernya saja jenis yang mewah, tentu pemiliknya punya cukup uang untuk merawatnya. Lalu kenapa rela mengorbankan mesin mobilnya demi “ngirit”?

Ini soal “mentalitas”. “Kaya” itu ukurannya bukan hanya dari berapa asset yang dimiliki, berapa banyak tabungan yang ada, tapi seberapa ‘kaya’ orang itu menilai dirinya sendiri. Ketika BLT dibagikan tahun 2005 dan 2008 lalu, banyak orang yang tidak miskin-miskin amat, rela dilabelin miskin asal bisa mendapat BLT 3 bulan sekali, meski untuk itu ia harus rela antri berjam-jam berdesakan dengan orang-orang yang benar-benar miskin.

1333473689883455043
Camry juga minum Premium (www.republika.co.id)

Teman saya pernah cerita, kerabatnyya yang pasutri bekerja dan punya penghasilan, rela berepot-ria mengurus jamkeskin supaya kalau berobat murah. Kebetulan saat itu ada anggota keluarganya yang sakit dan harus menjalani operasi. Katanya, dengan jamkeskin ia hanya dikenai biaya sepersekian saja dari biaya normal, padahal di tempat kerjanya ia bisa mendapatkan penggantian biaya berobat sampai plafon tertentu untuk tindakan operasi. Dengan Jamkeskinia bisa irit banyak, dan tentu saja klaim asuransi dari tempat kerjanya bisa masuk kantong. Jadi dengan sakitnya anggota keluarganya, ia malah bisa dapat “untung”. Teman saya sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan kerabatnya itu.

Seorang teman lain pernah bercerita, di Bondowoso – kota kecil di Jawa Timur dimana saya menghabiskan masa kecil dan remaja saya di sana – ada seorang guru mengaji yang hanya mendapat upah Rp. 75.000,- sebulan dari jasanya mengajar anak-anak mengaji. Sementara penerima BLT, yang hanya menunggu saja bisa dapat Rp. 100.000,- per bulan. Tapi si guru mengaji ini tidak menerima BLT. Ia rela berupaya apa saja asal halal dan tak merendahkan martabatnya dengan menjadi peminta-minta. Inilah orang “kaya” yang sebenarnya. Mentalitasnya kaya, harga dirinya kaya.

Banyak orang tak tersentuh hatinya melihat kemiskinan kasat mata sehari-hari disekitarnya, meski ia punya segala-galanya lebih dari cukup. Banyak orang yang merasa sayang memberikan sebagian uangnya untuk orang lain yang membutuhkan, meski Tuhan memberinya jauh lebih banyak. Banyak orang yang terus menerus mengeluh gajinya kurang, meski tiap weekend dia masih bisa mengajak keluarganya makan di resto siap saji dan masih bisa membeli gadget model baru.

1333473750300802974
bahkan Lexus pun minum Premium (oto.detik.com)

Kalau kaum fakir miskin rela berdesakan berpanas-panas sampai terinjak-injak demi pembagian daging qurban, paket sembako atau uang zakat, saya masih bisa maklum. Mungkin kalo tak begitu ia tak akan bisa menikmatinya. Seperti pengakuan seorang ibu yang rela berjalan kaki dari Senen ke Istiqlal dini hari, agar bisa antri paling depan, hanya supaya 4 anaknya bisa makan daging. Meski untuk itu ia harus terjatuh beberapa kali dan kakinya lecet-lecet, ia bisa tersenyum bahagia membawa pulang sebungkus daging. Bukan untuk dijual lagi agar dapat untung! Tidak, ini demi anak-anaknya bisa makan daging.

Lalu, kalau ada ribuan orang dari kalangan ekonomi kelas menengah dan menengah atas rela antri sampai terinjak-injak dan pingsan di sebuah mall mewah - Pacific Place - demi sebuah gadget model terbaru dengan harga diskon 50%, saya tak habis pikir. Padahal pembelian itu mensyaratkan pembeli harus memiliki kartu kredit tertentu yang menjadi sponsor penjualan. Setiap orang harus menunjukkan kartu kredit dengan nama yang sama antara yang tertera di kartu kredit dengan kartu identitas pembeli. Artinya : si pembeli haruslah pemilik kartu kredit. Seseorang yang punya kartu kredit, oleh pihak bank penerbit dianggap cukup memadai untuk memiliki sebuah kartu belanja dengan iuran tahunan jumlah tertentu. Ia dinilai punya penghasilan layak untuk membayar angsuran minimal dari limit/batas atas kartu kredit itu. Artinya lagi, ia bukan orang tak ‘punya’.

 Tapi faktanya ia tak punya ‘malu’ untuk mendapatkan barang diskonan sampai rela mengorbankan dirinya.
Pemilik mobil mewah yang rela antri BBM bersubsidi dan rela mengorbankan kehandalan mesin mobilnya demi satu kata : IRIT, kurang lebih mentalitasnya sama dengan orang yang rela disebut miskin agar dapat BLT, rela pingsan demi BB diskonan. Sekali lagi, “kaya” dan “miskin” bukan persoalan materi semata. Ini lebih pada soal “mental” dan “hati”. Ketika mentalitas seseorang sudah kaya, hatinya merasa kaya, maka perilakunya pun akan “kaya”.

1333473830847608059
Ribuan orang "miskin" antri BB Bellagio di Pacific Place (forum.tempo.co)

Saya teringat pembicaraan di grup BBM saya dengan mantan teman-teman kuliah. Ada yang bertanya : “sebenarnya, kalau harga BBM naik, siapa sih yang diuntungkan?”. Lalu seorang teman menjawab : “yang beruntung ya orang yang selalu bersyukur”. Benar! Sebab hanya orang yang pandai bersyukur yang bisa merasa “cukup” dalam segala hal. Ia merasa cukup dengan BB lawas type paling sederhana dan tak merasa perlu memburu BB type terbaru, jika memang uang untuk membeli belum cukup. Sebab standar “cukup” atau tidaknya hanya kita sendiri yang bisa menentukan.

Gaji saya tentu tak akan cukup kalau saya berpatokan sepatu dan tas saya harus yang ber-merk, meski itu hanya barang “KW” alias aspal! Tapi tentu cukup kalau saya membeli sesuai dengan kemampuan saya. Saya akan merasa “miskin” kalau saya melihat teman-teman saya yang sudah sukses dalam karir atau bisnisnya. Tapi saya akan merasa “kaya” ketika tiap hari saya temukan begitu banyak orang bergelut dengan sampah hanya demi bertahan hidup.

Saya ingat setahun lalu ada konser Justin Bieber yang harga tiket termurahnya saja Rp. 1,5 juta, panitia menyediakan 10.000 lembar tiket ludes terjual habis, meski ada tiket yang harganya Rp. 5 juta. Kalau diasumsikan dengan harga tiket termurah, setidaknya 15 milyar habis dalam tempo beberapa jam. Padahal, kalau diadakan malam amal untuk membantu orang miskin, cacat, sakit, anak-anak putus sekolah, dll, rasanya sulit dibayangkan bisa terkumpul 15 milyar dalam tempo semalam. Anak-anak ABG saat itu rela tidak jajan dan menabungkan uang sakunya 3 bulan demi terbeli tiket konser Justin Bieber. Apa kira-kira mereka rela menabung selama itu untuk membayar biaya bimbel atau membeli buku? Tentu tidak, sebab mereka beranggapan itu kewajiban ortunya.

13334739111928707736
Antrian penerima BLT, gak miskin-miskin amat kan? (hariansumutpos.com)

Beberapa waktu lalu, saya nonton berita di TV, puluhan orang menggugat sebuah travel biro umroh abal-abal karena telah menipu mereka. Travel biro ini menawarkan paket umroh seharga Rp. 6 juta padahal travel biro lainnya rata-rata paket termurah biayanya Rp. 16 juta. Akhirnya, uang Rp. 6 juta sudah disetorkan, tapi mereka tak kunjung diberangkatkan. Ternyata, bahkan untuk urusan ibadah pun pilih “ngirit” dengan paket hemat meski harganya tak masuk akal. Banyak sekali kasus penipuan dengan berbagai macam iming-iming, tapi modusnya sama : menawarkan sesuatu dengan harga kelewat murah atau menawarkan investasi dengan keuntungan besar dalam tempo singkat dan tanpa susah payah. Yang seperti ini menjamur di Indonesia dan seperti mendapat lahan yang subur. Kenapa?! Sekali lagi karena banyak masyarakat kita yang mentalitasnya seperti itu : mau irit, mau kaya cara kilat, mau dapat untung besar instant, tanpas susah payah.

Itulah potret sebagian dari mentalitas bangsa kita. Mungkin inilah sebabnya meski kita sudah merdeka 66 tahun, tetap saja tidak bisa jadi negara kaya. Mentalitas sebagian bangsanya, sejak remaja hingga dewasa memang masih “miskin”. Demi sesuatu yang sifatnya konsumtif dan kesenangan, mereka rela bersusah payah. Tapi kalau ada sesuatu yang sifatnya “bantuan”, mereka rela berpura-pura tak berpunya agar kebagian. Sebagian besar bangsa ini masih lebih suka menadahkan tangan, masih lebih suka memposisikan diri sebagai “tangan di bawah”. Banyaknya jumlah pengemis yang membanjiri kota-kota besar, tidak berarti di kampung tak ada pekerjaan. Tapi lebih karena alasan lebih bisa jadi kaya dengan mengemis di kota besar, ketimbang susah payah mencangkul sawah di kampung. Saya kuatir, suatu saat ada orang kaya yang merasa berhak atas raskin (beras miskin) hanya karena dirinya bagian dari rakyat juga. Duuh.., bangsaku!

catatan ira oemar freedom writers kompasianers
×
Berita Terbaru Update