Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Cakar-Cakar Tuhan dan Teroris

16 Juli 2012 | 16.7.12 WIB Last Updated 2012-07-16T16:59:06Z
 
Radiasi reaktor nuklir membuat kami pontang-panting menyelamatkan diri dari Fukushima dan pindah-pindah ke beberapa provinsi sebagai pengungsi. Cakar-cakar Tuhan yang  membekas benar di ranah Jepang. Baru balik ke Fukushima dan esok hari pindah ke provinsi lain. Tidak ada keleluasaan melanjutkan artikel ini, jadi sampai di sini saja dulu. 

Kupandangi loteng sendirian yang tercelup warna putih yang diredupi lampu neon yang temaram. Menengok tetesan infus yang menyumbang nyawa pada tiap sel tubuhku bagai memperhatikan seekor cicak di dinding yang hampir diam tak bergerak kekenyangan. Terdiam tergeletak di atas dipan yang dikelilingi korden yang tak tembus pandang satu dua kali bikin hatiku bagai terpelanting menukik ke palung laut yang terdalam.

Kukosongkan pikiranku dan sejenak saja layar masa lalu terpampang gonta-ganti di loteng itu. Wajah biniku, wajah bunda, dan wajah orang-orang tercinta yang telah menolong menggampari nasib miskinku di masa-masa yang silam.

"Andai saja penyakit uda bisa pindah ke saya …," harap Natsuko pernah dulu sembari memandangiku yang lagi terbaring bergumul dengan virus titipan Tuhan.

Hanya tipis kutersenyum membalas harapannya. Keinginan baik tersebut tak akan pernah terwujud sekalipun Bumi ini tersepih berdebu menguap dan lenyap. Namun, harapan tulus yang mengambang dalam lembut alunan tegas suaranya membuatku terlambung dengan perasaan hangat memenuhi dada. Barangkali tak akan pernah telingaku mendengar ucapan yang sama seandainya menikah dengan orang Indonesia, orang Amerika, atau orang Eskimo.

Sejenak berlalu hadir lagi bayangan lain tergambar jelas di loteng yang bening itu.
"Ya, Tuhan! Pindahkanlah penyakit anakku padaku," lirih ibuku berharap sembari mengelus sayang adik perempuanku yang tergolek tak bertenaga di bangsal termurah di RS Yos Sudarso, Padang, tahun 1970-an. Ada bayangan maut yang mengintai di balik pintunya. Tapi, sang malaikat gagal merenggut nyawa adikku yang perlahan-lahan pulih kembali. Agaknya pasti sekali Tuhan tidak pernah memindahkan penyakit adikku pada ibuku yang tetap sehat berhati kuat itu.

Ibuku adalah sosok yang lebih penting dari segalanya. Dan, ini bertolak belakang amat dengan Abdul Abdullah Yahia yang memimpin pembajakan pesawat terbang Prancis dari Bandara Houari Boumedienne, Aljazair, Desember 1994 yang lebih mengedepankan jihad sesat daripada ibu kandungnya sendiri. Kendati sang ibu, atas permintaan pemerintah Aljazair yang menginginkan teroris ini berhenti membunuhi penumpang dan menyerah, sudah memohon-mohon amat agar anaknya menyerah, jawaban yang diterima dari sang anak adalah penolakan dan ucapan, "Tuhan lebih penting dari ibu."

Ancaman akan terus membunuhi para penumpang tiap 30 menit apabila tidak dibiarkan pesawat tinggal landas membuat pemerintah menyerah dan melepas kepergian mereka menuju Marseille. Malaikat maut di sana sudah mempersiapkan pasukan GIGN Prancis menyerbu dan membunuhi keempat teroris itu sebelum tujuan akhir mereka untuk menabrakkan pesawat ke Menara Eifel terwujud.

Entah apa yang direnungkan Abdul Abdullah Yahia, mantan copet dan tukang sayur, di akhirat sana. Boleh jadi bersedih dia karena menganggap Tuhan lebih penting daripada ibunya atau senantiasa riang gembira bersebab berpahala menyatakan jihad sesat lebih penting daripada ibu kandung yang melahirkan dan membesarkannya. Manakala seorang pejantan berkata di depan ibunya bahwa Tuhan lebih bernilai daripada seorang ibu, bagaimanakah perasaan sang ibu pada waktu itu?

Hati perempuan amat sukar dipahami untuk sebagian besarnya. Apa yang muncul di permukaan hanyalah percikan kearifan dan kebajikan dari naluri alami yang diembannya sedari kecil. Berbeda amat dengan pejantan yang merasa menjadi penguasa perempuan dan menentukan seenak perutnya bagaimana perempuan harus bersikap atau berpakaian, termasuk ibunya sendiri.

Pejantan mesti terlahir ke dunia ini untuk perempuan dan bukan sebaliknya. Namun, bahkan ada yang merasa berpoligami, memadu perempuan, sebagai suatu kebanggaan dan kehebatan diri untuk memenuhi tuntutan libido busuknya. Dalam benaknya terbayang akan kehidupan di surga yang dikelilingi oleh istri-istrinya yang selalu dibuat muda segar oleh Tuhan. Suatu cerminan sikap hidup hina dari gerombolan manusia yang berjiwa primitif yang mestinya tidak lagi eksis.

Tiba-tiba korden pelan terkuak membuyarkan lamunanku.
"Bagaimana?"
"Tidak apa-apa," sahutku.

Sekejap bidadari tersebut memperhatikan gawe infus, memperbaiki selimut, dan kembali berlalu meninggalkanku sendirian lagi.
Aku yakini bahwa di atas mejanya di ruang sebelah terdapat memo sebagai pengingat untuk mengecek pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Ah, dialah bidadari sesungguhnya yang beda amat dengan bidadari surga yang dibuat oleh benak para teroris yang telat berevolusi itu..tafsirkan agama dengan pemahaman yg relevan.. agama tak mengajarkan kita saling bunuh ber-bunuhan..


catatan edizal the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update