Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

“Janda” Status yang Ditakuti dan Dihindari Perempuan

30 Juni 2012 | 30.6.12 WIB Last Updated 2012-06-30T03:59:18Z

(foto : karya Arif Subagor dari Grup KAMPRET)
Awal Juli 2011
Nia mem-Ping! BBM-ku dan hanya meninggalkan pesan “Hello”. Saat itu sudah hampir jam 11 malam dan aku sudah tertidur. Esok paginya, aku heran melihat ada BBM dari Nia. Dia memang ada dalam contact list BBM-ku, tapi boleh dibilang kami tak pernah ngobrol banyak kecuali Nia tanya 1 – 2 kabar tentang teman lama kami di SD atau SMP. Saat on the way ke kantor, aku BBM Nia dan tanya kenapa dia mem-Ping!-ku semalam. Lalu meluncurlah kisah pahit rumah tangganya yang tak pernah kuduga bakal terjadi dalam kehidupan Nia.
“Aku ditinggalkan, Ira”, begitu Nia mengawali penuturannya. “Dia memang masih ada di sampingku, tiap malam dia pulang ke rumah kami, but no more touch, no communication at all”. Aku nyaris tak percaya. Bermula dari perkenalan Judith, suami Nia, dengan eks teman SMA-nya di akhir 2009, saat tak sengaja berjumpa di sebuah mall di Surabaya. Eks teman SMA Judith itu kini sudah menjanda karena bercerai dengan suaminya. Tapi janda dengan 2 anak ini kaya raya, ia memimpin sebuah bisnis yang dimilikinya sendiri.
Sejak pertemuan itu, komunikasi mereka makin sering  dan akhirnya Erna – nama janda itu – menawari Judith untuk bekerja sama dengannya. Namanya saja bekerjasama, tapi sebenarnya Judith bekerja pada Erna. Sejak jadi orang kepercayaan Erna, Judith diberi beragam fasilitas : sebuah mobil Honda CRV baru, akses beberapa kartu kredit yang pemakaiannya ditanggung Erna dan entah berapa gaji bulanan yang dijanjikan. Nia tak pernah tahu, sebab Judith memang tak pernah memberinya uang belanja bulanan. Bahkan sekedar memberitahukan penghasilannya pun tidak.
Nia dan Judith bertemu semasa mereka masih kuliah. Keduanya sejurusan dan seangkatan. Judith sudah mengejar Nia sejak di tahun pertama, tapi Nia tak merespon karena dianggapnya Judith bukan typical yang diinginkannya. Tapi jodoh memang tak lari kemana. Saat mengerjakan tugas akhir, Nia berpasangan dengan Santi, sepupu Judith. Sejak itulah Judith punya banyak kesempatan show time untuk menarik perhatian Nia. Alhasil, Nia pun luluh dengan kegigihan Judith dan mereka menikah selepas lulus sarjana, pada Agustus 1994.
Pada awal pernikahan, Judith dan Nia sama-sama bekerja. 3 tahun kemudian putra pertama mereka lahir, disusul 3 tahun berikutnya putri mungil menyusul lahir. Lengkaplah kebahagiaan Nia dan Judith dengan kehadiran Alvin dan Aleeya. Tapi seiring kelahiran Aleeya itulah, Judith menyatakan mau berhenti bekerja dan akan membangun bisnis sendiri. Sebagai istri yang penurut dan selalu men-support suami, Nia menyetujui gagasan Judith. Tapi ternyata tak mudah, tanpa modal yang cukup dan talenta di bidang bisnis, Judith tak pernah berhasil berbisnis apapun.
13381971631237492266
(foto : seputartuban.com)
Sementara, Nia makin cemerlang karirnya. Dia bahkan meneruskan kuliahnya ke jenjang S2 jurusan Marketing di sebuah PTN ternama. Kini jabatan kepala Divisi Marketing di sebuah perusahaan perhiasan emas dan permata yang produknya dipakai menjadi hiasan mahkota Miss World, ada dalam genggamannya. Dan selama itu pula, Nia yang membiayai kehidupan rumah tangga mereka, membeli sebuah rumah besar, mobil, menyekolahkan Alvin dan Aleeya di sekolah ternama yang bayarannya mahal. Tak sepeserpun Judith berkontribusi. Tapi Nia selalu menutupi kenyataan ini di depan anak-anak mereka, orang tua dan keluarga besar Judith, maupun orang tua dan adik-adiknya sendiri.
Di keluarganya, Nia dinilai jadi role model keluarga harmonis oleh ibu – bapaknya. Adik-adiknya selalu diharapkan mencontoh rumah tangga Nia – Judith. Di mata ibu mertuanya, Nia menantu terbaik dan tersabar. Begitu rapinya Nia menutupi kelemahan suaminya, sehingga Judith tetap punya harga diri di hadapan keluarga mereka.
Kini, ketika Judith mulai berpaling sejak kenal janda kaya raya yang kini jadi Boss-nya, Nia bingung tak tahu harus mengadu pada siapa. Selama 1,5 tahun ia memendam sendiri lara di hatinya. Judith ibarat memusuhinya. Tiap Jumat petang sepulang kantor, Nia pasti mendapati rumah kosong hanya tinggal PRT. Alvin dan Aleeya diajak Judith jalan-jalan, entah ke mall atau ke berbagai arena hiburan di Surabaya. Mereka tak hanya bertiga, tapi bersama dengan Erna dan kedua anaknya. Begitupun esoknya, Sabtu, dimana Nia memang tidak libur dan tetap bekerja sampai jam 5 sore. Anak-anaknya sudah diajak Judith meninggalkan rumah sejak siang dan baru pulang jelang tengah malam. Kadang mereka memancing atau bahkan pelesir ke luar kota, ber-6 dengan Erna dan kedua anaknya.
Nia jadi seolah tersisih dari kedua anaknya sendiri. Anak-anaknya bahkan akrab dengan anak-anak Erna. DI hari Minggu, saat Nia ada di rumah, Judith justru pergi seharian sampai larut malam. Bersama Erna tentu. Acara sowan ke ortu Nia yang rutin dilakukan tiap hari Minggu 2 pekan sekali, kini hanya dijalani Nia bersama kedua anaknya, tanpa kehadiran Judith. Ibunya bahkan pernah berujar : “Berapa sih uang belanja yang diberikan suamimu sampai-sampai ia ngoyo kerja lembur setiap hari Minggu begini?!”. Nia Cuma tersenyum kecut menanggapi pertanyaan ibunya. Mana mungkin ia menjawab “tak sepeserpun, Bu”.
Di hari kerja, Nia sampai di rumah sebelum maghrib seperti biasa, tapi Judith baru sampai di rumah jelang tengah malam bahkan kadang hampir dini hari. Kalau ia tiba di rumah saat Nia masih terjaga, Judith langsung sibuk dengan gadget-nya dan tak sepatah katapun dilontarkannya menyapa Nia. Kalau Nia sudah tidur, Judith akan langsung merebahkan tubuhnya membelakangi Nia. Judith bahkan belum bangun saat Nia berangkat ke kantor. Jadi, praktis tak ada komunikasi antara mereka. Nia pernah menyampaikan ketidaknyamanan yang dirasakannya, tapi Judith Cuma menjawab : “kalau begitu ceraikan aku!”. Setiap kali Nia dengan sabar mengajak bicara baik-baik dan ingin memperbaiki hubungan mereka, selalu saja “menu” cerai yang keluar dari mulut Judith. Bahkan Judith selalu menantang Nia segera mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, dia akan segera mengabulkan gugatan Nia, tanpa meminta hak asuh anak dan pembagian harta gono gini.
13381972621820656598
(foto : puchusukahujan.wordpres.com)
Meski tersiksa lahir – batin, Nia tak serta merta menyetujui ajakan cerai. “Alasannya klasik, Ira. Demi anak-anak” akunya. Aleeya dekat sekali dengan Papanya. Putrinya ini berprestasi di sekolahnya dan saat ini duduk di kelas 6 SD. Dia berambisi bisa diterima di SMP paling favorit. Nia membayangkan kalau mereka bercerai, putrinya akan shock dan bahkan bisa jadi semangat hidupnya hancur. Judith pernah berseloroh menyindir Aleeya, bagaimana kalau Papa dan Mama pisah. Aleeya tak menjawab, dia hanya berlari sambil menangis sesenggukan. “Bagaimana mungkin kami bercerai, baru dibecandain aja Aleeya reaksinya sudah begitu”, kata Nia.
Aku hanya bisa menyarankan pada Nia untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, agar diberi jalan keluar terbaik. Dan jangan pernah memberi peluang pada perempuan lain untuk merebut perhatiannya sebagai Ibu bagi kedua anaknya. Kalau Nia selalu sibuk bekerja pada hari Senin sampai Sabtu, dia harus rela berlelah-lelah di hari Minggu untuk berlibur bersama anaknya. Kusarankan padanya agar memanfaatkan moment Ramadhan yang bakal segera tiba, untuk menciptakan saat-saat bersama kedua anaknya. Sering mengajak mereka buka puasa bersama dan sebagainya. Nia setuju. Kini jelang dini hari Nia mulai sering terbangun untuk sholat Tahajjud dan Aleeya ikut bangun saat Mamanya mengambil air wudhu. Bersama Nia, Aleeya juga sholat Tahajjud sambil memohon nilai yang bagus agar diterima di SMP favorit.
Masuk bulan Ramadhan, Nia menjalani sahur bersama Alvin dan Aleeya. Judith pulang dini hari dan langsung makan sahur, lalu tidur pulas. Buka puasa pun tak pernah bersama. Selepas Idul Fitri, Judith pergi. Selama ini memang Judith sudah sering pergi berhari-hari tanpa pesan. Di telpon tak diangkat, di BBM atau SMS tak dijawab. Dari anak-anak lah Nia tahu keberadaan Judith. Tapi kepergian kali ini lebih lama. Sudah 3 bulan Judith tak kembali. Meski masih sering menelpon anak-anaknya, tapi tak sepatah katapun menanyakan kabar Nia. Ibunda Judith pun akhirnya tahu perihal anaknya yang tak pulang 3 bulan “Aduuuh.., anak ibu kok jadi Bang Toyib gini ya?” tanyanya.
Januari 2012, Nia mengajak kedua anaknya berlibur di Batu, Malang. Kali ini dikiriminya Judith SMS : “aku tak tahu apa yang kamu kerjakan di sana, sampai-sampai tak bisa cuti sehari pun. Aleeya bilang liburan paling berkesan tahun 2009 saat ke Bali, sebab kita berempat. Liburan selanjutnya gak enak sebab gak lengkap, gak ada Papa. Kami berlibur di Batu, menginap di hotel X sampai tanggal sekian. Kalau kamu ada waktu datanglah.” Dan Judith memang datang sehari semalam sebelum mereka check out. Menyewa kamar yang berbeda dan tidur bersama Alvin. Aleeya menemani Nia. Tanpa komunikasi berbulan-bulan, membuat mereka jadi canggung.
Judith kembali menawarkan perceraian. Dia katakan kini dia sudah punya pekerjaan. Uang hasil kerjanya ditabung dalam bentuk emas batangan, sebagai persiapan biaya menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri selepas SMA nanti. “Aku tak perlu mengirimimu sebab untuk hidup sehari-hari toh kamu sudah bisa cari sendiri” alasan Judith kenapa ia tak pernah memberikan sepeserpun hasil kerjanya pada Nia. Ironisnya, Nia membenarkan alasan Judith. Tapi ia tetap menolak bercerai. “Sudahlah, kamu kerja saja yang kenceng, cari duit buat sekolah anak-anak kita kelak. Gak usah pikirkan aku, aku sudah bisa mencukupi diriku dan anak-anak”.
13381973541269060022
(foto: daveenar.com)
Tapi menyangkut perceraian, Nia tetap menolak. “Aku bukan takut menjanda Ira. Sekarang pun faktanya aku sudah jadi single parent terutama hampir setahun ini. Tapi aku tak mau ribet soal perceraian, biar sajalah seperti ini” katanya padaku. Ketika Judith kembali menawarkan “menu” cerai, Nia bilang : “Relasiku banyak, aku tak mau disibukkan menjawab pertanyaan “kenapa cerai” dari mereka. Begitu juga di keluarga, mereka tahunya kita selama ini harmonis. Bagaimana aku harus menjelaskan perceraian kita?”.
Nia mengaku, ia sebenarnya sudah mulai “galau”, terutama menyangkut kebutuhan batiniah. Tak ada teman berbagi cerita saat letih sepulang kantor, tak ada sentuhan suami yang siap meredakan semua beban beratnya, dan tentu tak ada pasangan yang memenuhi kebutuhan biologisnya. “Tapi aku sekarang sudah terbiasa, Ira. Aku sudah tak punya perasaan apapun lagi padanya. Dulu aku memang sering menangis sendiri kalau malam tiba. Sekarang sudah tidak lagi. Aku sudah cuek”, kilahnya.
Itulah kisah Nia. Meski menyatakan tak takut menjanda, tapi sejatinya Nia takut dengan predikat “janda”. Ia memang tak kuatir soal urusan ekonomi, kondisi finansialnya lebih dari cukup. Hanya saja, dalam status sosial seperti sekarang, dalam lingkaran relasi yang cukup banyak baik di dalam maupun di luar negeri, Nia khawatir tak mampu menjelaskan kenapa ia memilih berpisah dengan suaminya. Seorang terpelajar, punya karir cemerlang dan status sosial ekonomi yang cukup mapan seperti Nia, ternyata tetap tak membuatnya berani memerdekakan diri dari kesewenang-wenangan suaminya dengan memilih berpisah secara hukum. Meski secara de facto mereka sudah berpisah, tapi secara de jure pernikahannya masih utuh dan ini “aman” bagi Nia. Ada banyak perempuan lain yang tak berani menjanda dengan berbagai alasan. Kisah lainnnya ada di bagian selanjutnya.
(CATATAN : semua nama tersebut di atas bukan nama sebenarnya, terinspirasi dari kisah nyata)

catatan Ira Oemar freedom writers kompasianer
×
Berita Terbaru Update